Skip to main content

Klasifikasi Manusia Berkenaan dengan Kewajiban Puasa | Kajian Ramadhan

Majaalisu Syahru Ramadhaan.

Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin rahimahullaah.

Kajian Ramadhan.

Kajian Ketujuh.

Klasifikasi Manusia Berkenaan dengan Kewajiban Puasa.

Segala puji bagi Allah yang Mahasuci dari segala tandingan, Mahasuci dari segala kekurangan dan kebertentangan, Mahasuci dari mempunyai anak dan isteri. Dia mengangkat tujuh langit yang kukuh nan tinggi tanpa tiang; menjadikan bumi sebagai hamparan yang dikuatkan dengan pasak-pasak yang kukuh; mengetahui segala rahasia hati dan segala yang tersimpan di pikiran; menentukan segala yang sudah dan akan terjadi, baik berupa petunjuk maupun kesesatan. Bahtera para hamba berlabuh di dalam lautan kelembutan-Nya; di padang kecintaan-Nya pasukan berkuda orang-orang zuhud berjalan; dan kepada-Nya puncak tujuan orang-orang yang meniti jalan kebenaran. Dia mengetahui merembetnya semut hitam di tempat yang gelap dan mengetahui segala yang dibisikkan oleh jiwa dalam batinnya. Dia Maha dermawan kepada siapa saja yang meminta kepada-Nya dan bahkan memberikan tambahan kepada mereka melebihi yang mereka minta. Ia memberikan lebih banyak lagi kepada orang-orang yang mengamalkan ajaran agama dengan penuh keikhlasan.

Aku memuji Allah dengan pujian yang tak terhingga, dan aku bersyukur kepada-Nya atas nikmat yang dianugerahkan-Nya, dimana ketika setiap nikmat itu disyukuri maka nikmat itu semakin bertambah. Aku bersaksi bahwa tidak ada sembahan yang benar kecuali Allah, tidak ada sekutu bagi-Nya, Raja yang menyayangi seluruh hamba-Nya. Aku bersaksi pula bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya yang diutus kepada seluruh makhluk di seluruh penjuru dunia.

Semoga Allah mencurahkan rahmat dan kedamaian kepada beliau (Nabi); kepada shahabat beliau, Abu Bakar, yang telah mencurahkan seluruh jiwa dan hartanya dengan penuh kedermawanan; 'Umar yang dengan penuh kesungguhan dan keberaniannya memenangkan Islam; 'Utsman yang telah membiayai perbekalan pasukan di masa sulit (paceklik); 'Ali yang dikenal dengan keberaniannya yang luar biasa; kepada seluruh keluarga dan para shahabat beliau serta kepada siapa saja yang mereka dengan berbuat baik hingga hari keporak-porandaan (Kiamat).

Pada bagian yang lalu kita telah membicarakan lima golongan manusia berkaitan dengan hukum-hukum puasa. Sekarang ini kita akan membicarakan golongan selanjutnya.

Golongan Keenam: Musafir jika perjalanannya itu tidak diniatkan untuk mencari-cari alasan (kilah) agar boleh berbuka puasa. Jika ia berniat demikian, maka haram baginya berbuka, dan ia wajib berpuasa ketika itu. Jika ia tidak berniat melakukan kilah, maka ia punya pilihan antara berpuasa dan berbuka, entah perjalanan yang ia lakukan itu panjang atau pun pendek; entah perjalanan itu tiba-tiba untuk suatu tujuan tertentu atau yang bersifat terus menerus (rutin), seperti pilot pesawat terbang dan sopir. Ini berdasarkan keumuman firman Allah Subhaanahu wa Ta'aala: "Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka wajiblah baginya berpuasa sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu." (Qur-an Surat al-Baqarah (2): ayat 185)

Dalam kitab Shahihain disebutkan riwayat dari Anas bin Malik radhiyallaahu 'anhu bahwa ia berkata:

"Kami pernah bepergian bersama Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam, dimana di antara kami yang tetap menjalankan puasa tidak mencela yang berbuka, dan yang berbuka tidak mencela yang tetap berpuasa."

Dalam kitab Shahih Muslim disebutkan riwayat dari Abu Sa'id al-Khudri radhiyallaahu 'anhu bahwa ia berkata:

"Mereka (para shahabat) berpendapat bahwa orang yang masih tetap mampu menjalankan puasa (dalam perjalanan) lalu ia berpuasa, maka yang demikian itu adalah baik. Demikian juga mereka berpendapat bahwa orang yang lemah dan kemudian berbuka, maka yang demikian itu juga baik."

Dalam kitab Sunan Abi Dawud disebutkan riwayat dari Hamzah bin Amru al-Aslami radhiyallaahu 'anhu bahwa ia berkata:

"Ya Rasulullah, aku mempunyai kendaraan yang selalu aku urus, aku gunakan bepergian, dan aku sewakan. Barangkali, suatu saat aku akan terbentur untuk bepergian di bulan ini -yakni Ramadhan-, sedangkan aku adalah seorang pemuda yang kuat berpuasa, bahkan rasanya puasa itu lebih ringan bagiku daripada bila aku harus mengakhirkannya sehingga justru menjadi beban utang bagiku. Maka, ya Rasulullah, manakah yang lebih besar pahalanya bagiku, apakah bila aku berpuasa atau bila aku berbuka?" Beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda, "Terserah engkau memilihnya, Hamzah." (13)

Jika orang yang bekerja sebagai supir merasa berat untuk menjalankan puasa Ramadhan dalam perjalanan karena cuaca panas misalnya, maka ia bisa mengundurkannya pada saat cuaca dingin sehingga ia merasa ringan dan mudah dalam menjalankan puasa. Yang lebih utama bagi musafir adalah mengerjakan yang paling mudah dan ringan baginya, apakah puasanya atau berbukanya. Jika antara keduanya sama saja, maka berpuasa lebih utama, karena hal itu lebih cepat untuk menunaikan tanggungannya dan lebih menggiatkannya ketika orang-orang lain juga sedangkan menjalankan puasa. Sebab, ini merupakan perbuatan Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam. Disebutkan dalam kitab Shahih Muslim dari Abu Darda radhiyallaahu 'anhu bahwa ia berkata:

"Kami pernah bepergian bersama Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam pada bulan Ramadhan dalam cuaca yang sangat panas, sampai-sampai masing-masing di antara kami meletakkan tangannya di atas kepala karena panas yang luar biasa. Di antara kami tidak ada yang menjalankan puasa selain Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam dan 'Abdullah bin Rawahah. Namun beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam pun karena mempertimbangkan para shahabat ketika beliau tahu bahwa terlalu berat bagi mereka untuk tetap berpuasa."

Diriwayatkan dari Jabir radhiyallaahu 'anhu:

"Bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bepergian menuju Makkah ketika terjadi penaklukan kota ini (Fathu Makkah) dan beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam berpuasa sehingga sampai di Kura' al-Ghamim. Orang-orang pun turut berpuasa menyertai beliau, lalu dikatakanlah kepada beliau, "Sesungguhnya orang-orang merasa keberatan untuk menjalankan puasa, namun mereka melihat engkau menjalankan puasa." Beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam kemudian meminta segelas air sesudah ashar lalu minum, sedangkan orang-orang melihat beliau."
(Hadits Riwayat Imam Muslim)

Dalam hadits yang berasal dari Abu Sa'id al-Khudri radhiyallaahu 'anhu disebutkan:

"Bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam mendapatkan kubangan air dari tadahan hujan, sedangkan orang-orang tetap menjalankan puasa pada musim kemarau yang sangat panas dan mereka berjalan kaki sedangkan Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam naik bagalnya. Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda, "Minumlah kalian!" Mereka ternyata tidak mau minum. Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda lagi, "Aku tidak seperti kalian, dan aku merasa ringan untuk tetap menjalankan puasa karena mengendarai hewan tunggangan." Mereka tetap saja tidak mau (minum). Beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam kemudian menggeser paha beliau dan turun untuk minum, lalu orang-orang pun turut minum, padahal sebenarnya beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam tidak ingin minum."
(Hadits Riwayat Imam Ahmad) (14)

Jika seorang musafir merasa keberatan untuk menjalankan puasa, maka sebaiknya ia berbuka dan tidak usah berpuasa dalam perjalanan. Dalam hadits Jabir radhiyallaahu 'anhu sebelumnya disebutkan bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam berbuka puasa manakala orang-orang merasa keberatan untuk menjalankan puasa, maka dikatakan kepada beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam: "Sebagian orang tetap berpuasa!" Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam pun bersabda: "Mereka adalah orang-orang yang 'melanggar', mereka adalah orang-orang yang 'melanggar'."
(Hadits Riwayat Imam Muslim)

Dalam kitab Shahihain disebutkan juga riwayat dari Jabir radhiyallaahu 'anhu: Bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam dalam sebuah perjalanan melihat keramaian dan ada seorang lelaki yang dipayungi (dari sengatan matahari). Beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Ada apa ini?" Mereka menjawab: "Orang ini sedang berpuasa." Beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam kemudian bersabda:

"Berpuasa ketika sedang melakukan perjalanan merupakan hal yang tidak baik."

Jika seorang yang berpuasa itu mengadakan perjalanan di tengah hari, lalu ia merasa keberatan untuk melanjutkan puasanya hingga sempurna, maka ia boleh berbuka jika ia keluar dari kampung halamannya. Sebab, Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam pernah menjalankan puasa dan orang-orang pun turut berpuasa menyertai beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam sampai di daerah Kura' al-Ghamim. Ketika beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam mendapat kabar bahwa mereka keberatan untuk melanjutkan puasa, maka beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam pun berbuka dan orang-orang pun turut berbuka pula. Kura' al-Ghamim adalah sebuah gunung hitam berbatu yang membentang sampai di sebuah lembah yang dinamakan lembah al-Ghamim. Lembah ini terletak antara 'Usafan dan Marr azh-Zhahran.

Jika seorang musafir tiba di kampung halamannya pada siang Ramadhan dalam keadaan tidak berpuasa, maka puasanya tidak bisa menjadi sah pada hari itu hingga sorenya. Sebab, pada permulaan hari tersebut ia tidak berpuasa, sedangkan puasa wajib itu tidak sah kecuali dimulai dari terbit fajar. Tapi, apakah ia harus berpuasa di sisa hari tersebut?

Para 'ulama berbeda pendapat mengenai hal itu. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa ia wajib berpuasa pada sisa hari tersebut sebagai bentuk penghormatan terhadap waktu puasa Ramadhan, namun ia tetap wajib mengqadh puasanya, karena puasa yang dilakukannya pada hari itu tidak sah. Hal ini populer di kalangan madzhab Imam Ahmad.

Sebagian 'ulama lain mengatakan bahwa ia tidak wajib melakukan puasa pada sisa hari tersebut, karena puasa di sisa hari itu tidak akan berguna sedikit pun, karena ia sudah punya kewajiban sendiri untuk mengqadhanya. Penghormatan terhadap waktu puasa Ramadhan sudah tidak berarti lagi karena ia boleh berbuka sejak pagi hari secara lahir maupun batin. 'Abdullah bin Mas'ud radhiyallaahu 'anhu berkata: "Siapa makan di awal hari, maka hendaklah ia makan pula di akhir hari." Maksudnya, siapa yang dibolehkan makan di pagi hari karena suatu alasan, maka ia tetap boleh makan di sore hari. Ini adalah pendapat madzhab Imam Malik dan Imam Syafii serta sebuah riwayat dari Imam Ahmad. Akan tetapi, ia tidak boleh menampakkan makan dan minumnya, karena barangkali orang tidak tahu mengenai penyebab ia tidak berpuasa, sehingga orang akan berburuk sangka terhadapnya atau malah mengikutinya.

Golongan ketujuh: Orang sakit yang bisa diharap kesembuhannya. Ada tiga keadaan bagi orang seperti ini:

Pertama: Tidak keberatan untuk menjalankan puasa dn juga tidak membahayakannya. Orang seperti ini tetap wajib berpuasa karena ia tidak punya alasan (udzur) yang membolehkannya untuk tidak berpuasa.

Kedua: Keberatan untuk menjalankan puasa sekalipun tidak membahayakannya. Ia boleh (tidak) berpuasa berdasarkan firman Allah: "Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka, maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain."
(Qur-an Surat al-Baqarah (2): ayat 185)

Dimakruhkan baginya berpuasa jika ia keberatan, karena hal itu berarti keluar dari rukhshah (keringanan; kemurahan) yang diberikan oleh Allah dan menyiksa diri sendiri. Dalam hadits disebutkan:

"Sesungguhnya Allah senang jika rukhshah yang diberikan oleh-Nya itu diterima sebagaimana Allah pun benci bila dilakukan kemaksiatan terhadap-Nya."
(Hadits Riwayat Imam Ahmad, Imam Ibnu Hibban, dan Imam Ibnu Khuzaimah dalam kitab Shahih mereka) (15)

Ketiga: Jika puasanya bisa membahayakannya, maka ia wajib berbuka dan tidak dibenarkan berpuasa. Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman:

"Janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu."
(Qur-an Surat an-Nisa' (4): ayat 29)

"Janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan."
(Qur-an Surat al-Baqarah (2): ayat 195)

Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam pun bersabda:

"Sesungguhnya dirimu punya hak atasmu yang harus engkau tunaikan."
(Hadits Riwayat Imam al-Bukhari)

Di antara hak yang dimaksudkan itu adalah tidak membahayakannya, di samping memang terdapat rukhshah dari Allah Subhaanahu wa Ta'aala untuk tidak berpuasa. Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam juga bersabda:

"Tidak boleh membahayakan diri dan tidak boleh membahayakan (orang lain)."
(Hadits Riwayat Imam Ibnu Majah dan Imam al-Hakim)

Imam an-Nawawi rahimahullaah mengatakan bahwa hadits ini mempunyai berbagai jalur periwayatan lain yang saling menguatkan.

Jika penyakit yang menyerang seseorang itu terjadi di tengah hari bulan Ramadhan, sedang orang tersebut menjalankan puasa dan ia keberatan untuk menyempurnakannya, maka ia boleh berbuka karena adanya alasan yang membolehkannya berbuka puasa. Jika ia sembuh di siang Ramadhan, sedangkan sebelumnya ia tidak berpuasa, maka tidak sah baginya untuk berpuasa mulai dari siang tersebut, karena sejak awal ia tidak berpuasa, sedangkan puasa wajib itu tidak sah kecuali harus dimulai dari terbitnya fajar. Lalu, apakah harus menahan (berpuasa) di sisa-sisa waktu hari itu? Terdapat perbedaan pendapat di kalangan 'ulama mengenai hal ini sebagaimana yang disebutkan sebelumnya berkenaan dengan orang musafir yang tiba di kampung halamannya dalam keadaan tidak berpuasa di siang Ramadhan.

Jika berdasarkan petunjuk kedokteran bahwa puasa yang dilakukan oleh seseorang akan menimbulkan bahaya atau akan memperlambat kesembuhannya, maka ia boleh berbuka puasa dalam rangka memelihara kesehatannya dan menjaga diri dari sakit. Jika bahaya ini diharap bisa hilang, maka ia menunggu sehingga sakitnya benar-benar hilang kemudian mengqadha puasa yang ditinggalkannya. Jika bahaya itu tidak bisa diharap akan hilang, maka hukum yang berlaku adalah seperti pada golongan kelima; ia tidak perlu berpuasa namun harus memberi makan seorang miskin setiap hari sejumlah puasa yang ditinggalkannya.

Ya Allah, berilah kami petunjuk dan pertolongan untuk bisa melaksanakan 'amalan yang Engkau ridhai. Jauhkanlah kami dari segala hal yang menyebabkan kemurkaan-Mu dan menyebabkan kedurhakaan terhadap-Mu. Ampunilah kami, kedua orang tua kami, dan seluruh kaum muslimin dengan rahmat-Mu, wahai Dzat Pemberi rahmat yang terbaik. Semoga Allah mencurahkan rahmat dan kedamaian kepada Nabi kita Muhammad, serta keluarga dan para shahabat beliau seluruhnya, Aamiiiin.

===

(13) Sanadnya dha'if, akan tetapi ia mempunyai syawahid yang aslinya terdapat dalam kitab Shahih Muslim dari Hamzah bahwa ia berkata: "Ya Rasulullah, aku merasa kuat untuk tetap menjalankan puasa dalam perjalanan. Apakah aku berdosa?" Beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Ia merupakan keringanan (rukhshah) dari Allah. Siapa yang mengambilnya, maka itu baik. Dan siapa yang ingin tetap berpuasa, maka tidak ada dosa baginya."

(14) Sanad hadits ini jayyid, sebagaimana yang dikatakan dalam kitab al-Fath ar-Rabbani.

(15) Dalam sanad hadits ini terdapat kekacauan (idhthirab), akan tetapi hadits ini mempunyai hadits-hadits lain yang menguatkannya (syawahid).

===

Maraji'/ sumber:
Kitab: Majaalisu Syahru Ramadhaan, Penulis: Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin rahimahullaah, Penerbit: Daruts Tsurayya lin Nasyr - Riyadh, Cetakan I, 1422 H/ 2002 M, Judul terjemahan: Kajian Ramadhan, Penerjemah: Salafuddin Abu Sayyid, Penerbit: al-Qowam - Solo, Cetakan V, 2012 M.

===

Ary Ambary Ahmad Abu Sahla al-Bantani
Sent from my BlackBerry® PIN 269C8299
powered by Sinyal Kuat INDOSAT

Popular posts from this blog