Skip to main content

Hukum Puasa Ramadhan | Kajian Ramadhan

Majaalisu Syahru Romadhoon.

Syaikh Muhammad bin Sholih al-'Utsaimin rohimahullooh.

Kajian Romadhon.

Kajian ketiga.

Hukum Puasa Romadhon. 

Segala puji bagi ALLOH. Tidak ada yang bisa menghalangi apa yang DIA berikan, dan tidak ada yang bisa memberi apa yang ingin diambil oleh-NYA. Keta'atan kepada-NYA merupakan 'ibadah paling utama di mata orang-orang yang ber'amal. Ketaqwaan kepada-NYA merupakan derajat paling utama bagi orang-orang yang bertaqwa. ALLOH menyiapkan hati para kekasih-NYA untuk menerima iman dan memudahkan mereka untuk melaksanakan kepatuhan kepada-NYA tanpa rasa penat dan letih. Mereka tidak merasakan letih dalam berkhidmat kepada-NYA. ALLOH menetapkan kesengsaraan bagi orang-orang yang sengsara ketika mereka menyimpang dari jalan yang benar lalu terjerumus ke dalam kesesatan. Mereka berpaling dari jalan yang lurus dan mengingkarinya sehingga akhirnya ALLOH memasukkan mereka ke dalam api Neraka yang menyala-nyala.

Aku memuji ALLOH atas segala anugerah yang diberikan kepada kita semua dari karunia-NYA. Aku bersaksi bahwa tidak ada sembahan yang benar kecuali ALLOH, yang tidak mempunyai sekutu. DIA menghancurkan dan mengalahkan semua sekutu musuh. Aku bersaksi pula bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-NYA yang sengaja ALLOH pilih. Sholawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada Beliau, dan juga kepada Shohabat Beliau: Abu Bakar, yang selalu unggul dalam keutamaan; 'Umar, yang mampu membuat syaithon lari darinya; 'Utsman, pemilik dua cahaya, yang bertaqwa, dan bersih keturunannya; kepada 'Ali, menantu sekaligus kemenakan Beliau; kepada seluruh Shohabat yang telah meraih kehormatan dalam agama; serta kepada siapa saja yang mengikuti jejak mereka selama matahari masih terbit dan terbenam.

Puasa Romadhon merupakan salah satu bagian dari rukun Islam dan bangunannya yang agung. ALLOH Sub-haanahu wa Ta'aala berfirman:

"Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa, (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Romadhon, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al-Qur-an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. ALLOH menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan ALLOH atas petunjuk-NYA yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur." (Qur-an Suroh al-Baqoroh (2): ayat 183-185)

Nabi shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam bersabda:

"Islam itu dibangun di atas lima dasar; kesaksian bahwa tidak ada sembahan yang benar kecuali ALLOH dan bahwa Muhammad adalah utusan ALLOH; menegakkan sholat; menunaikan zakat; menunaikan hajji ke Baitulloh; dan puasa Romadhon." (Mutafaq 'alaih)

Sedangkan dalam riwayat Imam Muslim disebutkan dengan kalimat:

"... puasa Romadhon dan menunaikan hajji ke Baitulloh."

Kaum muslimin seluruhnya sepakat bulat bahwa mengerjakan puasa Romadhon adalah kewajiban yang harus dilaksanakan dan ia menjadi bagian penting dari ajaran Islam. Maka siapa saja yang mengingkari kewajiban puasa ini berarti ia kafir, dan karena itu ia harus diminta bertaubat. Jika ia mau bertaubat dan kemudian mengakui wajibnya puasa bulan Romadhon, maka ia bisa diterima sebagai seorang muslim yang berhak mendapat perlindungan. Akan tetapi jika tidak mau bertaubat, maka ia harus diperangi sebagai seorang yang kafir dan murtad dari Islam. Matinya tidak perlu dimandikan, tidak dikafani, tidak disholatkan, tidak dido'akan mendapat rohmat, dan tidak dikubur di pemakaman kaum muslimin, akan tetapi dibuatkan galian di tempat jauh dari pemukiman kaum muslimin lalu dikubur di sana agar baunya tidak mengganggu manusia lain dan agar keluarganya tidak merasa terganggu dengan menyaksikan makamnya.

Puasa bulan Romadhon ini diwajibkan pada tahun kedua hijriah, sehingga Rosululloh shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam menjalankan puasa selama sembilan bulan (sembilan kali Romadhon). Kewajiban puasa ini melalui dua tahap: Tahap pertama: memberikan pilihan antara berpuasa dan makan, namun lebih mengutamakan puasa. Tahap kedua: menentukan puasa tanpa memberi pilihan.

Dalam kitab Shohihain (kitab Shohih al-Bukhori dan Shohih Muslim) disebutkan riwayat hadits dari al-Akwa ro-dhiyaLLOOHU 'anhu bahwa ia berkata: "Ketika turun firman ALLOH: 'Dan wajib orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin. (Qur-an Suroh al-Baqoroh (2): ayat 184), maka siapa saja yang ingin berbuka dipersilakan berbuka untuk kemudian membayar fidyah, sampai kemudian turun ayat sesudahnya yang menasakhnya, yaitu firman ALLOH: 'Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari-hari yang lain. (Qur-an Suroh al-Baqoroh (2): ayat 185). Akhirnya ALLOH mewajibkan puasa sebagai wajib 'ain tanpa ada pilihan."

Puasa ini hanya diwajibkan ketika sudah dapat dipastikan masuknya bulan Romadhon, dan tidak boleh melakukan puasa sebelum masuknya bulan ini. Nabi shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam bersabda:

"Janganlah salah seorang di antara kalian mendahului Romadhon dengan puasa sehari atau dua hari. Kecuali jika ada seseorang yang memang sudah terbiasa berpuasa, maka silahkan saja ia berpuasa (sunnah) pada hari itu." (Hadits Riwayat Imam al-Bukhori)

Masuknya bulan Romadhon ini ditentukan dengan salah satu di antara dua hal:

Pertama:

Melihat hilal. Ini didasarkan pada firman ALLOH: "Barangsiapa di antara kamu menyaksikan bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu." (Qur-an Suroh al-Baqoroh (2): ayat 185)

Juga berdasarkan sabda Nabi shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam:

"Jika kalian melihat hilal, berpuasalah." (Muttafaq 'alaih; Hadits Riwayat Imam al-Bukhori dan Imam Muslim)

Tidak setiap orang harus melihatnya sendiri-sendiri. Akan tetapi jika ada satu orang saja yang bisa diterima kesaksiannya yang sudah menyaksikan masuknya bulan Romadhon, maka seluruhnya wajib mengerjakan puasa.

Kesaksian bahwa seseorang melihat hilal ini disyaratkan agar orang yang bersaksi itu sudah baligh, berakal, Muslim dan bisa dipercaya beritan, amanah dan penglihatannya. Adapun anak kecil, maka kesaksiannya mengenai datangnya bulan Romadhon tidak bisa diterima. Ini didasarkan pada hadits Ibnu 'Abbas ro-dhiyaLLOOHU 'anhuma bahwa ia berkata:

"Seorang Arob badui datang kepada Nabi shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam lalu berkata: 'Sesungguhnya aku telah melihat hilal (maksudnya hilal bulan Romadhon).' Beliau shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam pun bertanya: 'Apakah kamu bersaksi bahwa tidak ada sembahan yang benar kecuali ALLOH?' Ia menjawab: 'Ya.' Nabi shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam bertanya lagi: 'Apakah kamu bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan ALLOH?' Ia menjawab: 'Ya.' Nabi shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam berkata: 'Wahai bilal, umumkan kepada orang-orang agar mereka mengerjakan puasa esok hari!" (Hadits Riwayat Imam Tujuh, kecuali Imam Ahmad) (6)

Adapun orang yang belum bisa dipercaya untuk menyampaikan sebuah berita, misalnya ia dikenal sebagai orang yang suka berdusta atau suka ceroboh, atau lemah penglihatannya dimana ia jelas tidak mungkin bisa melihatnya, maka kesaksiannya untuk menetapkan datangnya bulan Romadhon tidak bisa diterima. Sebab, kejujurannya diragukan, atau kemungkinan besar ia berdusta. Masuknya bulan Romadhon khususnya cukup berdasarkan kesaksian dari satu orang. Ini berdasarkan perkataan Ibnu 'Umar ro-dhiyaLLOOHU 'anhuma:

"Orang-orang saling berusaha melihat hilal, lalu aku kabarkan kepada Nabi shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam bahwa aku telah melihatnya. Beliau shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam pun lantas berpuasa dan menyuruh orang-orang agar berpuasa."

Hadits dia atas diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dan Imam al-Hakim yang sekaligus menyatakan bahwa hadits ini shohih berdasarkan syarat Imam Muslim.

Maka orang yang telah melihat hilal secara meyakinkan, ia wajib memberitahukan kepada pemerintah. Demikian juga jika melihat hilal bulan Syawwal dan Dzulhijjah, karena hal itu terkait dengan kewajiban puasa, idul Fithri dan hajji. Sedangkan bila suatu kewajiban itu tidak bisa terlaksana dengan sempurna kecuali dengan sarana, maka sarana ini menjadi wajib hukumnya. Jika seseorang melihat hilal dalam keadaan sendirian di suatu tempat yang sangat jauh dari keramaian yang tidak memungkinkan baginya untuk memberitahukan kepada pihak pemerintah, maka ia berkewajiban untuk melaksanakan puasa pada hari itu dan tetap berupaya untuk menyampaikan informasi kepada pihak pemerintah sesuai dengan kemampuannya.

Jika kepastian tibanya bulan Romadhon telah diumumkan oleh pihak pemerintah melalui radio atau media lainnya, maka masuk maupun keluarnya bulan Romadhon, atau bulan lainnya, telah disahkan. Sebab, pengumuman dari pihak pemerintah merupakahan hujjah syar'i yang wajib dilaksanakan. Oleh karena itu, Nabi shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam memerintahkan Bilal untuk mengumandangkan adzan di tengah-tengah masyarakat sebagai bentuk pengumuman sudah jatuhnya bulan Romadhon agar mereka berpuasa ketika Beliau shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam sudah tahu secara pasti bahwa Romadhon telah tiba. Pengumuman itu sekaligus menjadi hukum yang mengharuskan mereka untuk melaksanakan puasa Romadhon.

Jika masuknya bulan Romadhon telah dapat dipastikan secara syar'i, maka tidak ada lagi permasalahan dengan masalah manzilah (posisi) bulan. Sebab, Nabi shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam menyandarkan hukum ini berdasarkan terlihatnya hilal dan bukan berdasarkan posisi bulan. Nabi shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam bersabda:

"Jika kalian melihat hilal, berpuasalah. Dan jika kalian melihat hilal (kembali muncul), berbukalah." (Muttafaq 'alaih; Hadits Riwayat Imam al-Bukhori dan Imam Muslim)

Beliau shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam juga bersabda:

"Jika ada dua orang Muslim yang menyaksikan hilal, maka hendaklah kalian berpuasa (Romadhon) dan berbuka (Idul Fithri)." (Hadits Riwayat Imam Ahmad) (7)

Kedua:

Kaidah kedua untuk memastikan masuknya bulan Romadhon adalah sempurnanya bulan sebelumnya (Sya'ban) menjadi genap tiga puluh hari. Sebab, bulan qomariyyah tidak mungkin melebihi tiga puluh hari, dan juga tidak mungkin kurang dari dua puluh sembilan hari. Boleh jadi ada dua, tiga sampai empat bulan yang berturut-turut mempunyai tiga puluh hari; atau bisa juga ada dua, tiga sampai empat bulan mempunyai dua puluh sembilan hari. Akan tetapi biasanya satu sampai dua bulan dengan jumlah sempurna (tiga puluh hari), sedangkan bulan yang ketiganya adalah kurang dari tiga puluh hari. Jika bulan sebelumnya telah mencapai jumlah tiga puluh hari penuh, maka secara syar'i dihukumi telah masuk bulan berikutnya, sekalipun hilal tidak terlihat. Ini berdasarkan sabda Nabi shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam:

"Berpuasalah karena melihat hilal, dan berbukalah (di hari 'Idul Fithri) karena melihat hilal. Jika pertanda masuknya bulan tertutup awan, maka hitunglah bulan menjadi tiga puluh hari."
(Hadits Riwayat Imam Muslim)

Sedangkan Imam al-Bukhori meriwayatkan dengan lafal:

"Jika kalian tidak bisa melihat hilal karena samar, maka sempurnakanlah hitungan bulan menjadi tiga puluh hari."

Dan dalam kitan Shohiih Ibnu Khuzaimah disebutkan riwayat hadits dari 'Aisyah ro-dhiyaLLOOHU 'anhuma, bahwa ia berkata:

"Adalah Nabi shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam lebih memperhatikan hitungan bulan Sya'ban melebihi bulan-bulan lainnya, kemudian Beliau shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam melaksanakan puasa (Romadhon) ketika melihat hilal Romadhon. Jika langit tertutup mendung, maka Beliau shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam menghitung bulan menjadi lengkap tiga puluh hari, kemudian berpuasa Romadhon." (Imam Abu Dawud dan Imam ad-Daruquthni serta menshohihkannya)

Hadits-hadits di atas menjelaskan bahwa tidak boleh melaksanakan puasa Romadhon sebelum hilal Romadhon terlihat. Jika hilal tidak bisa dilihat, maka bulan Sya'ban dilengkapkan menjadi tiga puluh hari. Pada hari ketiga puluh bulan Sya'ban ini kita tidak boleh berpuasa, apakah malam itu terang atau pun tertutup awan. Ini berdasarkan perkataan 'Amar bin Yasir ro-dhiyaLLOOHU 'anhu:

"Siapa yang berpuasa pada hari dimana ia meragukannya, maka ia telah durhaka kepada Abul Qosim (Rosululloh shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam)." (Hadits Riwayat Imam Abu Dawud, Imam at-Tirmidzi, dan Imam an-Nasa-i, Imam al-Bukhori menyebutkannya secara mu'allaq)

Ya ALLOH, bantulah kami supaya bisa mengikuti petunjuk, dan jauhkanlah kami dari hal-hal yang menyebabkan kebinasaan dan kesengsaraan. Jadikanlah bulan Romadhon kami ini sebagai bulan kebaikan dan berkah. Bantulah kami untuk bisa menaati-MU. Jauhkanlah kami dari jalan-jalan kemaksiatan kepada-MU. Ampunilah kami dan juga kedua orang tua kami serta seluruh kaum muslimin dengan rohmat-MU, wahai Dzat Pemberi rohmat yang terbaik. Sholawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam, kepada keluarga dan para Shohabat serta siapa saja yang mengikuti jalan mereka dengan baik hingga hari pembalasan.

===

(6) Dishohihkan oleh Imam Ibnu Khuzaimah dan Imam Ibnu Hibban, akan tetapi ia mencacatkannya karena dinilai mursal.

(7) Sanadnya tidak bermasalah (laa ba'sa bih), sekalipun terdapat perselisihan mengenai periwayat hadits ini. Tapi ia mempunyai syahid (hadits lain yang menjadi bukti penguat) yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dan Imam Daruquthni. Ia mengatakan bahwa isnadnya mttashil shohih.

===

Maroji':
Kitab: Majaalisu Syahru Romadhoon, Penulis: Syaikh Muhammad bin Sholih al-'Utsaimin, Penerbit: Daruts Tsuroyya lin Nasyr - Riyadh, Cetakan I, 1422 H/ 2002 M, Judul terjemahan: Kajian Romadhon, Penerjemah: Salafuddin Abu Sayyid, Penerbit: al-Qowam - Solo, Cetakan V, 2012 M.

===

Sent from my BlackBerry®
powered by Sinyal Kuat INDOSAT