Rosululloh shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam mencukupkan tarowih dengan sebelas roka'at, itu merupakan dalil bahwa tidak dibolehkannya menambah lebih dari jumlah tersebut
Rosululloh shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam mencukupkan tarowih dengan sebelas roka'at, itu merupakan dalil bahwa tidak dibolehkannya menambah lebih dari jumlah tersebut
Dengan penjelasan terdahulu, sudah cukup jelas bagi kita bahwa jumlah roka'at sholat malam adalah sebelas roka'at; berdasarkan nash yang shohih dari perbuatan Nabi shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam sendiri. Dan kalau kita renungkan, juga jelas bagi kita bahwa Beliau shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam konsisten melakukannya dengan jumlah roka'at itu sepanjang hidupnya, tanpa sedikitpun menambahnya; baik itu di bulan Romadhon ataupun di bulan yang lain. Kalau kita hadirkan kembali dalam ingatan kita bahwa sholat-sholat sunnah lainnya seperti sunnah rowatib, istisqo', sholat kusuf, dan sholat-sholat lain yang dikerjakan secara simultan oleh Nabi shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam; semuanya juga memiliki jumlah bilangan tertentu. Konsistensi Beliau shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam dalam melakukan sholat-sholat itu dalam jumlah roka'at tertentu, merupakan dalil -menurut para 'ulama- bahwa tidak boleh menambah bilangan tersebut (11). Demikian juga sholat tarowih. Kita tidak diperbolehkan menambah-nambah roka'atnya dari apa yang disunnahkan, karena ia tak beda dengan sholat-sholat lain yang juga memiliki jumlah roka'at tertentu, dimana Nabi shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam melakukannya secara konsisten dan tidak menambah-nambah. Barangsiapa yang menganggapnya berbeda, silahkan ia menunjukkan dalilnya. Karena tanpa ada dalil berarti ibarat:
"Bagaikan meremas buah berduri"
Sholat tarowih, tidaklah sama dengan sholat sunnah mutlak, dimana orang yang sholat bisa sesukanya menentukan berapa roka'at dia akan sholat (12). Namun tarowih berhukum sunnah muakkadah (yang mendekati wajib). Ia mirip dengan sholat wajib karena disyari'atkan melaksanakannya dengan berjama'ah. Seperti yang diungkapkan mereka yang bermadzhab Syafi'iyyah, bahwa kalau dilihat dari sisi disyari'atkannya sholat tarowih dengan berjama'ah; maka sholat ini harus lebih diutamakan ketimbang sholat sunnah rowatib. Hingga sampai-sampai mereka melarang orang yang sholat tarowih empat roka'at dengan satu salam. Dengan anggapan, bahwa cara itu tidak ada dasarnya (13). Mereka beralasan bahwa sholat tarowih itu menyerupai sholat fardhu dengan disyari'atkannya berjama'ah, maka caranya hanya berdasarkan apa yang diriwayatkan (14).
Coba kita renungkan, kenapa mereka melarang dilakukannya sholat itu dengan empat roka'at sekaligus, padahal kedua cara itu (dua atau empat roka'at) sama-sama ada dasarnya? Karena melaksanakannya dengan empat roka'at langsung -menurut anggapan mereka- berarti merubah cara, yang sebenarnya harus dipisah (dua-dua roka'at). Nah, dengan alasan yang sama, apakah kita tidak bisa melarang sholat itu dilakukan lebih dari sebelas roka'at, yang jelas tak ada dasarnya sama sekali dalam ajaran sunnah yang shohih? Tentu saja bisa. Bahkan larangan ini lebih pas dan tepat. Adakah di antara mereka yang memikirkan hal itu?
Kalaupun kita menganggap bahwa sholat tarowih itu sebagai sholat sunnah mutlak yang tidak memiliki batasan syari'at dengan jumlah bilangan roka'at tertentu; kitapun tetap tak boleh menetapkan jumlah roka'at tertentu yang tidak bisa kita langgar, karena dalam kaidah Ushul Fiqih disebutkan: Bahwa kita tidak boleh menetapkan sebuah cara tertentu di dalam segala bentuk 'ibadah, kalau cara itu tak ada dasarnya.
Syaikh Mala Ahmad Rumi al-Hanafi penulis kitab Majalisu al-Abror mengeluarkan pernyataan yang ringkasannya:
"Alasan tidak dilaksanakan tarowih oleh generasi pertama kecuali sebelas roka'at, karena hal itu tak pernah dilakukan di masa kenabian, mungkin karena tidak dibutuhkan, mungkin karena adanya penghalang, mungkin juga karena kurang peduli atau karena malas, mungkin juga karena makruh, atau mungkin juga karena memang tidak disyari'atkan. Adapun dua kemungkinan pertama, itu jelas tak mungkin terjadi dalam 'ibadah-'ibadah khusus. Karena hajat manusia untuk mendekatkan diri kepada ALLOH tak akan ada putus-putusnya. Dan setelah Islam itu tegak, tak ada lagi penghalang dalam melaksanakan 'ibadah. Dan tak mungkin diyakini bahwa Nabi shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam kurang peduli atau malas. Itu jelas persangkaan paling jahat yang dapat menggiring kepada kekufuran. Maka yang tersisa; bahwa perbuatan itu salah dan tidaklah disyari'atkan. Demikian juga hukumnya orang yang melaksanakan 'ibadah-'ibadah khusus lainnya dengan cara yang tidak pernah dilakukan di zaman Shohabat (masa hidup Nabi), karena kalau dikatakan bahwa satu bentuk 'ibadah yang diada-adakan itu konsekuensinya hanya dikatakan sebagai bid'ah hasanah (bid'ah yang baik), tak akan ada dalam 'ibadah itu yang dinamakan dengan bid'ah yang makruh. Dan para 'ulama fiqih pun tak akan menganggap 'amalan-'amalan seperti: sholat-sholat sunnah yang dilakukan berjama'ah (selain yang disyari'atkan), berbagai senandung yang dilantunkan tatkala berkhutbah atau beradzan, membaca al-Qur-an di waktu ruku', menyaringkan dzikir di hadapan jenazah dan yang sejenisnya; (para 'ulama fiqih itu) tak akan menganggapnya sebagai bid'ah yang munkar. Apabila seseorang masih juga mengatakan: "itu bid'ah hasanah" maka katakan saja kepadanya: "Kalau suatu 'amalan dianggap baik berdasarkan dalil-dalil yang syar'i, berarti ia memang bukan bid'ah. Sehingga tidaklah berubah keumuman hadits: "Setiap bid'ah itu sesat." Dan juga hadits: "Setiap 'amal 'ibadah yang tidak didasari perintah kami, maka 'amalan tersebut tertolak." Hadits ini juga tetap sebagaimana zhohirnya. Dalil kedua ini bahkan mengkhususkan keumuman hadits pertama. Sedangkan hadits yang khusus itu tentu bisa dijadikan hujjah, melainkan apabila ada pengecualian. Barangsiapa yang menganggap (bid'ah tadi) sebagai pengecualian, maka harus ada dalil yang pantas dijadikan sebagai pengecualinya. Baik dari al-Qur-an, sunnah atau ijma' yang bersumber khusus dari para mujtahid. Bukan yang berasal dari pandangan orang-orang awam, atau menurut kebiasaan yang merata disebagian besar negara. Barangsiapa melakukan perbuatan bid'ah dengan tujuan untuk mendekatkan diri kepada ALLOH Ta'ala; baik berupa perbuatan maupun ucapan, berarti dia telah membuat syari'at dalam Islam tanpa seizin ALLOH Sub-haanahu wa Ta'aala. Maka dapat dimaklumi, bahwa segala bentuk bid'ah dalam, 'ibadah-'ibadah zhohir yang khusus, hukumnya hanyalah bid'ah sayyi-ah (bid'ah buruk alias terlarang) (15).
===
(11) [Maka dari itu, imam al-Bukhori merangkum Bab pembahasan dalam kitab Shohiih-nya: Bab dua roka'at sebelum zhuhur. Di situ dia menyitir hadits Ibnu 'Umar ro-dhiyaLLOOHU 'anhuma tentang sholat Nabi shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam diiringi dengan hadits 'Aisyah ro-dhiyaLLOOHU 'anhuma: "Beliau shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam tak pernah meninggalkan empat roka'at sebelum zhuhur." Itu untuk menunjukkan bahwa dua roka'at sebelum zhuhur tidaklah satu keharusan, sehingga tak boleh lebih. Itu yang dijelaskan oleh al-Hafizh dalam kitab al-Fath. Dalam ulasan Ibnu Hajar tadi tersirat bahwasanya tak boleh menambah jumlah roka'at yang telah dibatasi Rosululloh shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam dengan perbuatannya. Dan sholat tarowih termasuk kategori itu. Dengan itu jelaslah persoalannya. Nanti akan dibahas bagaimana mengkorelasikan antara hadits Ibnu 'Umar dengan hadits 'Aisyah ro-dhiyaLLOOHU 'anhuma.]
(12) [al-Faqih Ahmad bin Hajar al-Haitami menyatakan dalam kitab al-Fatawa al-Kubro 1/193: "Perbedaan sholat sunnah mutlak dengan sholat sunnah yang lain, kalau sunnah mutlak itu tidak ALLOH tentukan jumlah bilangan roka'atnya. Tetapi urusannya diserahkan kepada orang yang sholat."
Aku mengatakan: Kalau sudah kita ketahui, bahwa ALLOH Sub-haanahu wa Ta'aala Yang Maha Bijaksana telah menetapkan tarowih itu sebelas roka'at dan tidak pernah ditambah-tambah, maka jelas tidak ada pilihan bagi orang yang sholat untuk menambah-nambah.]
(13) [Padahal jelas hal itu ada sebagaimana yang dinyatakan oleh Imam an-Nawawi yakni bahwa cara itu sah adanya, seperti telah kami jelaskan terdahulu.]
(14) [Disebutkan oleh Imam al-Qostholani dalam kitab Syarhu al-Bukhori 3/4 dan juga al-Haitami dalam kitab al-Fatawa 193/1, dia mengutipnya dari pendapat Imam an-Nawawi.
(15) [Lihat kitab al-Ibda' fi mudhori al-Ibtida' oleh Syaikh 'Ali Mahfudz halaman 21-22. Buku itu sungguh bermutu. Orang yang ingin mengetahui hakikat bid'ah dalam beragama sudah selayaknya untuk membacanya. Maka dari itu Universitas al-Azhar asy-Syarif menetapkannya sebagai kurikulum pada tahun pertama dan kedua untuk fakultas al-Wa'adz wal Khithobah di perguruan tinggi tersebut.]
===
Maroji':
Kitab: Sholatut Tarowih, Penulis: Imam Muhammad Nashiruddin al-Albani, Judul terjemahan: Sholat Tarowih, Penerjemah: Abu Umar Basyir al-Maidani, Penerbit: at-Tibyan - Solo, Cetakan IV, 2000 M.
===
Layanan GRATIS Estimasi Biaya Baja Ringan, Genteng Metal & Plafon Gypsum
http://www.bajaringantangerang.com
===
Sent from my BlackBerry®
powered by Sinyal Kuat INDOSAT