Skip to main content

Kajian Ramadhan: Hikmah Puasa (2)

Kajian Ramadhan

Kajian Kesembilan

Hikmah Puasa (2)

Di antara hikmah Allah itu adalah bahwa Allah menjadikan 'ibadah bermacam-macam, untuk menyaring siapa yang menerima dan ridha serta untuk menyaring orang-orang yang beriman. Di antara manusia itu terkadang ada yang rela dan menerima suatu bentuk 'ibadah dan komitmen kepadanya, namun ada lagi yang membenci jenis lain dan mengabaikannya. Maka Allah menjadikan di antara bentuk 'ibadah itu ada yang berkaitan dengan 'amalan jasmani, seperti shalat, ada pula yang berkaitan dengan harta yang dicintai seperti 'ibadah zakat, ada yang berkaitan dengan 'amalan badan dan sekaligus harta, seperti 'ibadah haji dan jihad, dan ada pula yang berkaitan dengan tindakan menahan diri dari segala keinginan nafsu seperti puasa. Jika seorang hamba telah menjalankan 'ibadah-ibadah ini serta menyempurnakannya sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah tanpa ada perasaan benci atau mengabaikan, lalu ia rela bersusah-payah untuk melaksanakan segala yang dicintai oleh Allah dan menahan diri dari keinginan nafsunya dalam rangka menaati Rabbnya dan melaksanakan perintah-Nya serta ridha dengan syari'at-Nya, maka hal itu menjadi bukti kesempurnaan 'ibadahnya, kepatuhannya dan kecintaannya kepada Rabbnya, serta pengagungan kepada-Nya. Dengan demikian terwujudlah karakter 'ubudiyah kepada Allah Rabb semesta alam.

Jika hal ini telah jelas, maka puasa itu mempunyai banyak hikmah yang menyebabkannya menjadi salah satu dari kewajiban dan rukun Islam.

Di antara hikmah puasa adalah bahwa ia merupakan 'ibadah kepada Allah Subhaanahu wa Ta'aala yang dilaksanakan oleh hamba untuk mendekatkan diri kepada-Nya dengan cara meninggalkan segala hasrat dan keinginan nafsu, yang berupa makanan, minuman dan bersenggama. Dari situ akan terlihat kesungguhan imannya, kesempurnaan 'ibadahnya kepada Allah, kekuatan cintanya kepada-Nya serta harapannya di sisi-Nya. Manusia tidak akan mau meninggalkan sesuatu yang dicintainya kecuali karena ada yang lebih besar darinya. Manakala seorang mukmin mengetahui bahwa ridha Allah itu ada pada 'ibadah puasa dengan cara meninggalkan syahwatnya -dimana manusia memang tercipta dalam keadaan cinta kepadanya-, maka ia berarti lebih mendahulukan kecintaannya kepada Rabbnya daripada mengikuti hawa nafsunya. Ia rela meninggalkannya sekalipun ia sebenarnya senang mengikuti hawa nafsunya. Ini semata ia lakukan karena kenikmatan dan kedamaian jiwa yang ia rasakan adalah bilamana ia mampu meninggalkan hal itu semata karena Allah. Oleh karena itu, banyak kaum beriman yang seandainya saja dipukuli atau dipenjara untuk dipaksa agar mau berbuka sehari saja di bulan Ramadhan tanpa ada udzur syar'i, maka ia tidak akan mau berbuka. Ini merupakan bagian dari hikmah puasa yang paling agung.

Hikmah puasa lainnya adalah bahwa ia merupakan penyebab lahirnya ketakwaan. Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman: "Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa." (Qur-an Surat al-Baqarah (2): ayat 183)

Orang yang berpuasa itu diperintah agar menjalankan ketaatan dan menjauhi segala kemaksiatan. Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:

"Siapa yang tidak bisa meninggalkan ucapan zur (dusta dan batil, -ed), tindakan zur, dan kejahilan, maka Allah tidak butuh kepada 'amalan meninggalkan makanan dan minuman (puasa) yang dilakukannya." (Hadits Riwayat Imam al-Bukhari)

Jika orang yang berpuasa itu benar-benar merasakan bahwa dirinya sedang menjalankan puasa, maka ketika ia ingin berbuat kemaksiatan, maka ia akan ingat bahwa dirinya sedang berpuasa sehingga akhirnya ia pun segera menahan diri dari berbuat maksiat. Oleh karena itu Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam menyuruh orang yang sedang berpuasa ketika ada seseorang yang mencacinya agar mengatakan: "Aku orang yang berpuasa!", sebagai peringatan baginya bahwa orang yang sedang berpuasa itu diperintahkan untuk menahan diri dari tindakan mencaci dan mencela, di samping juga sebagai peringatan bagi dirinya sendiri bahwa ia sedang menjalankan puasa sehingga ia harus menahan diri dari membalas celaan orang lain terhadap dirinya.

Bersambung...

===

Maraji'/ sumber:
Kitab: Majaalisu Syahru Ramadhaan, Penulis: Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin rahimahullaah, Penerbit: Daruts Tsurayya lin Nasyr - Riyadh, Cetakan I, 1422 H/ 2002 M, Judul terjemahan: Kajian Ramadhan, Penerjemah: Salafuddin Abu Sayyid, Penerbit: al-Qowam - Solo, Cetakan V, 2012 M.

===

Layanan GRATIS Konsultasi, Estimasi Biaya, dan Survei Lokasi: Rangka Baja Ringan, Genteng Metal & Plafon Gypsum
http://www.bajaringantangerang.com

===

Ary Ambary Ahmad Abu Sahla al-Bantani
Sent from my BlackBerry® PIN 269C8299
powered by Sinyal Kuat INDOSAT

Popular posts from this blog