Majaalisu Syahru Ramadhaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin rahimahullaah.
Kajian Ramadhan.
Kajian Keenam.
Klasifikasi Manusia dalam Menjalankan Puasa.
Segala puji bagi Allah yang telah menyempurnakan segala sesuatu yang diciptakan dan dibangun-Nya dengan hikmah dan kebijaksanaan-Nya. Ia membuat syari'at sebagai rahmat dan menyuruh kita agar menaati-Nya, bukan karena kebutuhan-Nya akan tetapi karena kebutuhan kita sendiri. Allah mengampuni dosa setiap orang yang bertaubat dan mendekat kepada Rabbnya serta memperbanyak pemberian kepada siapa saja yang berbuat kebaikan. "Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik." (Qur-an Surat al-'Ankabut (29): ayat 69)
Aku memuji Allah atas segala karunia-Nya, baik dalam keadaan tersembunyi maupun terang-terangan. Aku bersaksi bahwa tidak ada sembahan yang benar kecuali Allah, tidak ada sekutu bagi-Nya, dengan persaksian yang akan aku harap bisa membawa keberuntungan di Surga yang penuh dengan kenikmatan. Aku bersaksi pula bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya yang telah diangkat ke atas langit sehingga menjadi dekat dengan-Nya. Semoga Allah mencurahkan rahmat dan kesejahteraan kepada beliau. Juga kepada shahabat beliau Abu Bakar radhiyallaahu 'anhu yang senantiasa menunaikan 'ibadah dengan penuh kerelaan, sehingga Allah memberikan pujian kepadanya melalui firman-Nya: "...di waktu dia berkata kepada temannya, 'Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah beserta kita'." (Qur-an Surat at-Taubah (9): ayat 40); kepada 'Umar radhiyallaahu 'anhu yang bersungguh-sungguh untuk memenangkan Islam sehingga tak pernah merasa lemah; kepada 'Utsman radhiyallaahu 'anhu yang selalu rela dengan takdir; kepada 'Ali yang merupakan kerabat dekat beliau; serta kepada seluruh keluarga dan shahabat beliau yang mulia.
Pada kajian terdahulu kita telah bicarakan bahwa kewajiban puasa pada mulanya melalui dua tahap, baru kemudian menjadi sebuah hukum yang pasti. Dalam hal ini manusia terbagi menjadi sepuluh kelompok:
Golongan pertama: Orang Muslim yang baligh, mukim, mampu, serta terlepas dari berbagai hal yang menghalanginya dari melakukan puasa.
Ia berkewajiban menjalankan puasa Ramadhan tepat pada waktunya berdasarkan petunjuk dari Kitab dan Sunnah serta ijma'. Allah berfirman: (Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al-Qur-an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu. (Qur-an Surat al-Baqarah (2): ayat 185)
Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam juga bersabda: "Jika kalian melihat hilal, maka berpuasalah." (Mutafaq 'alaih)
Kaum Muslimin seluruhnya juga sepakat (ijma') bahwa puasa Ramadhan wajib ditunaikan oleh orang yang mempunyai kriteria di atas.
Sedangkan orang kafir, maka ia tidak berkewajiban melaksanakan puasa Ramadhan, dan memang tidak sah. Sebab, ia tidak berhak untuk melaksanakan 'ibadah seperti itu. Jika kemudian ia masuk Islam di tengah bulan Ramadhan, ia pun tidak berkewajiban mengganti (qadha) hari-hari sebelumnya. Ini didasarkan pada firman Allah: "Katakanlah kepada orang-orang kafir itu: 'Jika mereka berhenti (dari kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosa mereka yang telah lalu'." (Qur-an Surat al-Anfal (8): ayat 38)
Jika ia masuk Islam di tengah hari di bulan Ramadhan, maka ia harus menahan sisa waktu hari itu sampai terbenam matahari, karena ia telah menjadi orang yang punya kewajiban menjalankan puasa Ramadhan ketika ia masuk Islam, dan ia tidak berkewajiban mengqadha waktu atau hari sebelumnya karena ketika itu ia belum berkewajiban menjalankannya pada waktu kewajiban puasa tiba.
Golongan kedua: Anak kecil.
Ia tidak berkewajiban menjalankan puasa sehingga ia baligh. Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:
"Pena itu diangkat dari tiga golongan manusia; dari orang tidur sehingga ia bangun; dari anak kecil sehingga ia besar (baligh); dan dari orang yang gila sehingga ia sadar kembali."
(Hadits Riwayat Imam Ahmad, Imam Abu Dawud, dan Imam an-Nasa-i, Imam al-Hakim menshahihkannya)
Akan tetapi orang tuanya bisa menyuruhnya jika ia sudah mampu menjalankannya sebagai bentuk latihan untuk melakukan ketaatan kepada Allah sehingga ia menjadi terbiasa setelah ia baligh. Demikianlah yang dilakukan oleh para Salafush Shalih yang seyogyanya kita teladani. Para Shahabat radhiyallaahu 'anhum menyuruh anak-anak mereka berpuasa ketika masih kecil, dan mereka pun pergi ke masjid kemudian membuatkan mereka mainan dari bulu dan semisalnya. Jika anak-anak menangis karena ingin makanan, maka mereka memberikan sesuatu yang bisa dimainkan oleh mereka.
Banyak orang tua sekarang ini yang melalaikan perintah ini. Mereka tidak mau menyuruh anak mereka agar mengerjakan puasa. Bahkan ada pula sebagian dari mereka yang melarang anak-anak mereka melakukan puasa, padahal anak-anak itu sendiri sebenarnya sudah ingin mengerjakannya. Para orang tua itu menganggap pelarangan itu sebagai bentuk kasih sayang kepada mereka. Sebenarnya, kasih sayang itu adalah dengan melaksanakan kewajiban dan mendidik mereka untuk melaksanakan syiar-syiar dan ajaran-ajaran Islam yang lurus. Jadi, sebenarnya orang yang menghalangi anak-anak itu untuk menjalankan puasa atau mengabaikannya, maka ia berarti melakukan kezhaliman terhadap mereka dan juga terhadap diri sendiri. Apabila mereka melihat adanya mudharat bagi anak-anak jika berpuasa, maka tidak mengapa mencegah mereka untuk berpuasa.
Tanda balighnya anak laki-laki adalah salah satu di antara ketiga hal berikut ini:
Pertama, keluarnya air mani dengan mimpi atau lainnya. Ini berdasarkan firman Allah Subhaanahu wa Ta'aala: "Jika anak-anak kalian telah sampai bermimpi basah (baligh), maka hendaklah mereka meminta izin seperti orang-orang sebelum mereka meminta izin." (Qur-an Surat an-Nur (24): ayat 59)
Juga berdasarkan sabda Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam:
"Mandi Jum'at adalah kewajiban atas setiap orang yang telah bermimpi basah."
(Mutafaq 'alaih)
Kedua, tumbuhnya rambut kemaluan. Yaitu rambut yang tumbuh di sekitar qubul. Ini berdasarkan pada perkataan 'Athiyah al-Qurazhi:
"Kami pernah dihadapkan kepada Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam pada waktu terjadinya perang Quraizhah. Siapa saja yang sudah mimpi basah (baligh) atau yang sudah tumbuh rambut kemaluannya, dibunuh sedangkan yang belum dibiarkan saja."
(Hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Imam an-Nasa-i)
Ketiga, sudah mencapai umur lima belas tahun. Ini berdasarkan perkataan 'Abdullah bin 'Umar radhiyallaahu 'anhuma:
"Pada perang Uhud, aku dihadapkan kepada Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam sedangkan ketika itu aku baru berumur empat belas tahun sehingga beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam tidak membolehkanku (untuk turut berperang)."
Sedangkan Imam al-Baihaqi dan Imam Ibnu Hibban dalam kitab Shahihnya dengan sanad shahih menambahkan:
"Beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam tidak melihatku sebagai orang yang sudah baligh (ketika meletus perang Uhud). Sedangkan pada perang Khandaq aku pun diperiksa lagi, sedangkan ketika itu aku berumur lima belas tahun sehingga beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam memperkenankanku untuk ikut perang."
Imam al-Baihaqi dan Imam Ibnu Hibban dalam kitab Shahihnya dengan sanad shahih menambahkan lagi:
"Dan beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melihatku telah baligh."
(Hadits Riwayat Jama'ah)
Ibnu Nafi' mengatakan: Aku pernah menemui 'Umar bin 'Abdul 'Aziz rahimahullaah yang ketika itu menjadi khalifah, lalu aku sampaikan hadits tersebut, beliau pun berkata: "Sesungguhnya ini merupakan batasan antara anak kecil dan orang dewasa." 'Umar bin 'Abdul 'Aziz juga membuat surat keputusan yang disampaikan kepada para pegawainya agar menetapkan jatah pemberian atas orang yang sudah mencapai usia lima belas tahun.
(Hadits Riwayat Imam al-Bukhari)
Kriteria balighnya anak perempuan juga sama dengan kriteria yang berlaku bagi anak laki-laki, namun masih ditambah satu hal lagi, yaitu haidh.
Jika seorang wanita sudah haidh, maka ia berarti sudah baligh, sehingga berlakulah pencatatan 'amal terhadap dirinya sebagai seorang yang sudah mukalaf, sekalipun barangkali usianya belum mencapai sepuluh tahun. Jika balighnya seseorang itu tiba pada siang Ramadhan, maka jika ia sudah berpuasa ia harus menyelesaikan puasanya dan tidak ada bentuk kewajiban lainnya. Akan tetapi jika ia tidak berpuasa, maka ia wajib menahan (berpuasa) pada sisa jam-jam berikutnya hingga tiba waktu berbuka, karena ia telah menjadi orang yang punya kewajiban untuk melaksanakan puasa. Ia tetap tidak berkewajiban untuk mengqadha (mengganti) jam-jam sebelumnya, karena ketika itu dia belum wajib melaksanakannya.
Golongan ketiga: Orang gila.
Yaitu orang yang hilang akal sehatnya. Orang seperti ini tidak berkewajiban menjalankan puasa berdasarkan hadits yang telah disebutkan di depan: "Pena diangkat dari tiga golongan... dan seterusnya." (Al-Hadits)
Puasa yang dilaksanakannya tidak sah, karena ia tidak punya akal yang bisa ia gunakan untuk memahami sesuatu dan untuk meniatkan 'ibadah yang dilakukannya, sedangkan 'ibadah itu tidak sah bila tanpa niat. In berdasarkan sabda Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam:
"Sesungguhnya 'amal perbuatan itu tergantung kepada niat, dan setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan."
Jika kadang-kadang gila dan kadang-kadang sadar, maka ia wajib menjalankan puasa pada saat ia sadar, dan tidak wajib ketika ia gila. Jika ia tiba-tiba gila di tengah hari, maka puasanya tidak batal, seperti halnya ketika ia pingsan karena sakit atau lainnya. Sebab, ia telah meniatkan diri untuk mengerjakan puasa, dan ketika ia berbuat itu masih dalam keadaan berakal dan dengan niat yang benar (memenuhi syarat). Tidak ada dalil yang menunjukkan batalnya puasa yang dilakukannya, khususnya jika diketahui bahwa kegilaannya itu bersifat insidental (muncul pada saat-saat tertentu). Dengan demikian, ia tidak berkewajiban mengqadha jam-jam ketika ia gila. Jika seseorang yang gila itu sadar pada siang Ramadhan, maka ia wajib berpuasa pada sisa jam-jam berikutnya di hari itu pula, karena ketika itu ia menjadi orang yang punya kewajiban untuk melaksanakan puasa, dan ia tidak wajib mengqadha. Ini sama halnya dengan anak kecil ketika kemudian ia menjadi baligh, atau orang kafir jika ia kemudian masuk Islam.
Golongan Keempat: Orang lanjut usia yang pikun dan tidak lagi mumayyiz.
Orang seperti ini tidak wajib menjalankan puasa dan juga tidak wajib memberi makan sebagai ganti atas puasa yang ditinggalkannya, karena ia telah terlepas dari taklif disebabkan karena telah hilang kemumayyizannya dan kemudian berubah menjadi seperti anak kecil yang belum mumayyiz. Jika terkadang ia mumayyiz dan terkadang pikun, maka ia wajib berpuasa pada saat ia tidak pikun, dan tidak wajib ketika ia sedang pikun. Shalat juga sama halnya dengan puasa. Pada saat sadar ia berkewajiban melaksanakannya, namun ketika tidak sadar tidak wajib menjalankannya.
Golongan Kelima: Orang lemah yang tidak mampu berpuasa selamanya, dimana tidak bisa diharapkan pulihnya kekuatan dan kemampuan berpuasa, seperti orang yang sangat tua dan orang sakit yang tidak bisa diharap kesembuhannya seperti orang yang terkena penyakit kanker atau yang semisalnya.
Orang semacam ini tidak wajib menjalankan puasa, karena ia tergolong orang yang tidak mampu melaksanakannya. Sedangkan Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman: "Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu." (Qur-an Surat at-Taghabun (64): ayat 16)
Allah juga berfirman: "Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya." (Qur-an Surat al-Baqarah (2): ayat 286)
Akan tetapi ia wajib memberi makan orang miskin setiap harinya sebagai ganti dari puasanya. Sebab, Allah menjadikan pemberian makan ini sebanding dengan puasa ketika pertama-tama Allah memberikan pilihan antara keduanya pada saat diwajibkannya puasa sehingga ia menjadi ganti dari puasa ketika seseorang tidak mampu menjalankannya, karena hal ini sebanding dengan puasa.
Dalam hal memberi makan sebagai ganti dari puasa ini kita diberi pilihan antara memberikan biji-bijian kepada kaum miskin setiap harinya satu mud gandum atau seperempat sha' Nabi. Ukuran satu mud adalah setengah kilo sepuluh gram. Boleh juga membuatkan makanan lalu mengundang kaum miskin untuk makan di rumahnya sesuai dengan jumlah hari puasa yang ditinggalkannya. Imam al-Bukhari rahimahullaah mengatakan: "Mengenai orang yang lanjut usia jika tidak mampu berpuasa, maka -sebagai contoh- adalah Anas ketika sudah tua selama satu atau dua tahun ia memberi makan orang miskin setiap hari (sebanyak hari puasa yang ditinggalkannya) berupa roti dan daging, dan ia sendiri tidak berpuasa."
Ibnu 'Abbas radhiyallaahu 'anhuma berpendapat bahwa orang yang sudah lanjut usia, baik laki-laki maupun perempuan, bila sudah tidak mampu menjalankan 'ibadah puasa, maka sebagai gantinya adalah mereka berkewajiban memberi makan seorang miskin setiap harinya (sejumlah hari puasa yang ditinggalkannya).
(Hadits Riwayat Imam al-Bukhari)
Hukum agama merupakan kebijaksanaan dan kasih sayang dari Allah Subhaanahu wa Ta'aala yang Dia berikan kepada para hamba-Nya. Sebab, ia merupakan hukum yang dibangun di atas prinsip kemudahan dan kasih sayang, juga di atas ketelitian dan kebijaksanaan. Allah mewajibkan atas setiap orang mukalaf sesuai dengan keadaannya agar masing-masing bisa menunaikan apa yang menjadi kewajibannya dengan lapang dada dan dengan hati yang tenang sehingga ia benar-benar rela terhadap Allah sebagai Rabb, Islam sebagai agama dan Muhammad sebagai Nabi yang diutus.
Karena itu marilah kita senantiasa memuji Allah atas dianugerahkannya agama yang lurus ini, juga atas anugerah hidayah yang diberikan kepada kita semua untuk mengikuti agama yang lurus ini, dimana banyak manusia yang tersesat dan menyimpang darinya. Kita memohon kepada Allah agar berkenan meneguhkan kita di atas agama ini sampai mati menjemput kita.
Ya Allah, kami memohon kepadamu dimana kami bersaksi bahwa Engkau adalah Allah, tidak ada sembahan yang benar kecuali Engkau, Dzat Yang Mahaesa yang menjadi tempat bersandar, yang tidak beranak dan tidak pula diperanakkan serta tidak ada seorangpun yang setara dengan-Nya; wahai Dzat Pemilik kemuliaan, wahai Pemberi, wahai Pencipta langit dan bumi, Yang Mahahidup dan berdiri sendiri; kami mohon Engkau berkenan memberikan pertolongan dan petunjuk kepada apa yang Engkau cintai dan Engkau ridhai, jadikanlah kami termasuk orang-orang yang rela terhadap-Mu sebagai Rabb, Islam sebagai agama, dan Muhammad sebagai Nabi. Kami mohon kepada-Mu agar Engkau berkenan meneguhkan kami di atas keyakinan ini sampai mati, dan berkenan memberikan ampunan kepada kami atas dosa-dosa dan kesalahan-kesalahan kami. Anugerahkanlah kepada kami rahmat dari-Mu, sesungguhnya Engkau Maha Pemberi.
Semoga Allah memberikan rahmat dan kedamaian kepada Nai kita Muhammad Shallallaahu 'alaihi wa Sallam, serta kepada keluarga, para shahabat dan para pengikut beliau hingga hari kiamat.
===
Maraji'/ sumber:
Kitab: Majaalisu Syahru Ramadhaan, Penulis: Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin rahimahullaah, Penerbit: Daruts Tsurayya lin Nasyr - Riyadh, Cetakan I, 1422 H/ 2002 M, Judul terjemahan: Kajian Ramadhan, Penerjemah: Salafuddin Abu Sayyid, Penerbit: al-Qowam - Solo, Cetakan V, 2012 M.
===
Ary Ambary Ahmad Abu Sahla al-Bantani
Sent from my BlackBerry® PIN 269C8299
powered by Sinyal Kuat INDOSAT
Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin rahimahullaah.
Kajian Ramadhan.
Kajian Keenam.
Klasifikasi Manusia dalam Menjalankan Puasa.
Segala puji bagi Allah yang telah menyempurnakan segala sesuatu yang diciptakan dan dibangun-Nya dengan hikmah dan kebijaksanaan-Nya. Ia membuat syari'at sebagai rahmat dan menyuruh kita agar menaati-Nya, bukan karena kebutuhan-Nya akan tetapi karena kebutuhan kita sendiri. Allah mengampuni dosa setiap orang yang bertaubat dan mendekat kepada Rabbnya serta memperbanyak pemberian kepada siapa saja yang berbuat kebaikan. "Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik." (Qur-an Surat al-'Ankabut (29): ayat 69)
Aku memuji Allah atas segala karunia-Nya, baik dalam keadaan tersembunyi maupun terang-terangan. Aku bersaksi bahwa tidak ada sembahan yang benar kecuali Allah, tidak ada sekutu bagi-Nya, dengan persaksian yang akan aku harap bisa membawa keberuntungan di Surga yang penuh dengan kenikmatan. Aku bersaksi pula bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya yang telah diangkat ke atas langit sehingga menjadi dekat dengan-Nya. Semoga Allah mencurahkan rahmat dan kesejahteraan kepada beliau. Juga kepada shahabat beliau Abu Bakar radhiyallaahu 'anhu yang senantiasa menunaikan 'ibadah dengan penuh kerelaan, sehingga Allah memberikan pujian kepadanya melalui firman-Nya: "...di waktu dia berkata kepada temannya, 'Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah beserta kita'." (Qur-an Surat at-Taubah (9): ayat 40); kepada 'Umar radhiyallaahu 'anhu yang bersungguh-sungguh untuk memenangkan Islam sehingga tak pernah merasa lemah; kepada 'Utsman radhiyallaahu 'anhu yang selalu rela dengan takdir; kepada 'Ali yang merupakan kerabat dekat beliau; serta kepada seluruh keluarga dan shahabat beliau yang mulia.
Pada kajian terdahulu kita telah bicarakan bahwa kewajiban puasa pada mulanya melalui dua tahap, baru kemudian menjadi sebuah hukum yang pasti. Dalam hal ini manusia terbagi menjadi sepuluh kelompok:
Golongan pertama: Orang Muslim yang baligh, mukim, mampu, serta terlepas dari berbagai hal yang menghalanginya dari melakukan puasa.
Ia berkewajiban menjalankan puasa Ramadhan tepat pada waktunya berdasarkan petunjuk dari Kitab dan Sunnah serta ijma'. Allah berfirman: (Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al-Qur-an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu. (Qur-an Surat al-Baqarah (2): ayat 185)
Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam juga bersabda: "Jika kalian melihat hilal, maka berpuasalah." (Mutafaq 'alaih)
Kaum Muslimin seluruhnya juga sepakat (ijma') bahwa puasa Ramadhan wajib ditunaikan oleh orang yang mempunyai kriteria di atas.
Sedangkan orang kafir, maka ia tidak berkewajiban melaksanakan puasa Ramadhan, dan memang tidak sah. Sebab, ia tidak berhak untuk melaksanakan 'ibadah seperti itu. Jika kemudian ia masuk Islam di tengah bulan Ramadhan, ia pun tidak berkewajiban mengganti (qadha) hari-hari sebelumnya. Ini didasarkan pada firman Allah: "Katakanlah kepada orang-orang kafir itu: 'Jika mereka berhenti (dari kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosa mereka yang telah lalu'." (Qur-an Surat al-Anfal (8): ayat 38)
Jika ia masuk Islam di tengah hari di bulan Ramadhan, maka ia harus menahan sisa waktu hari itu sampai terbenam matahari, karena ia telah menjadi orang yang punya kewajiban menjalankan puasa Ramadhan ketika ia masuk Islam, dan ia tidak berkewajiban mengqadha waktu atau hari sebelumnya karena ketika itu ia belum berkewajiban menjalankannya pada waktu kewajiban puasa tiba.
Golongan kedua: Anak kecil.
Ia tidak berkewajiban menjalankan puasa sehingga ia baligh. Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:
"Pena itu diangkat dari tiga golongan manusia; dari orang tidur sehingga ia bangun; dari anak kecil sehingga ia besar (baligh); dan dari orang yang gila sehingga ia sadar kembali."
(Hadits Riwayat Imam Ahmad, Imam Abu Dawud, dan Imam an-Nasa-i, Imam al-Hakim menshahihkannya)
Akan tetapi orang tuanya bisa menyuruhnya jika ia sudah mampu menjalankannya sebagai bentuk latihan untuk melakukan ketaatan kepada Allah sehingga ia menjadi terbiasa setelah ia baligh. Demikianlah yang dilakukan oleh para Salafush Shalih yang seyogyanya kita teladani. Para Shahabat radhiyallaahu 'anhum menyuruh anak-anak mereka berpuasa ketika masih kecil, dan mereka pun pergi ke masjid kemudian membuatkan mereka mainan dari bulu dan semisalnya. Jika anak-anak menangis karena ingin makanan, maka mereka memberikan sesuatu yang bisa dimainkan oleh mereka.
Banyak orang tua sekarang ini yang melalaikan perintah ini. Mereka tidak mau menyuruh anak mereka agar mengerjakan puasa. Bahkan ada pula sebagian dari mereka yang melarang anak-anak mereka melakukan puasa, padahal anak-anak itu sendiri sebenarnya sudah ingin mengerjakannya. Para orang tua itu menganggap pelarangan itu sebagai bentuk kasih sayang kepada mereka. Sebenarnya, kasih sayang itu adalah dengan melaksanakan kewajiban dan mendidik mereka untuk melaksanakan syiar-syiar dan ajaran-ajaran Islam yang lurus. Jadi, sebenarnya orang yang menghalangi anak-anak itu untuk menjalankan puasa atau mengabaikannya, maka ia berarti melakukan kezhaliman terhadap mereka dan juga terhadap diri sendiri. Apabila mereka melihat adanya mudharat bagi anak-anak jika berpuasa, maka tidak mengapa mencegah mereka untuk berpuasa.
Tanda balighnya anak laki-laki adalah salah satu di antara ketiga hal berikut ini:
Pertama, keluarnya air mani dengan mimpi atau lainnya. Ini berdasarkan firman Allah Subhaanahu wa Ta'aala: "Jika anak-anak kalian telah sampai bermimpi basah (baligh), maka hendaklah mereka meminta izin seperti orang-orang sebelum mereka meminta izin." (Qur-an Surat an-Nur (24): ayat 59)
Juga berdasarkan sabda Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam:
"Mandi Jum'at adalah kewajiban atas setiap orang yang telah bermimpi basah."
(Mutafaq 'alaih)
Kedua, tumbuhnya rambut kemaluan. Yaitu rambut yang tumbuh di sekitar qubul. Ini berdasarkan pada perkataan 'Athiyah al-Qurazhi:
"Kami pernah dihadapkan kepada Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam pada waktu terjadinya perang Quraizhah. Siapa saja yang sudah mimpi basah (baligh) atau yang sudah tumbuh rambut kemaluannya, dibunuh sedangkan yang belum dibiarkan saja."
(Hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Imam an-Nasa-i)
Ketiga, sudah mencapai umur lima belas tahun. Ini berdasarkan perkataan 'Abdullah bin 'Umar radhiyallaahu 'anhuma:
"Pada perang Uhud, aku dihadapkan kepada Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam sedangkan ketika itu aku baru berumur empat belas tahun sehingga beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam tidak membolehkanku (untuk turut berperang)."
Sedangkan Imam al-Baihaqi dan Imam Ibnu Hibban dalam kitab Shahihnya dengan sanad shahih menambahkan:
"Beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam tidak melihatku sebagai orang yang sudah baligh (ketika meletus perang Uhud). Sedangkan pada perang Khandaq aku pun diperiksa lagi, sedangkan ketika itu aku berumur lima belas tahun sehingga beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam memperkenankanku untuk ikut perang."
Imam al-Baihaqi dan Imam Ibnu Hibban dalam kitab Shahihnya dengan sanad shahih menambahkan lagi:
"Dan beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melihatku telah baligh."
(Hadits Riwayat Jama'ah)
Ibnu Nafi' mengatakan: Aku pernah menemui 'Umar bin 'Abdul 'Aziz rahimahullaah yang ketika itu menjadi khalifah, lalu aku sampaikan hadits tersebut, beliau pun berkata: "Sesungguhnya ini merupakan batasan antara anak kecil dan orang dewasa." 'Umar bin 'Abdul 'Aziz juga membuat surat keputusan yang disampaikan kepada para pegawainya agar menetapkan jatah pemberian atas orang yang sudah mencapai usia lima belas tahun.
(Hadits Riwayat Imam al-Bukhari)
Kriteria balighnya anak perempuan juga sama dengan kriteria yang berlaku bagi anak laki-laki, namun masih ditambah satu hal lagi, yaitu haidh.
Jika seorang wanita sudah haidh, maka ia berarti sudah baligh, sehingga berlakulah pencatatan 'amal terhadap dirinya sebagai seorang yang sudah mukalaf, sekalipun barangkali usianya belum mencapai sepuluh tahun. Jika balighnya seseorang itu tiba pada siang Ramadhan, maka jika ia sudah berpuasa ia harus menyelesaikan puasanya dan tidak ada bentuk kewajiban lainnya. Akan tetapi jika ia tidak berpuasa, maka ia wajib menahan (berpuasa) pada sisa jam-jam berikutnya hingga tiba waktu berbuka, karena ia telah menjadi orang yang punya kewajiban untuk melaksanakan puasa. Ia tetap tidak berkewajiban untuk mengqadha (mengganti) jam-jam sebelumnya, karena ketika itu dia belum wajib melaksanakannya.
Golongan ketiga: Orang gila.
Yaitu orang yang hilang akal sehatnya. Orang seperti ini tidak berkewajiban menjalankan puasa berdasarkan hadits yang telah disebutkan di depan: "Pena diangkat dari tiga golongan... dan seterusnya." (Al-Hadits)
Puasa yang dilaksanakannya tidak sah, karena ia tidak punya akal yang bisa ia gunakan untuk memahami sesuatu dan untuk meniatkan 'ibadah yang dilakukannya, sedangkan 'ibadah itu tidak sah bila tanpa niat. In berdasarkan sabda Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam:
"Sesungguhnya 'amal perbuatan itu tergantung kepada niat, dan setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan."
Jika kadang-kadang gila dan kadang-kadang sadar, maka ia wajib menjalankan puasa pada saat ia sadar, dan tidak wajib ketika ia gila. Jika ia tiba-tiba gila di tengah hari, maka puasanya tidak batal, seperti halnya ketika ia pingsan karena sakit atau lainnya. Sebab, ia telah meniatkan diri untuk mengerjakan puasa, dan ketika ia berbuat itu masih dalam keadaan berakal dan dengan niat yang benar (memenuhi syarat). Tidak ada dalil yang menunjukkan batalnya puasa yang dilakukannya, khususnya jika diketahui bahwa kegilaannya itu bersifat insidental (muncul pada saat-saat tertentu). Dengan demikian, ia tidak berkewajiban mengqadha jam-jam ketika ia gila. Jika seseorang yang gila itu sadar pada siang Ramadhan, maka ia wajib berpuasa pada sisa jam-jam berikutnya di hari itu pula, karena ketika itu ia menjadi orang yang punya kewajiban untuk melaksanakan puasa, dan ia tidak wajib mengqadha. Ini sama halnya dengan anak kecil ketika kemudian ia menjadi baligh, atau orang kafir jika ia kemudian masuk Islam.
Golongan Keempat: Orang lanjut usia yang pikun dan tidak lagi mumayyiz.
Orang seperti ini tidak wajib menjalankan puasa dan juga tidak wajib memberi makan sebagai ganti atas puasa yang ditinggalkannya, karena ia telah terlepas dari taklif disebabkan karena telah hilang kemumayyizannya dan kemudian berubah menjadi seperti anak kecil yang belum mumayyiz. Jika terkadang ia mumayyiz dan terkadang pikun, maka ia wajib berpuasa pada saat ia tidak pikun, dan tidak wajib ketika ia sedang pikun. Shalat juga sama halnya dengan puasa. Pada saat sadar ia berkewajiban melaksanakannya, namun ketika tidak sadar tidak wajib menjalankannya.
Golongan Kelima: Orang lemah yang tidak mampu berpuasa selamanya, dimana tidak bisa diharapkan pulihnya kekuatan dan kemampuan berpuasa, seperti orang yang sangat tua dan orang sakit yang tidak bisa diharap kesembuhannya seperti orang yang terkena penyakit kanker atau yang semisalnya.
Orang semacam ini tidak wajib menjalankan puasa, karena ia tergolong orang yang tidak mampu melaksanakannya. Sedangkan Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman: "Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu." (Qur-an Surat at-Taghabun (64): ayat 16)
Allah juga berfirman: "Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya." (Qur-an Surat al-Baqarah (2): ayat 286)
Akan tetapi ia wajib memberi makan orang miskin setiap harinya sebagai ganti dari puasanya. Sebab, Allah menjadikan pemberian makan ini sebanding dengan puasa ketika pertama-tama Allah memberikan pilihan antara keduanya pada saat diwajibkannya puasa sehingga ia menjadi ganti dari puasa ketika seseorang tidak mampu menjalankannya, karena hal ini sebanding dengan puasa.
Dalam hal memberi makan sebagai ganti dari puasa ini kita diberi pilihan antara memberikan biji-bijian kepada kaum miskin setiap harinya satu mud gandum atau seperempat sha' Nabi. Ukuran satu mud adalah setengah kilo sepuluh gram. Boleh juga membuatkan makanan lalu mengundang kaum miskin untuk makan di rumahnya sesuai dengan jumlah hari puasa yang ditinggalkannya. Imam al-Bukhari rahimahullaah mengatakan: "Mengenai orang yang lanjut usia jika tidak mampu berpuasa, maka -sebagai contoh- adalah Anas ketika sudah tua selama satu atau dua tahun ia memberi makan orang miskin setiap hari (sebanyak hari puasa yang ditinggalkannya) berupa roti dan daging, dan ia sendiri tidak berpuasa."
Ibnu 'Abbas radhiyallaahu 'anhuma berpendapat bahwa orang yang sudah lanjut usia, baik laki-laki maupun perempuan, bila sudah tidak mampu menjalankan 'ibadah puasa, maka sebagai gantinya adalah mereka berkewajiban memberi makan seorang miskin setiap harinya (sejumlah hari puasa yang ditinggalkannya).
(Hadits Riwayat Imam al-Bukhari)
Hukum agama merupakan kebijaksanaan dan kasih sayang dari Allah Subhaanahu wa Ta'aala yang Dia berikan kepada para hamba-Nya. Sebab, ia merupakan hukum yang dibangun di atas prinsip kemudahan dan kasih sayang, juga di atas ketelitian dan kebijaksanaan. Allah mewajibkan atas setiap orang mukalaf sesuai dengan keadaannya agar masing-masing bisa menunaikan apa yang menjadi kewajibannya dengan lapang dada dan dengan hati yang tenang sehingga ia benar-benar rela terhadap Allah sebagai Rabb, Islam sebagai agama dan Muhammad sebagai Nabi yang diutus.
Karena itu marilah kita senantiasa memuji Allah atas dianugerahkannya agama yang lurus ini, juga atas anugerah hidayah yang diberikan kepada kita semua untuk mengikuti agama yang lurus ini, dimana banyak manusia yang tersesat dan menyimpang darinya. Kita memohon kepada Allah agar berkenan meneguhkan kita di atas agama ini sampai mati menjemput kita.
Ya Allah, kami memohon kepadamu dimana kami bersaksi bahwa Engkau adalah Allah, tidak ada sembahan yang benar kecuali Engkau, Dzat Yang Mahaesa yang menjadi tempat bersandar, yang tidak beranak dan tidak pula diperanakkan serta tidak ada seorangpun yang setara dengan-Nya; wahai Dzat Pemilik kemuliaan, wahai Pemberi, wahai Pencipta langit dan bumi, Yang Mahahidup dan berdiri sendiri; kami mohon Engkau berkenan memberikan pertolongan dan petunjuk kepada apa yang Engkau cintai dan Engkau ridhai, jadikanlah kami termasuk orang-orang yang rela terhadap-Mu sebagai Rabb, Islam sebagai agama, dan Muhammad sebagai Nabi. Kami mohon kepada-Mu agar Engkau berkenan meneguhkan kami di atas keyakinan ini sampai mati, dan berkenan memberikan ampunan kepada kami atas dosa-dosa dan kesalahan-kesalahan kami. Anugerahkanlah kepada kami rahmat dari-Mu, sesungguhnya Engkau Maha Pemberi.
Semoga Allah memberikan rahmat dan kedamaian kepada Nai kita Muhammad Shallallaahu 'alaihi wa Sallam, serta kepada keluarga, para shahabat dan para pengikut beliau hingga hari kiamat.
===
Maraji'/ sumber:
Kitab: Majaalisu Syahru Ramadhaan, Penulis: Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin rahimahullaah, Penerbit: Daruts Tsurayya lin Nasyr - Riyadh, Cetakan I, 1422 H/ 2002 M, Judul terjemahan: Kajian Ramadhan, Penerjemah: Salafuddin Abu Sayyid, Penerbit: al-Qowam - Solo, Cetakan V, 2012 M.
===
Ary Ambary Ahmad Abu Sahla al-Bantani
Sent from my BlackBerry® PIN 269C8299
powered by Sinyal Kuat INDOSAT