Skip to main content

Sikap kita terhadap mereka yang menyelisihi kita dalam persoalan ini dan yang sejenisnya

Fasal III

Rosululloh shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam mencukupkan tarowih dengan sebelas roka'at, itu merupakan dalil bahwa tidak dibolehkannya menambah lebih dari jumlah tersebut

Sikap kita terhadap mereka yang menyelisihi kita dalam persoalan ini dan yang sejenisnya

Setelah kita memahami masalah ini, janganlah sampai salah seorang di antara kita berpandangan bahwa kalau kami hanya berpegang pada jumlah roka'at yang ada di dalam hadits tanpa menambah-nambah, berarti kami menganggap para 'ulama dulu dan sekarang yang tak sependapat dengan kami sebagai ahli bid'ah dan sesat. Sebagaimana tuduhan yang dilontarkan oleh sebagian orang yang hendak memojokkan kami. (25)


Hal itu didasari praduga mereka yang salah; bahwa kalau kami mengatakan bahwa satu perbuatan itu tidak dibolehkan, atau satu perbuatan itu bid'ah, berarti setiap orang yang menyatakan perbuatan itu boleh atau bahkan disunnahkan adalah sesat atau ahli bid'ah! Tidak demikian, itu jelas dugaan yang batil dan kebodohan yang keterlaluan. Karena bid'ah yang menyebabkan pelakunya menjadi tercela dan terkena ancaman hadits-hadits tentang bid'ah itu adalah "Tata cara dalam melaksanakan Islam yang diada-adakan, yang menyerupai syari'at; yang mana tujuan melaksanakan perbuatan itu adalah berlebih-lebihan dalam ber'ibadah kepada ALLOH." (26)

Barangsiapa yang melakukan perbuatan bid'ah untuk menambah-nambah 'ibadah kepada ALLOH sementara ia tahu bahwa itu bukan dari syari'at Islam, orang itulah yang terkena (ancaman) hadits-hadits tersebut. Adapun orang yang terjerumus melakukan perbuatan itu sedangkan dia tidak mengetahui bahwa itu bid'ah, juga tanpa bermaksud menambah-nambah syari'at ('ibadah), orang itu sama sekali tak terkena dan teralamatkan kepadanya (ancaman) hadits-hadits tersebut. Namun yang terkena adalah mereka yang menghalang-halangi berkembangnya Sunnah dan menganggap baik perbuatan-perbuatan bid'ah serta (ber'amal) tanpa bimbingan 'ilmu, petunjuk maupun ajaran kitab ALLOH yang jelas. Bahkan, mereka tak sudi mengikuti para 'ulama, namun justru mengekori hawa nafsu dan menuruti orang-orang awam. Sungguh jauh sekali, kalau di antara mereka juga termasuk salah seorang 'ulama yang dikenal dengan kapasitas ke'ilmuan, kejujuran, kesholihan, dan keikhlasannya. Apalagi para tokoh 'ulama mujtahid. Kita dengan pasti menganggap mustahil kalau mereka itu menganggap baik perbuatan bid'ah hanya untuk menambah-nambah 'ibadah kepada ALLOH. Bagaimana itu bisa terjadi, sedangkan mereka sendiri telah melarang hal itu, sebagaimana pernyataan-pernyataan dalam hal itu yang akan kami sebutkan dalam tulisan yang khusus berkenaan dengan bid'ah, insya ALLOH.

Memang betul, bahwa mereka terkadang juga melakukan kekeliruan menurut syari'at. Namun mereka tidak tercela karena kesalahannya itu. Bahkan mereka diampuni dan diberi pahala seperti yang telah berulang-ulang kami sebutkan. Terkadang bagi orang yang meneliti jelas bahwa kekeliruan itu termasuk bid'ah, namun keberadaan dirinya sebagai orang yang diampuni dan tetap diberi pahala tak perlu diperdebatkan lagi. Karena itu terjadi dalam konteks dirinya sebagai mujtahid dan seorang yang ber'ilmu tak akan ragu; bahwa tak ada perbedaan antara; bila ia (orang yang berijtihad itu) menganggap Sunnah perbuatan yang bid'ah atau ia menganggap halal perbuatan yang harom lalu ia pun melakukannya. Semua itu -sebagaimana yang kita ketahui- termasuk kekeliruan yang diampuni. Maka dari itu, dapat kita saksikan bahwa para 'ulama itu meskipun mereka berselisih pendapat demikian keras dalam beberapa persoalan, namun mereka tidak saling menganggap sesat satu dengan yang lainnya atau saling menganggap satu dengan yang lainnya sebagai ahli bid'ah.

Dapat kita berikan satu contoh. Semenjak zaman para Shohabat mereka berselisih pendapat tentang menyempurnakan sholat (tidak mengqoshornya) pada waktu safar. Sebagian mereka membolehkannya, namun sebagian yang lain melarangnya bahkan menganggapnya sebagai bid'ah yang menyelisihi Sunnah. Namun meskipun begitu, mereka tidak menganggap orang yang menyelisihi mereka sebagai ahli bid'ah. Coba lihat Ibnu 'Umar ro-dhiyaLLOOHU 'anhuma, dia menyatakan:

"Sholat orang yang bersafar itu dua roka'at. Barangsiapa yang menyalahi Sunnah berarti dia kafir."
(Diriwayatkan oleh Imam Ibnu Siroj dalam kitab Musnad-nya 21/122-123 dengan dua jalur sanad yang shohih)

Meski demikian, dia tidaklah menganggap kafir atau menganggap sesat orang yang menyelisihinya karena ijtihad. Bahkan tatkala dia sholat di belakang orang yang berpendapat boleh menyempurnakan sholat dalam safar itu, dia pun ikut juga menyempurnakan sholat. Ibnu Siroj meriwayatkan dari Nabi shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam bahwa Beliau mengqoshor sholat di Mina. Kemudian Abu Bakar, 'Umar dan juga 'Utsman ro-dhiyaLLOOHU 'anhum pada awal pemerintahannya juga mengqoshor sholat mereka di sana. Namun kemudian 'Utsman pernah juga menyempurnakan sholat di Mina. Maka Ibnu 'Umar ro-dhiyaLLOOHU 'anhuma, apabila ia sholat di belakang 'Utsman ro-dhiyaLLOOHU 'anhu ia menyempurnakan sholatnya. Namun apabila ia sholat sendirian, dia mengqoshor sholatnya. (27)

Coba renungkan, Ibnu 'Umar ro-dhiyaLLOOHU 'anhuma yang berkeyakinan bahwa orang yang menyelisihi Sunnah yang jelas dengan menyempurnakan sholat pada waktu safar adalah keliru, ternyata dia tidak terdorong oleh keyakinannya itu untuk menganggap bid'ah atau sesat orang yang menyelisihinya. Bahkan dia mau sholat bermakmum dengannya; karena dia tahu bahwa 'Utsman ro-dhiyaLLOOHU 'anhu menyempurnakan sholatnya itu bukanlah demi memperturutkan hawa nafsu -wal'iyadzu biLLAH-, tetapi semata-mata hanyalah karena ijtihadnya. (28)

Demikianlah jalan tengah yang kami anggap wajib untuk dimiliki setiap muslim sebagai metodologinya untuk mengatasi berbagai perselisihan yang terjadi di kalangan mereka. Masing-masing harus menampakkan apa yang dianggapnya benar dan bersesuaian dengan al-Kitab dan as-Sunnah. Dengan syarat, ia tidak boleh menganggap sesat atau menganggap ahli bid'ah orang yang tidak berpendapat demikian karena masih terbawa syubhat yang menyelimutinya. Karena hanya itulah jalan satu-satunya untuk mempersatukan kaum muslimin dan menyatukan barisan mereka. Sehingga kebenaran itu menjadi jelas dan gamblang bagi mereka, tidak terselubung kabut rambu-rambunya. Oleh sebab itu, kamipun melihat bahwa perpecahan kaum muslimin dengan bercerai berainya mereka memilih imam sendiri-sendiri dalam sholat; yang satu imam Hanafiyyah, yang satu Syafi'iyyah. Semua ini berseberangan dengan prinsip para 'ulama as-Salaf ash-Sholih. Dimana mereka bersatu dalam sholat bermakmum kepada satu imam, tanpa harus bercerai berai mengikuti imam yang berbeda-beda.

Inilah sikap kami dalam berbagai persoalan khilafiyah di kalangan kaum muslimin. Menampakkan mana yang benar, tapi tidak menganggap sesat orang yang menyelisihi kami dalam kebenaran itu, kalau dia berbuat begitu hanya karena tak jelas baginya kebenaran, bukan karena memperturutkan hawa nafsu. Dan inilah yang kami praktekkan semenjak ALLOH menghidayahi kami untuk mengikuti as-Sunnah, yaitu semenjak kira-kira dua puluh tahun. (29)

Kamipun mengangankan seandainya sikap semacam ini dimiliki oleh mereka-mereka yang terburu-buru menganggap sesat kaum muslimin. Yang mana prinsip mereka adalah: "Apabila kami ditanya tentang pendapat kami, kami akan menjawab: 'Pendapat kami benar, meskipun mungkin salah.' Dan kalau kami ditanya tentang pendapat selain kami, akan kami jawab: 'Pendapat mereka salah, meskipun mungkin benar'." Termasuk prinsip mereka, mereka menganggap makruh sholat bermakmum kepada orang yang menyelisihi madzhab mereka, bahkan menganggapnya batal. Oleh sebab itu, sampai dalam satu masjidpun mereka bercerai berai sebagaimana yang telah kami paparkan tadi; khususnya ketika berjama'ah sholat witir pada waktu Romadhon! Karena mereka beranggapan, bahwa witir itu tidak sah kalau imam memisahkan antara roka'at genapnya (dalam satu sholat) dengan roka'at ganjilnya. Padahal demikianlah riwayat yang benar dari Nabi shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam sebagaimana akan dijelaskan nanti pada pasal pembahasan ketujuh. Lihatlah komentar kami pada halaman 17. Itulah sikap kami, dan kami kira orang berakal pasti tak akan menyanggah kami dalam hal itu. Barangsiapa yang menisbatkan selain itu kepada kami, berarti dia telah berlebih-lebihan, melampaui batas dan berbuat zholim. ALLOH-lah yang akan memperhitungkannya.

Tujuan kami untuk menyebarkan as-Sunnah, baik dalam persoalan ini atau dalam persoalan lain, amatlah jelas dan gamblang. Yaitu dengan cara menyampaikannya kepada ummat berdasarkan sabda Nabi shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam:

"Sampaikan dariku meskipun hanya sepenggal ayat."

Hadits tersebut diriwayatkan oleh Imam al-Bukhori dan Imam Muslim. Mungkin kalau hadits itu sampai kepada mereka, mereka akan puas dengan keshohihannya sehingga mereka pegang teguh. Dari situlah berawal kebahagiaan dan kemenangan mereka di dunia dan di akhiroh. Di sana juga dijanjikan kepada kita pahala berlipat ganda, berdasarkan sabda Beliau shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam:

"Barangsiap yang memulai peng'amalan Sunnah yang baik dalam Islam, maka ia akan memperoleh ganjarannya sekaligus ganjaran orang yang akan turut meng'amalkannya sampai hari Kiamat."

Barangsiapa yang belum puas dengan hadits itu, karena masih samar baginya, bukan karena memperturutkan hawa nafsu, bukan pula mengekori nenek moyang mereka, maka tak seorangpun berhak memojokkan mereka. Apalagi kalau -Sunnah tersebut- tak di'amalkan oleh sebagian tokoh-tokoh para 'ulama, sebagaimana halnya dalam persoalan ini (sholat tarowih). Dan taufiq itu, semata-mata hanyalah dari ALLOH Sub-haanahu wa Ta'aala.

===

(25) Lihat catatan kaki sebelumnya.

(26) Kitab al-Ibda' fii Mudhoori al-Ibtida'.

(27) Diriwayatkan oleh Imam al-Bukhori 2/451-452 dengan lafazh yang mirip. Di dalam riwayat itu bahkan disebutkan bahwa dia tatkala mengetahui bahwa 'Utsman ro-dhiyaLLOOHU 'anhu menyempurnakan sholatnya, dia meralat pendapatnya.

(28) Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud 1/308 dari Zuhri, bahwa 'Utsman bin 'Affan ro-dhiyaLLOOHU 'anhu menyempurnakan sholatnya di Mina karena adanya banyak orang-orang Arob dusun. Dia sholat empat roka'at untuk mengajarkan kepada mereka asal sholat tersebut memang empat roka'at. (Para perowi hadits tersebut tsiqoh, akan tetapi sanadnya terputus).

(29) Dan kini, hal itu sudah berlalu lima puluh tahun lebih. Dan ternyata ucapan musuh-musuhnya hanyalah omong kosong. Dan kedustaan serta tipu daya mereka tetap berlangsung tanpa pandang bulu. Kita memohon kepada ALLOH meluruskan langkah-langkah kaum muslimin seluruhnya untuk ber'amal dengan kejujuran.

===

Maroji':
Kitab: Sholatut Tarowih, Penulis: Imam Muhammad Nashiruddin al-Albani, Judul terjemahan: Sholat Tarowih, Penerjemah: Abu Umar Basyir al-Maidani, Penerbit: at-Tibyan - Solo, Cetakan IV, 2000 M.

===

Layanan GRATIS Estimasi Biaya Baja Ringan, Genteng Metal & Plafon Gypsum
http://www.bajaringantangerang.com

===
Sent from my BlackBerry®
powered by Sinyal Kuat INDOSAT