Apakah harus menggunakan air untuk menghilangkan najis? Atau bolehkah menghilangkan najis dengan cairan selain air? (2)
Ini madzhab Imam Abu Hanifah, riwayat yang lain dari Imam Malik dan Imam Ahmad, Imam asy-Syafi'i dalam qoul qodim (pendapat lama)nya, Imam Ibnu Hazm, dan pendapat yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, demikian pula oleh al-'Allamah Ibnu 'Utsaimin (116). Pendapat inilah yang rojih, berdasarkan keterangan berikut ini:
1. Keberadaan air sebagai benda yang mensucikan (suci lagi mensucikan) tidaklah menafikan benda lain juga mensucikan sepertinya. Sebab kaidah mengatakan, "Tidak adanya sebab tertentu tidak berarti akibat tertentu tidak ada, baik itu berupa dalil atau bukan dalil." Karena yang berpengaruh di sini mungkin perkara lain. Dan itulah yang terjadi pada bab najis ini. (117)
Penulis berkata: Bahkan sebagian cairan, seperti cuka dan cairan pembersih buatan lainnya, dapat menghilangkan najis seperti air bahkan lebih bersih daripadanya.
2. Syari'at hanya memerintahkan untuk membersihkan najis dengan air pada kasus tertentu saja, dan tidaklah memerintahkan secara umum untuk menghilangkan semua najis dengan air.
3. Syari'at telah mengizinkan untuk membersihkan sebagian najis dengan selain air, seperti beristinja' dengan batu, menggosok sandal dengan tanah, membersihkan ekor pakaian dengan tanah, dan lain-lain seperti telah dijelaskan.
4. Menghilangkan najis bukanlah termasuk bab ma'mur (sesuatu yang diperintahkan) tetapi termasuk bab ijtinab al-manhzhur (menjauhi sesuatu yang dilarang). Pada saat seorang hamba terkena suatu najis, dengan sebab apapun, maka ketika itu berlakulah hukumnya. Karena, untuk menghilangkan najis tidak disyaratkan niat. Akan tetapi jika najis hilang dengan perbuatan seorang hamba berikut niatnya, maka ia mendapatkan pahala. Jika najis hilang dengan sendirinya, tanpa perbuatan atau niat menghilangkannya, maka hilanglah mafsadah itu. Tetapi, dalam hal ini, dia tidak mendapatkan pahala dan tidak pula mendapatkan hukuman.
Yang mendukung hal tersebut bahwa khomer yang berubah menjadi cuka dengan sendirinya, maka ia menjadi suci -bagi yang mengatakan khomer itu najis- berdasarkan kesepakatan kaum Muslimin.
Penulis berkata: Maka pendapat yang rojih adalah jika najis hilang dengan sesuatu, maka hukumnya juga hilang dan benda kembali menjadi suci.
Di sini ada beberapa faidah:
1. Faidah masalah ini bahwa siapa saja yang pada pakaiannya atau badannya terdapat najis, lalu ia menggunakan sesuatu yang dapat membuatnya menjadi bersih dan suci -selain air- maka itu sudah mencukupi dan tidak harus mencucinya dengan air.
2. Tidak boleh menggunakan makanan atau minuman untuk menghilangkan najis tanpa adanya kebutuhan. Karena dapat merusak harta. (118)
3. Kesucian yang dihasilkan dengan selain air berupa benda-benda cairan atau selainnya hanya berlaku untuk najis-najis haqiqiyah yang mengenai pakaian, tubuh dan tempat. Adapun bersuci secara hukmi (bersuci dari hadats), seperti wudhu', mandi, dan selainnya, maka tidak boleh dilakukan dengan selain air.
===
(116) Kitab al-Bada'i 1/83, kitab Fathul Qodir 1/200, kitab Majmu' al-Fatawa 21/475, kitab al-Muhalla 1/92-94, dan kitab asy-Syarh al-Mumti 1/361-363.
(117) Kitab asy-Syarh al-Mumti 1/362.
(118) Kitab Majmu' al-Fatawa 21/475.
===
Maroji':
Kitab: Shohih Fiqh as-Sunnah, wa adillatuhu wa taudhih madzahib al-a'immah, Penulis: Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim, Penerbit: Maktabah at-Taufiqiyah, Kairo - Mesir, Cetakan 1424 H/ 2003 M, Judul terjemah: Shohih Fiqih Sunnah Jilid 1, Penerjemah: Abu Ihsan al-Atsari, Penerbit: Pustaka at-Tazkia, Jakarta, Cetakan IV, 1430 H/ 2009 M.
===
Layanan GRATIS Estimasi Biaya Baja Ringan, Genteng Metal & Plafon Gypsum
http://www.bajaringantangerang.com
===
Sent from my BlackBerry®
powered by Sinyal Kuat INDOSAT