Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin rahimahullaah
Kajian Ramadhan.
Kajian Kedelapan.
Lanjutan Klasifikasi Manusia dalam Menjalankan Puasa dan Hukum-hukum Qadha.
Segala puji bagi Allah yang Mahaesa, Mahaagung, Mahaperkasa, Mahakuasa, Mahakuat, dan Mahatinggi yang tidak akan mampu ditangkap oleh akal dan pikiran manusia. Allah menyifati makhluk-Nya dengan sifat 'butuh' dan 'memerlukan' serta menampakkan pengaruh dari kekuasaan-Nya dengan menggilirkan siang dan malam. Ia mendengar rintihan orang yang kesakitan yang mengadukan rasa sakitnya; melihat jalannya semut hitam di kegelapan malam di dalam gua; serta mengetahui segala rahasia yang disimpan oleh hati. Sifat Allah adalah sebagaimana Dzat-Nya, sedangkan orang-orang yang menyerupakan Allah dengan selain-Nya adalah orang-orang kafir. Kita mengakui apa saja yang disifatkan oleh Allah pada diri-Nya sebagaimana yang disebutkan dalam al-Qur-an dan hadits, "Maka apakah orang-orang yang mendirikan masjidnya di atas dasar takwa kepada Allah dan keridhaan(-Nya) itu yang baik, ataukah orang-orang yang mendirikan bangunannya di tepi jurang yang runtuh?! (Qur-an Surat at-Taubah (9): ayat 109). Kita memuji Allah yang Mahasuci dalam suka maupun duka.
Aku bersaksi bahwa tidak ada sembahan yang benar kecuali Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya, yang dengan sendiri mencipta dan mengatur. "Dan Rabbmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilihnya." (Qur-an Surat al-Qashash (28): ayat 68)
Aku bersaksi pula bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya sebagai Nabi yang paling utama. Semoga Allah mencurahkan rahmat kepada beliau; kepada Abu Bakar yang pernah menjadi teman beliau di dalam gua; kepada 'Umar yang menundukkan kaum kuffar; kepada 'Utsman yang syahid di rumah sendiri; dan kepada 'Ali yang senantiasa bangun beribadah di waktu sahur; serta kepada keluarga dan para shahabat beliau, khususnya kaum Muhajirin dan Anshar.
Pada bagian yang lalu kita telah selesai membahas tujuh golongan manusia berkenaan dengan kewajiban puasa Ramadhan. Berikut ini adalah tiga golongan berikutnya.
Golongan kedelapan: Wanita yang haidh. Ia dilarang (haram) menjalankan puasa. Dengan demikian, jika ia melaksanakan puasa maka puasanya tidak sah. Ini berdasarkan sabda Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam berkenaan dengan kaum wanita:
"Aku tiada melihat makhluk-makhluk kurang akal dan agama yang lebih bisa menghilangkan nalar laki-laki yang berhati teguh, daripada kalian (para wanita)." Kami menanyakan kepada beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam: "Apa yang dimaksud dengan kurangnya akal dan kurangnya agama kami, ya Rasulullah?" Beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Bukankah persaksian seorang wanita adalah separuh dari persaksian laki-laki?" Kami menjawab: "Ya." Beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Nah, yang demikian itulah yang dimaksud dengan kekurangan akalnya. Bukankah ketika ia sedang haidh tidak mengerjakan shalat dn juga tidak boleh berpuasa?" Kami menjawab: "Ya." Beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam kemudian bersabda: "Nah, yang demikian itulah kekurangan agamanya." (Mutafaq 'alaih)
Haidh adalah darah alami yang keluar dari seorang wanita pada hari-hari tertentu. Jika haidh itu muncul pada saat ia sedang mengerjakan puasa, sekalipun sebentar saja sebelum terbenam matahari, maka puasanya pada hari itu tetap batal, dan ia berkewajiban untuk mengqadhanya. Kecuali jika yang dikerjakan adalah puasa sunnah. Di sini qadha tidaklah wajib akan tetapi hanya sunnah saja.
Jika ia suci dari haidhnya di tengah (siang) Ramadhan, maka tidak sah mengisi sisa hari itu dengan puasa karena adanya sesuatu yang bisa membatalkan puasa itu sendiri sejak awal hari. Namun, apakah kemudian ia berkewajiban menjalankan puasa di sisa-sisa waktu pada hari tersebut? Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat di kalangan 'ulama sebagaimana yang telah disebutkan di depan berkenaan dengan masalah orang musafir yang tiba di kampung halamannya dalam keadaan tidak berpuasa.
Jika ia telah suci dari haidhnya di malam Ramadhan, sekalipun pada saat detik-detik menjelang fajar, maka ia tetap berkewajiban menjalankan puasa, karena ketika itu ia menjadi golongan orang yang punya kewajiban menjalankan puasa, sedangkan tidak ada sesuatu yang menghalanginya untuk menjalankannya. Puasanya tetap sah mulai saat itu, sekalipun ia baru mandi setelah terbit fajar. Ini sama halnya dengan orang yang junub jika melaksanakan puasa sedangkan ia baru mandi setelah terbit fajar. Puasanya tetap sah. Ini berdasarkan perkataan 'Aisyah radhiyallaahu 'anhuma:
"Adalah Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bangun pagi dalam keadaan junub karena habis melakukan jima', bukan sekedar karena mimpi basah, kemudian beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melaksanakan puasa pada bulan Ramadhan."
(Mutafaq 'alaih)
Wanita yang nifas juga terkena hukum yang sama dengan wanita yang haidh dalam segala hal sebagaimana di atas. Ia wajib mengqadhanya sebanyak hari yang ditinggalkannya. Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman: "Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain." (Qur-an Surat al-Baqarah (2): ayat 185)
'Aisyah radhiyallaahu 'anhuma pernah ditanya: Mengapa orang yang haidh tetap mengqadha puasa akan tetapi tidak perlu mengqadha shalat? 'Aisyah menjawab:
"Hal itu pernah kami alami, lalu kami diperintah untuk mengqadha puasa saja dan kami tidak diperintah untuk mengqadha shalat."
(Hadits Riwayat Imam Muslim)
Golongan kesembilan: Wanita yang menyusui atau hamil, dan ia khawatir terhadap dirinya atau anaknya jika ia menjalankan puasa, maka ia boleh tidak berpuasa. Ini berdasarkan hadits Anas bin Malik al-Ka'bi radhiyallaahu 'anhu bahwa ia berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:
"Sesungguhnya Allah mengurangi (meringankan) atas orang musafir separuh shalatnya (qashar), serta memberikan keringanan pula atas orang musafir, orang hamil dan orang yang menyusui untuk tidak berpuasa." (Hadits Riwayat lima Imam hadits, sedangkan lafal hadits ini milik Imam Ibnu Majah)
Namun demikian mereka harus mengqadhanya sejumlah hari puasa yang ditinggalkannya manakala sudah memungkinkan bagi mereka untuk menjalankannya serta tidak ada lagi kekhawatiran, sebagaimana yang sakit jika ia sudah sembuh.
Golongan kesepuluh: Orang yang perlu berbuka untuk menolak atau menyelamatkan orang lain yang sedang dalam keadaan darurat, seperti menyelamatkan manusia 'yang terlindungi darahnya' dari tenggelam, atau kebakaran, atau keruntuhan, atau tanah longsor dan sebagainya. Jika untuk melakukan penyelamatan seperti itu tidak mungkin bisa kecuali harus dengan memperkuat tubuh dengan makan dan minum, maka ia boleh berbuka, dan bahkan wajib berbuka ketika itu. Sebab, menyelamatkan orang yang terlindungi darahnya dari kebinasaan seperti itu adalah wajib, sedangkan suatu kewajiban jika tidak bisa terlaksana dengan sempurna dengan suatu saranan, maka sarana ini menjadi wajib hukumnya. Sesudah itu ia wajib mengqadha puasanya.
Hal yang serupa adalah seperti orang yang perlu makan untuk memperkuat tubuh dalam rangka jihad di jalan Allah dalam berperang melawan musuh, maka ia boleh berbuka puasa dan kemudian mengqadha puasanya sejumlah hari yang ditinggalkannya, baik perang itu berlangsung ketika dalam perjalanan (ekspedisi) ataupun di dalam negeri sendiri jika diserang oleh musuh. Sebab, hal itu mengandung arti membela dan melindungi kaum muslimin serta dalam rangka meninggikan kalimat Allah 'Azza wa Jalla.
Dalam kitab Shahih Muslim disebutkan riwayat dari Abu Sa'id al-Khudri radhiyallaahu 'anhu bahwa ia berkata:
"Kami pernah mengadakan perjalanan (safar) bersama Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam ke Makkah, sedangkan kami ketika itu berpuasa. Kami singgah di suatu persinggahan, lalu Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: 'Sesungguhnya kalian sudah dekat dengan musuh kalian, dan berbuka puasa akan membuat kalian lebih kuat.' Maka hal itu menjadi rukhshah bagi kami, sehingga di antara kami ada yang tetap berpuasa dan ada pula yang berbuka. Selanjutnya kami singgah di tempat lain, lalu Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: 'Sesungguhnya esok hari kalian akan berhadapan dengan musuh, sedangkan berbuka akan membuat kalian lebih kuat. Karena itu berbukalah kalian!' Akhirnya berbuka menjadi suatu ketetapan, sehingga kami pun berbuka."
Hadits ini mengandung petunjuk tersendiri bahwa kekuatan untuk berperang menjadi penyebab tersendiri -selain safar- (untuk berbuka puasa). Sebab, Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam menjadikan alasan perintah untuk berbuka puasa ini agar menumbuhkan kekuatan untuk berperang melawan musuh, bukannya alasan safar. Oleh karena itu, beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam tidak menyuruh para shahabat radhiyallaahu 'anhum berbuka ketika mereka singgah di tempat yang pertama.
Setiap golongan orang yang dibolehkan berbuka puasa dengan salah satu di antara sebab-sebab di atas, maka tidak salah jika ia menyatakan secara terbuka bahwa ia berbuka puasa jika penyebabnya memang jelas dan terlihat, seperti orang sakit dan orang lanjut usia yang tidak lagi mampu menjalankan puasa. Adapun jika penyebabnya tidak terlihat, seperti orang yang haidh dan orang yang menyelamatkan orang lain dari kebinasaan, maka sebaiknya ia berbuka puasa secara sembunyi dan tidak perlu menyatakan hal itu kepada orang lain agar tidak terjadi tuduhan terhadap dirinya, dan juga agar orang yang bodoh tidak tertipu sehingga ia menyangka bahwa berbuka itu boleh tanpa ada udzur (alasan).
Setiap golongan yang berkewajiban mengqadha puasanya yang termasuk golongan-golongan di atas, maka ia wajib mengganti puasanya sejumlah hari yang ditinggalkannya, berdasarkan firman Allah: "Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain." (Qur-an Surat al-Baqarah (2): ayat 185)
Jika ia tidak menjalankan puasa sebulan penuh, maka ia pun wajib mengganti sejumlah itu pula. Jika jumlah bulan Ramadhan yang ditinggalkannya adalah tiga puluh hari, maka ia harus mengganti tiga puluh hari, dan jika dua puluh sembilan hari maka ia wajib mengganti sejumlah itu pula.
Yang lebih utama adalah bersegera mengqadha puasa yang ditinggalkannya ketika sudah tidak ada lagi udzur. Sebab, hal ini akan lebih cepat kepada kebaikan dan lebih cepat kepada pelunasan tanggungan.
Boleh mengulurkannya sampai waktu antara Ramadhan yang ditinggalkannya hingga (sebelum tiba) Ramadhan berikutnya dengan sejumlah hari yang ditinggalkannya. Allah berfirman: "Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin."
(Qur-an Surat al-Baqarah (2): ayat 184)
Bolehnya mengakhirkan qadha ini merupakan kemudahan yang diberikan oleh Allah. Jika seseorang mempunyai tanggungan sepuluh hari dari puasa Ramadhan, maka ia boleh mengakhirkannya hingga sepuluh hari sebelum Ramadhan berikutnya tiba.
Namun ia tidak boleh mengundurkan qadha hingga Ramadhan yang kedua (berikutnya) tanpa udzur, berdasarkan perkataan 'Aisyah radhiyallaahu 'anhuma:
"Aku pernah punya tanggungan puasa Ramadhan, namun baru mampu mengqadhanya di bulan Sya'ban."
(Hadits Riwayat Imam al-Bukhari)
Di samping itu, menangguhkan hingga Ramadhan kedua akan menimbulkan bertumpuknya tanggungan puasa atasnya, atau bahkan barangkali ia tidak mampu menunaikannya atau bisa juga meninggal. Karena puasa juga merupakan 'ibadah yang dikerjakan secara berulang-ulang sehingga tidak boleh mengakhirkan (menunda) yang pertama kepada waktu yang berikutnya sebagaimana shalat. Jika udzur itu terjadi secara berulang-ulang sampai mati, maka ia tidak punya kewajiban apapun. Sebab, Allah Subhaanahu wa Ta'aala mewajibkan atasnya mengganti sejumlah hari yang ditinggalkannya dengan hari yang lain, sementara belum memungkinkan baginya untuk menjalankannya. Kewajiban tersebut menjadi gugur hukumnya. Ini sama halnya dengan orang yang meninggal sebelum masuk bulan Ramadhan. Ia tidaklah wajib melaksanakan puasa Ramadhan. Jika masih memungkinkan untuk diqadha, namun ia mengabaikannya sampai kemudian ia meninggal dan belum sempat menggantinya, maka walinya bisa mengqadhakan seluruh dari puasa yang ditinggalkannya jika hal itu memungkinkan. Ini didasarkan pada sabda Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam:
"Siapa yang meninggal dunia dan masih punya tanggungan puasa, maka walinya bisa menggantikan puasanya." (Mutafaq 'alaih)
Yang dimaksudkan dengan wali di sini adalah ahli warisnya atau kerabatnya. Boleh juga sejumlah orang mengqadhakan puasanya sejumlah hari puasa yang ditinggalkannya dalam sehari secara bersama-sama.
Imam al-Bukhari rahimahullaah mengatakan bahwa Hasan berkata: "Jika puasa yang menjadi tanggungannya digantikan oleh tiga puluh orang dalam sehari (secara bersamaan), maka yang demikian itu boleh." Jika ia tidak mempunyai wali, atau mempunyai wali tapi tidak mau menjalankan puasa, maka sebagai gantinya adalah memberi makan orang miskin tiap hari sejumlah hari puasa yang menjadi tanggungannya yang diambilkan dari harta peninggalannya; setiap orang miskin diberi satu mud gandum, ukurannya dengan gandum yang bagus adalah setengah kilo sepuluh gram.
Demikian itu adalah klasifikasi manusia berkenaan dengan hukum puasa yang telah disyari'atkan oleh Allah; masing-masing kelompok memiliki hukum yang sesuai dengan keadaan dan posisinya. Maka ketahuilah hikmah yang telah digariskan oleh Rabb kalian dalam syari'at Islam ini. Selanjutnya syukurilah nikmat yang dianugerahkan oleh-Nya kepada kalian yang berupa kemudahan di dalam menjalankannya. Mohonlah kepada Allah agar berkenan memberikan keteguhan di dalam berpegang dan melaksanakan ajaran agama ini sampai mati.
Ya Allah, ampunilah dosa-dosa kami yang telah menghalangi kami untuk selalu mengingat-Mu. Maafkanlah kami atas kekurangan dan kealpaan kami dalam melaksanakan ketaatan kepada-Mu dan di dalam berterima kasih (syukur) kepada-Mu. Langgengkanlah kami untuk senantiasa menempuh jalan kepada-Mu. Berilah kami cahaya yang akan menerangi jalan petunjuk untuk menghadap-Mu. Anugerahkanlah kepada kami kenikmatan bermunajat kepada-Mu. Langkahkanlah kami agar bisa menempuh jalan orang-orang yang Engkau ridhai. Ya Allah, selamatkanlah kami dari keterpurukan, bangunkan kami dari kelalaian, tunjukkan kepada kami jalan petunjuk, dan perbaikilah niat kami dengan kemurahan-Mu. Ya Allah, himpun kami ke dalam golongan orang-orang yang bertakwa dan gabungkan kami dengan hamba-hamba-Mu yang shalih. Semoga Allah mencurahkan rahmat dan kedamaian kepada Nabi Muhammad Shallallaahu 'alaihi wa Sallam serta kepada keluarga dan para shahabat beliau seluruhnya.
===
Maraji'/ sumber:
Kitab: Majaalisu Syahru Ramadhaan, Penulis: Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin rahimahullaah, Penerbit: Daruts Tsurayya lin Nasyr - Riyadh, Cetakan I, 1422 H/ 2002 M, Judul terjemahan: Kajian Ramadhan, Penerjemah: Salafuddin Abu Sayyid, Penerbit: al-Qowam - Solo, Cetakan V, 2012 M.
===
Ary Ambary Ahmad Abu Sahla al-Bantani
Sent from my BlackBerry® PIN 269C8299
powered by Sinyal Kuat INDOSAT