Skip to main content

Hikmah Puasa | Kajian Ramadhan

Majaalisu Syahru Ramadhaan.

Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin rahimahullaah.

Kajian Ramadhan.

Kajian Kesembilan.

Hikmah Puasa.

Segala puji bagi Allah yang mengatur siang dan malam, menjadikan bulan dan tahun berputar, Raja yang Mahasuci dan Pemberi keselamatan, Yang mempunyai keagungan dan kelanggengan, dan Yang tersucikan dari segala kekurangan dan keserupaan dengan makhluk. Ia melihat segala yang ada di dalam sumsum dan tulang serta mendengar suara yang tersembunyi dan bisikan. Dia adalah sembahan yang mengasihi dan banyak memberi nikmat serta Rabb Mahakuasa yang sangat keras balasannya. Ia menentukan segala urusan dan menjalankannya dengan sebaik-baik aturan. Ia menggariskan syari'at dan membuatnya penuh dengan hikmah. Dengan kuasa-Nya angin berhembus dan awan berjalan, dengan hikmah dan rahmat-Nya siang dan malam bergantian dana hari-hari terus berjalan.

Aku memuji Allah atas keagungan sifat dan pemberian nikmat yang sangat banyak. Aku berterima kasih (syukur) kepada-Nya dengan harapan bahwa Ia akan menambahkan nikmat dari yang telah Dia anugerahkan kepada kita.

Aku bersaksi bahwa tidak ada sembahan yang benar kecuali Allah yang tidak akan bisa ditangkap oleh akal dan renungan. Aku bersaksi pula bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, manusia yang paling utama.

Semoga Allah mencurahkan rahmat dan kedamaian kepada beliau, kepada shahabat beliau, Abu Bakar, yang pertama-tama masuk Islam, kepada 'Umar, yang setan akan kabur jika melihatnya, kepada 'Utsman yang telah mengerahkan hartanya untuk pengerahan jaisyul 'usrah, kepada 'Ali yang menjadi lautan 'ilmu yang luas serta singa yang gagah berani, serta kepada seluruh keluarga, shahabat, tabi'in, dan siapa saja yang menempuh jalan mereka hingga hari Kiamat.

Ketahuilah bahwa Allah Subhaanahu wa Ta'aala berhak menentukan hukum dan hikmah yang sempurna mengenai apa yang diciptakan-Nya dan mengenai apa yang disyari'atkan-Nya. Ia adalah Dzat yang Maha Bijaksana dalam mencipta dan mensyari'atkan. Ia tidak pernah mencipta hamba-Nya dengan main-main, tidak pernah membiarkan mereka begitu saja, tidak pernah mensyari'atkan aturan yang tak punya arti, akan tetapi Allah menciptakan itu semua untuk suatu hal yang agung. Allah telah menjelaskan kepada mereka jalan yang lurus, mensyari'atkan syari'at untuk menambah keimanan mereka dan agar 'ibadah mereka menjadi semakin sempurna. Tiada bentuk 'ibadah yang disyari'atkan oleh Allah kepada hamba-Nya kecuali untuk suatu hikmah yang sempurna, orang yang mengerti akan tahu, sedangkan orang yang jahil (bodoh) tidak akan tahu. Namun ketidaktahuan kita mengenai hikmah suatu perkara 'ibadah bukan merupakan bukti dari kelemahan dan kekurangan kita untuk mengetahui hikmah Allah. Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman: "Dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit." (Qur-an Surat al-Isra' (17): ayat 85)

Allah Subhaanahu wa Ta'aala telah mensyari'atkan 'ibadah dan mengatur muamalah sebagai ujian dari Allah kepada para hamba-Nya agar menjadi jelas siapa yang benar-benar beribadah kepada Rabbnya dan orang yang beribadah kepada hawa nafsunya. Siapa saja yang menerima syari'at dan aturan ini dengan lapang dada dan jiwa yang tulus, berarti ia beribadah kepada Rabbnya, rela terhadap syari'at-Nya, lebih mendahulukan ketaatan kepada Rabbnya daripada kepada hawa nafsunya. Sedangkan orang yang tidak mau menerima syari'at 'ibadah seperti ini, tidak mau mengikuti aturan kecuali yang sejalan dengan keinginan dan kehendaknya, maka ia berarti menghamba kepada hawa nafsunya, membenci syari'at Allah, berpaling dari ketaatan kepada Rabbnya, menjadikan hawa nafsunya sebagai ikutan (panutan), padahal seharusnya hawa nafsulah yang harus mengikuti, serta menginginkan agar syari'at Allah mengikuti keinginannya, padahal 'ilmunya sangat terbatas dan hikmah yang dimilikinya sangat sedikit. Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman: "Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya. Sebenarnya Kami telah mendatangkan kepada mereka kebanggaan mereka tetapi mereka berpaling dari kebanggaan itu." (Qur-an Surat al-Mu'minun (23): ayat 71)

Di antara hikmah Allah itu adalah bahwa Allah menjadikan 'ibadah bermacam-macam, untuk menyaring siapa yang menerima dan ridha serta untuk menyaring orang-orang yang beriman. Di antara manusia itu terkadang ada yang rela dan menerima suatu bentuk 'ibadah dan komitmen kepadanya, namun ada lagi yang membenci jenis lain dan mengabaikannya. Maka Allah menjadikan di antara bentuk 'ibadah itu ada yang berkaitan dengan 'amalan jasmani, seperti shalat, ada pula yang berkaitan dengan harta yang dicintai seperti 'ibadah zakat, ada yang berkaitan dengan 'amalan badan dan sekaligus harta, seperti 'ibadah haji dan jihad, dan ada pula yang berkaitan dengan tindakan menahan diri dari segala keinginan nafsu seperti puasa. Jika seorang hamba telah menjalankan 'ibadah-ibadah ini serta menyempurnakannya sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah tanpa ada perasaan benci atau mengabaikan, lalu ia rela bersusah-payah untuk melaksanakan segala yang dicintai oleh Allah dan menahan diri dari keinginan nafsunya dalam rangka menaati Rabbnya dan melaksanakan perintah-Nya serta ridha dengan syari'at-Nya, maka hal itu menjadi bukti kesempurnaan 'ibadahnya, kepatuhannya dan kecintaannya kepada Rabbnya, serta pengagungan kepada-Nya. Dengan demikian terwujudlah karakter 'ubudiyah kepada Allah Rabb semesta alam.

Jika hal ini telah jelas, maka puasa itu mempunyai banyak hikmah yang menyebabkannya menjadi salah satu dari kewajiban dan rukun Islam.

Di antara hikmah puasa adalah bahwa ia merupakan 'ibadah kepada Allah Subhaanahu wa Ta'aala yang dilaksanakan oleh hamba untuk mendekatkan diri kepada-Nya dengan cara meninggalkan segala hasrat dan keinginan nafsu, yang berupa makanan, minuman dan bersenggama. Dari situ akan terlihat kesungguhan imannya, kesempurnaan 'ibadahnya kepada Allah, kekuatan cintanya kepada-Nya serta harapannya di sisi-Nya. Manusia tidak akan mau meninggalkan sesuatu yang dicintainya kecuali karena ada yang lebih besar darinya. Manakala seorang mukmin mengetahui bahwa ridha Allah itu ada pada 'ibadah puasa dengan cara meninggalkan syahwatnya -dimana manusia memang tercipta dalam keadaan cinta kepadanya-, maka ia berarti lebih mendahulukan kecintaannya kepada Rabbnya daripada mengikuti hawa nafsunya. Ia rela meninggalkannya sekalipun ia sebenarnya senang mengikuti hawa nafsunya. Ini semata ia lakukan karena kenikmatan dan kedamaian jiwa yang ia rasakan adalah bilamana ia mampu meninggalkan hal itu semata karena Allah. Oleh karena itu, banyak kaum beriman yang seandainya saja dipukuli atau dipenjara untuk dipaksa agar mau berbuka sehari saja di bulan Ramadhan tanpa ada udzur syar'i, maka ia tidak akan mau berbuka. Ini merupakan bagian dari hikmah puasa yang paling agung.

Hikmah puasa lainnya adalah bahwa ia merupakan penyebab lahirnya ketakwaan. Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman: "Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa." (Qur-an Surat al-Baqarah (2): ayat 183)

Orang yang berpuasa itu diperintah agar menjalankan ketaatan dan menjauhi segala kemaksiatan. Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:

"Siapa yang tidak bisa meninggalkan ucapan zur (dusta dan batil, -ed), tindakan zur, dan kejahilan, maka Allah tidak butuh kepada 'amalan meninggalkan makanan dan minuman (puasa) yang dilakukannya." (Hadits Riwayat Imam al-Bukhari)

Jika orang yang berpuasa itu benar-benar merasakan bahwa dirinya sedang menjalankan puasa, maka ketika ia ingin berbuat kemaksiatan, maka ia akan ingat bahwa dirinya sedang berpuasa sehingga akhirnya ia pun segera menahan diri dari berbuat maksiat. Oleh karena itu Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam menyuruh orang yang sedang berpuasa ketika ada seseorang yang mencacinya agar mengatakan: "Aku orang yang berpuasa!", sebagai peringatan baginya bahwa orang yang sedang berpuasa itu diperintahkan untuk menahan diri dari tindakan mencaci dan mencela, di samping juga sebagai peringatan bagi dirinya sendiri bahwa ia sedang menjalankan puasa sehingga ia harus menahan diri dari membalas celaan orang lain terhadap dirinya.

Hikmah puasa lainnya adalah bahwa hati akan benar-benar terfokuskan untuk berpikir dan berdzikir. Sebab, sebaliknya, memenuhi syahwat akan melahirkan kelalaian, dan bahkan barangkali akan membuat hati menjadi keras dan membutakannya dari melihat kebenaran. Oleh karena itu, Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam memberikan petunjuk agar makan dan minum ala kadarnya. Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:

"Tidak ada bejana yang lebih jelek yang diisi anak Adam dari perut. Cukuplah kiranya beberapa suap makanan baginya untuk menegakkan tulang punggungnya. Jika tidak dapat dihindarkan, maka sepertiga isi perutnya itu untuk makanan, sepertiganya untuk minuman dan sepertiganya lagi untuk pernapasan." (Hadits Riwayat Imam Ahmad, Imam an-Nasa-i, Imam Ibnu Majah) (16)

Dalam kitab Shahih Muslim disebutkan riwayat bahwa Hanzhalah al-Usaidi, salah seorang penulis Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam pernah berkata kepada Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam: "Hanzhalah telah berbuat kemunafikan." Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Mengapa demikian?" Ia menjawab: "Ya Rasulullah, ketika kami berdiri di sisimu engkau mengingatkan kami akan Neraka dan Surga, seakan kami benar-benar melihatnya dengan mata kepala. Namun ketika kami telah pergi dari sisimu, kami bergelut lagi dengan isteri, anak dan pekerjaan sehingga akhirnya kami banyak lupa lagi." Selanjutnya disebutkan bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Tapi, wahai Hanzhalah, memang harus bertahap waktu demi waktu." Beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam mengatakan hal ini sampai tiga kali.

Abu Sulaiman ad-Darani berkata: "Jiwa itu jika lapar dan dahaga, maka hatinya akan menjadi jernih dan halus. Akan tetapi jika ia kenyang, hati pun menjadi buta."

Hikmah puasa yang lainnya adalah bahwa orang yang kaya akan mengetahui sejauh mana kebesaran nikmat Allah yang telah dianugerahkan oleh-Nya. Allah Subhaanahu wa Ta'aala telah memberikan nikmat kepadanya untuk bisa makan, minum dan bersetubuh, dimana banyak manusia lain yang tidak bisa menikmatinya. Dengan demikian ia akan memuji Allah atas nikmat ini serta bersyukur kepada-Nya atas kemudahan yang diberikan oleh-Nya. Selanjutnya ia akan ingat kepada saudaranya yang miskin yang barangkali selalu saja kelaparan sehingga tumbuh rasa kedermawanan dirinya untuk kemudian bersedekah, memberikan pakaian dan memenuhi kebutuhan orang miskin tersebut. Oleh karena itu Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam adalah manusia yang paling dermawan, dan lebih dermawan lagi adalah di bulan Ramadhan, ketika Jibril sedang menemui beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam untuk saling memperdengarkan bacaan kitab suci al-Qur-an.

Puasa juga akan melatih kita untuk belajar mengekang jiwa, menguasainya, serta melatih untuk mampu menahan diri, sehingg kemudian ia akan bisa mengendalikan dan mengarahkannya kepada kebaikan dan kebahagiaan. Sebab, jiwa itu memang selalu saja mengajak kepada hal-hal yang buruk, kecuali yang dirahmati oleh Allah. Jika seseorang membiarkan jiwa lepas begitu saja, maka ia berarti mengantarkannya kepada kebinasaan, sedangkan jika mampu mengendalikan dan menguasainya, maka ia akan mampu menggiringnya kepada tingkatan yang paling tinggi.

Hikmah puasa yang lainnya adalah menyadarkan diri dan menghilangkan sifat kesombongannya sehingga ia akan tunduk kepada kebenaran. Rasa kenyang, banyak minum serta banyak bersetubuh dengan isteri, masing-masing akan menimbulkan kesenangan yang kelewat batas, kesombongan, keangkuhan dan kecongkakan terhadap manusia lain, juga terhadap kebenaran. Sebab, jika jiwa membutuhkan hal-hal semacam ini, maka ia akan menyibukkan diri untuk meraihnya. Jika ada kesempatan baginya untuk melakukan hal itu, maka ia memandang bahwa ia telah beruntung karena meraih apa yang diinginkannya sehingga ia merasa gembira dengan kegembiraan yang tercela serta sombong, sehingga hal inilah yang menyebabkan kehancurannya. Orang yang terjaga adalah orang yang dipelihara oleh Allah Subhaanahu wa Ta'aala.

Hikmah puasa yang lainnya adalah bahwa pembuluh darah akan menyempit manakala seseorang itu lapar dan dahaga, sehingga jalan setan di dalam tubuh manusia pun menjadi sempit pula. Sebab, setan itu berjalan di dalam tubuh anak Adam pada pembuluh darah, sebagaimana yang disebutkan dalam kitab Shahihain dari Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam. Dengan demikian bisikan-bisikan setan akan berhenti karena seseorang itu menjalankan puasa, demikian juga kerasnya syahwat dan amarah akan melentur pecah. Oleh karena itu Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:

"Wahai sekalian kaum pemuda, siapa saja di antara kalian yang sudah punya kemampuan, maka hendaklah ia menikah, karena menikah itu lebih bisa menjaga pandangan dan lebih bisa menjaga kemaluan. Sedangkan orang yang belum mampu menikah hendaklah berpuasa, karena puasa itu menjadi perisai baginya." (Mutafaq 'alaih)

Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam menjadikan 'ibadah puasa sebagai tameng untuk menahan nafsu ingin menikah dan juga untuk mengurangi menggelegarnya gairah untuk menikah.

Hikmah puasa yang lainnya adalah adanya manfaat-manfaat kesehatan yang disebabkan mengurangi makan, mengistirahatkan alat pencernaan serta mengendapkan sebagian dari kelembaban-kelembaban dan ampas-ampas yang merugikan badan, dan sebagainya. Betapa besar hikmah yang telah digariskan oleh Allah, dan betapa bermanfaatnya syari'at yang dibuat oleh Allah untuk makhluk-Nya.

Ya Allah, pahamkanlah kami terhadap agama kami dan ilhamkan kepada kami rahasia-rahasia dari syari'at-Mu. Luruskanlah urusan agama dan dunia kami. Berilah kami ampunan, dan juga kepada kedua orang tua kami serta seluruh kaum muslimin dengan rahmat-Mu, wahai Dzat Yang Maha Penyayang. Semoga Allah mencurahkan rahmat dan kesejahteraan kepada Nabi Muhammad, kepada keluarga serta kepada para shahabat seluruhnya.

===

(16) Diriwayatkan juga oleh Imam at-Tirmidzi, ia mengatakan sebagai hadits hasan shahih. Dishahihkan pula oleh Imam al-Hakim.

===

Maraji'/ sumber:
Kitab: Majaalisu Syahru Ramadhaan, Penulis: Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin rahimahullaah, Penerbit: Daruts Tsurayya lin Nasyr - Riyadh, Cetakan I, 1422 H/ 2002 M, Judul terjemahan: Kajian Ramadhan, Penerjemah: Salafuddin Abu Sayyid, Penerbit: al-Qowam - Solo, Cetakan V, 2012 M.

===

Ary Ambary Ahmad Abu Sahla al-Bantani
Sent from my BlackBerry® PIN 269C8299
powered by Sinyal Kuat INDOSAT

Popular posts from this blog