Skip to main content

Adab-adab Menjalankan Puasa Wajib | Kajian Ramadhan

Majaalisu Syahru Ramadhaan.

Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin rahimahullaah.

Kajian Ramadhan.

Kajian Kesepuluh.

Adab-adab Menjalankan Puasa Wajib.

Segala puji bagi Allah yang telah memberikan petunjuk kepada makhluk menuju kesempurnaan adab, membukakan kepada mereka perbendaharaan rahmat dan kemurahannya di setiap pintu, menyinari pandangan kaum mukminin sehingga mereka mengerti hakikat dan mencari pahala, serta membutakan pandangan orang-orang yang berpaling dari menaati-Nya sehingga mereka terhalang memperoleh cahaya. Allah memberikan petunjuk kepada mereka itu dengan karunia dan rahmat-Nya serta menyesatkan sebagian yang lain berdasarkan keadilan dan hikmah-Nya. Sesungguhnya yang demikian itu merupakan pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal pikiran.

Aku bersaksi bahwa tidak ada sembahan yang benar kecuali hanya Allah, tidak ada sekutu bagi-Nya. Dia adalah Pemilik kerajaan, Maha Perkasa dan Maha Memberi. Aku bersaksi pula bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya yang diutus dengan membawa aturan 'ibadah yang paling agung dan adab yang paling sempurna. Semoga Allah mencurahkan rahmat dan kedamaian kepada beliau dan kepada seluruh keluarga dan shahabat serta tabi'in yang mereka dengan berbuat baik hingga hari Kiamat.

Ketahuilah bahwa puasa itu mempunyai banyak sekali adab, dimana puasa akan menjadi sempurna dan utuh apabila adab-adab itu dilaksanakan. Adab-adab itu terbagi menjadi dua; adab yang bersifat wajib yang memang 'harus' (wajib) dijaga oleh orang yang berpuasa, dan adab-adab yang bersifat 'disukai' (sunnah) yang sebaiknya dijaga dan dipelihara oleh orang yang berpuasa.

Adab-adab yang wajib itu di antaranya adalah bahwa seorang yang berpuasa harus benar-benar melaksanakan segala yang diwajibkan oleh Allah atasnya, baik ibadah-ibadah ucapan (qauliyah) maupun perbuatan (fi'liyah). Yang terpenting di antaranya adalah shalat fardhu lima kali, yang merupakan rukun Islam yang paling ditekankan sesudah syahadatain. Ia wajib menjaganya, melaksanakan rukun-rukunnya, kewajiban-kewajibannya dan syarat-syaratnya. Ia harus melaksanakannya tepat pada waktunya dengan berjama'ah di masjid. Itu semua merupakan bagian dari takwa yang memang menjadi tujuan dari 'ibadah puasa itu sendiri. Mengabaikan shalat berarti menghilangkan takwa dan mengharuskan diterimanya sanksi dari Allah Subhaanahu wa Ta'aala. Allah berfirman: "Maka datanglah sesudah mereka pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, sehingga mereka kelak akan menemui kesesatan. Kecuali orang yang bertaubat, beriman dan beramal shalih, maka mereka itu akan masuk Surga dan tidak dianiaya (dirugikan) sedikitpun." (Qur-an Surat Maryam (19): ayat 59-60)

Di antara orang-orang yang menjalankan puasa itu ada yang mengabaikan shalat berjama'ah, padahal ini menjadi kewajibannya. Allah Subhaanahu wa Ta'aala telah memerintahkannya dalam Kitab-Nya dengan berfirman:

"Apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (shahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan menyandang senjata, kemudian apabila mereka (yang shalat bersamamu) sujud (telah menyempurnakan raka'at), hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum shalat, lalu hendaklah mereka shalat denganmu, dan hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata." (Qur-an Surat an-Nisa' (4): ayat 102)

Allah Subhaanahu wa Ta'aala menyuruh kita untuk mengerjakan shalat secara berjama'ah dalam keadaan perang dan ketakutan sekalipun. Maka dalam keadaan tenang dan aman, perintah ini lebih tegas lagi tentunya.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallaahu 'anhu bahwa ada seorang lelaki buta berkata: "Ya Rasulullah, aku tidak punya penuntun yang bisa membawaku ke masjid." Beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam kemudian memberikan keringanan (rukshah) kepadanya. Namun, ketika orang itu berpaling, beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam pun memanggilnya dan bertanya: "Apakah kamu mendengar panggilan (adzan) untuk shalat?" Ia menjawab: "Ya." Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam lalu bersabda: "Kalau begitu, penuhi panggilan itu!" (Hadits Riwayat Imam Muslim)

Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam tidak memberikan rukhshah kepadanya untuk meninggalkan shalat berjama'ah, padahal ia adalah seorang lelaki yang buta dan ia pun tidak punya penuntun yang bisa membawanya ke masjid. Orang yang meninggalkan jama'ah dan mengabaikan yang wajib berarti telah menghalangi dirinya sendiri dari mendapatkan kebaikan yang banyak, yaitu dilipatgandakannya kebaikan. Shalat berjama'ah itu pahalanya dilipatgandakan. Ini seperti yang disebutkan dalam kitab Shahihain yang berasal dari hadits Ibnu 'Umar radhiyallaahu 'anhuma bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:

"Shalat berjama'ah itu lebih utama daripada shalat sendirian dengan selisih dua puluh tujuh tingkatan."

Di samping itu, orang yang meninggalkan shalat berjama'ah berarti telah kehilangan berbagai keuntungan sosial kemasyarakatan yang mestinya diperoleh oleh kaum muslimin dengan berkumpul dan berjama'ah dalam shalat, yaitu tertanamnya rasa cinta dan kesatuan, mengajar orang yang masih bodoh, membantu orang yang membutuhkan, dan lain-lain.

Meninggalkan shalat berjama'ah juga akan menyebabkan seseorang terancam mendapatkan hukuman dari Allah, serta menjadikan dirinya menyerupai orang-orang munafik. Dalam kitab Shahihain disebutkan hadits dari Abu Hurairah radhiyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:

"Shalat yang paling terasa berat atas orang-orang munafik adalah shalat 'isya dan shalat shubuh. Kalau saja mereka tahu apa yang ada pada keduanya, tentu mereka akan mendatangi kedua shalat tersebut sekalipun harus dengan merangkak. Aku ingin menyuruh agar shalat segera didirikan lalu aku suruh seseorang untuk memimpin shalat berjama'ah dengan orang-orang, kemudian aku akan membawa beberapa orang yang masing-masing membawa seikat kayu bakar untuk mendatangi orang-orang yang tidak mau menghadiri shalat berjama'ah untuk kemudian aku bakar rumah-rumah mereka dengan api."

Dalam kitab Shahih Muslim disebutkan riwayat dari Ibnu Mas'ud radhiyallaahu 'anhu bahwa ia berkata: "Barangsiapa ingin bertemu dengan Allah esok hari dalam keadaan Muslim, maka hendaklah ia selalu menjaga shalat-shalat (wajib) itu, dimana mereka dipanggil untuk menunaikannya. Allah Subhaanahu wa Ta'aala telah mensyari'atkan kepada Nabi kalian jalan-jalan petunjuk, dan shalat lima waktu itu adalah bagian darinya."

Ia berkata lagi: "Kami memandang bahwa tidak ada yang meninggalkan shalat berjama'ah melainkan ia seorang munafik yang jelas dimaklumi kemunafikannya."

Di antara orang-orang yang berpuasa itu ada orang yang justru meninggalkan perintah sehingga ia asyik tidur sehingga tidak melaksanakan shalat fardhu tepat pada waktunya. Ini merupakan bagian dari kemungkaran yang paling besar serta tindakan pelalaian terhadap shalat wajib lima waktu. Sampai-sampai banyak ulama yang mengatakan: "Barangsiapa mengulur shalat dari waktunya, lalu ia tidur sehingga tidak mengerjakan shalat tepat pada waktunya tanpa ada udzur syar'i, maka shalatnya tidak bisa diterima, sekalipun ia mengerjakan shalat seratus kali." In berdasarkan sabda Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam: "Siapa mengerjakan suatu 'amalan yang tidak sesuai perintah kami, maka 'amalannya tertolak." (Hadits Riwayat Imam Muslim)

Shalat yang dikerjakan sesudah waktunya tidaklah mengikuti perintah Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam sehingga shalat ini tertolak dan tidak bisa diterima.

Di antara adab-adab wajib yang harus dipegang teguh adalah bahwa orang-orang yang berpuasa harus menjauhi seluruh larangan yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya, baik yang berupa perkataan maupun perbuatan. Dengan demikian ia harus meninggalkan perbuatan dusta, yaitu menyatakan sesuatu yang tidak sesuai dengan kenyataan yang sesungguhnya. Yang paling besar dosanya adalah berdusta terhadap Allah dan Rasul-Nya, seperti menisbahkan sesuatu kepada Allah dan Rasul-Nya mengenai penghalalan yang haram atau pengharaman yang halal tanpa dasar 'ilmu. Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman: "Janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta: 'Ini halal dan ini haram', untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tidaklah beruntung. (Itu adalah) kesenangan yang sedikit, dan bagi mereka adzab yang pedih." (Qur-an Surat an-Nahl (16): ayat 116-117)

Dalam kitab Shahihain dan juga lainnya disebutkan hadits dari Abu Hurairah radhiyallaahu 'anhu dan selainnya bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:

"Siapa yang dengan sengaja berdusta dengan mengatasnamakan aku, maka silakan ia memasang tempat duduknya di Neraka."

Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam juga memperingatkan kita jangan sampai berbuat dusta. Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:

"Jauhilah perbuatan dusta, karena sesungguhnya dusta itu akan membawa kepada perbuatan dosa, sedangkan dosa akan membawa kepada Neraka. Seseorang itu akan terus saja berbuat dusta dan membiasakan berdusta sehingga ia akhirnya dicap oleh Allah sebagai pendusta." (Mutafaq 'alaih)

Di samping itu ia harus juga menjauhkan diri dari berbuat ghibah yaitu mengatakan sesuatu yang tidak disukai oleh saudaranya manakala ia tidak ada di hadapannya, apakah yang disebut berkenaan dengan cacat fisiknya, seperti pincang, buta sebelah matanya atau buta semua matanya dalam bentuk menyebutkan kekurangannya dan mencela, atau berkenaan dengan sifat perilakunya seperti tolol, bodoh, fasik dan semisalnya, apakah apa yang dikatakan memang sesuai dengan yang ada maupun yang tidak. Sebab, Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam ketika ditanya mengenai ghibah, maka beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Yaitu engkau menyebut saudaramu dengan sesuatu yang ia benci." Ditanyakanlah kepada beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam: "Bagaimana pendapat engkau jika apa yang aku katakan memang ada pada diri saudaraku?" Beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Jika apa yang engkau katakan itu ada pada dirinya, maka engkau berarti mengghibahnya, dan jika apa yang engkau katakan itu tidak ada pada dirinya, maka engkau telh berbuat kebohongan terhadapnya." (Hadits Riwayat Imam Muslim)

Allah Subhaanahu wa Ta'aala sendiri juga melarang perbuatan ghibah ini di dalam al-Qur-n serta menyerupakannya dengan bentuk yang sangat buruk, yaitu menyerupakannya dengan seseorang yang rela memakan daging bangkai saudaranya sendiri. Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman: "Janganlah sebagian kamu menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati?! Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya." (Qur-an Surat al-Hujurat (49): ayat 12)

Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam pernah memberitahukan bahwa pada malam mi'raj, beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melewati suatu kaum yang mempunyai kuku-kuku dari tembaga yang mereka gunakan untuk mencakar muka dan dada mereka. Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bertanya: "Siapa mereka itu, wahai Jibril?" Jibril menjawab: "Mereka adalah orang-orang yang makan daging manusia lain dan mencela kehormatan mereka." (Hadits Riwayat Imam Abu Dawud)

Ia harus menjauhi perbuatan mengadu domba atau menyebar fitnah (namimah), yaitu mengutip perkataan seseorang terhadap orang lain untuk merusak hubungan antara keduanya. Ini merupakan bagian dari dosa-dosa besar (kabair). Mengenai hal ini Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:

"Tidak akan masuk Surga orang suka berbuat namimah." (Mutafaq 'alaih)

Dalam kitab Shahihain disebutkan hadits Ibnu Abbas radhiyallaahu 'anhuma bahwa suatu ketika Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melewati sebuah kuburan lalu bersabda:

"Sungguh kedua penghuni kubur itu sedang diadzab, namun keduanya tidaklah diadzab karena sesuatu yang besar (bukan sesuatu yang memberatkan mereka). Salah satunya diadzab karena tidak membersihkan diri dari air kencing, sedangkan yang satunya lagi suka berjalan kian kemari dengan menyebarkan fitnah dan adu domba (namimah)."

Namimah merupakan kerusakan bagi individu maupun masyarakat, membuat terpecahnya kaum muslimin, serta membuat saling bermusuhan. Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman: "Dan janganlah kamu ikuti setiap orang yang banyak bersumpah lagi hina, yang banyak mencela, yang kian kemari menghambur fitnah." (Qur-an Surat al-Qalam (68): ayat 10-11)

Demikian juga ia harus menjauhkan diri dari perbuatn menipu dan curang (al-ghisy) dalam segala macam muamalahnya, baik dalam berdagang, sewa menyewa, membuat sesuatu, memberikan jaminan dan seterusnya, serta dalam hal saling menasehati dan musyawarah. Sebab, perbuatan curang merupakan bagian dari dosa besar. Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam sendiri berlepas diri dari orang yang berbuat curang. Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:

"Siapa yang berbuat curang dan menipu kami, maka bukan bagian dari kami."

Dalam lafal yang lain disebutkan:

"Siapa berbuat curang, bukan bagian dari (golongan) kami." (Hadits Riwayat Imam Muslim)

Yang dinamakan perbuatan ghisy adalah menipu, mengabaikan amanah, dan membuang kepercayaan antara sesama manusia. Setiap pendapatan dan keuntungan yang merupakan hasil dari perbuatan ghisy, maka itu merupakan pendapatan yang kotor yang hanya akan semakin menambah keterjauhan dari Allah.

Selanjutnya ia harus juga menjauhi alat-alat musik, yang merupakan alat permainan dan hiburan, dengan segala macam jenisnya, seperti kecapi, rebab, gitar, biola, piano, dan sebagainya. Ini semua adalah haram. Keharamannya akan semakin bertambah jika diiringi pula dengan nyanyian yang melantunkan suara merdu dan nyanyian yang menimbulkan rangsangan. Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman: "Di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh adzab yang menghinakan." (Qur-an Surat Luqman (31): ayat 6)

Disebutkan riwayat yang shahih dari Ibnu Mas'ud radhiyallaahu 'anhu bahwa ia pernah ditanya mengenai ayani dan ia menjawab: "Demi Allah tiada sembahan yang benar selain-Nya, yang dimaksud dengan ayat ini adalah nyanyian."

Disebutkan juga riwayat yang shahih dari Ibnu 'Abbas dan Ibnu 'Umar radhiyallaahu 'anhum. Sedangkan Ibnu Katsir rahimahullaah menyebutkan riwayat yang sama dari Jabir, Ikrimah, Sa'id bin Jubair, dan Mujahid radhiyallaahu 'anhum.

Hasan berkata: "Ayat ini turun mengenai nyanyian dan aneka seruling (baca alat musik, -penerj)."

Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam telah memperingatkan agar menjauhi alat-alat musik serta menyamakannya dengan zina. Beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:

"Akan ada dari kalangan ummatku suatu kaum yang menghalalkan 'kemaluan' (zina) dan sutera serta menghalalkan khamr dan alat-alat musik." (Hadits Riwayat Imam al-Bukhari)

Yang dimaksud dengan kata 'menghalalkan' di sini adalah melakukannya seperti layaknya melakukan sesuatu yang halal tanpa ada kekhawatiran apa-apa. Hal ini sudah benar-benar terjadi di zaman kita sekarang ini. Ada sementara orang yang sudah menggunakan berbagai macam alat musik atau memperdengarkannya seakan ia merupakan sesuatu yang halal. Ini merupakan bagian dari keberhasilan para musuh Islam yang selalu melakukan tipu daya mereka terhadap kaum muslimin sehingga berhasil memalingkan mereka dari berdzikir untuk mengingat Allah dan dari hal-hal penting bagi mereka, baik berkaitan dengan persoalan agama maupun dunia mereka. Akhirnya mereka yang mendengarkan hal itu jauh lebih banyak dan lebih sering daripada mendengarkan bacaan ayat al-Qur-an dan hadits serta perkataan para 'ulama yang berisi penjelasan mengenai hukum-hukum syari'at dan hikmah-hikmahnya. Oleh karena itu waspadalah segala hal yang bisa membatalkan dan mengurangi nilai puasa. Jagalah baik-baik puasa kalian, jangan sampai ternodai oleh perkataan dusta dan permainan yang dusta. Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:

"Siapa yang tidak bisa meninggalkan perkataan dan perbuatan dusta serta perbuatan jahil (bodoh), maka Allah tidak lagi punya kepentingan terhadap amalan meninggalkan makan dan minum (puasanya)."

Jabir radhiyallaahu 'anhu berkata: "Jika engkau berpuasa, maka puasakan pula pendengaranmu, penglihatanmu, dan lidahmu dari berkata dusta dan hal-hal yang haram. Tinggalkanlah perbuatan menyakiti tetangga. Hendaklah kamu tenang dalam menjalankan puasa, dan jangan sampai hari ketika engkau puasa dengan hari ketika tidak puasa sama saja."

Ya Allah, peliharalah agama kami, dan halangi anggota badan kami dari perbuatan yang membuat-Mu murka. Ampunilah kami, kedua orang tua kami dan seluruh kaum muslimin dengan rahmat-Mu, wahai Pemberi rahmat yang terbaik. Semoga Allah mencurahkan rahmat dan kedamaian kepada Nabi Muhammad, serta kepada keluarga dan para shahabat seluruhnya.

===

Maraji'/ sumber:
Kitab: Majaalisu Syahru Ramadhaan, Penulis: Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin rahimahullaah, Penerbit: Daruts Tsurayya lin Nasyr - Riyadh, Cetakan I, 1422 H/ 2002 M, Judul terjemahan: Kajian Ramadhan, Penerjemah: Salafuddin Abu Sayyid, Penerbit: al-Qowam - Solo, Cetakan V, 2012 M.

===

Ary Ambary Ahmad Abu Sahla al-Bantani
Sent from my BlackBerry® PIN 269C8299
powered by Sinyal Kuat INDOSAT