Majaalisu Syahru Romadhoon.
Syaikh Muhammad bin Sholih al-'Utsaimin rohimahullooh.
Kajian Romadhon.
Kajian keempat.
Hukum sholat malam bulan Romadhon.
Segala puji bagi ALLOH yang dengan karunia-NYA memberikan bantuan kepada siapa saja yang mau menempuh jalan kebaikan, menyelamatkan jiwa yang binasa dengan rohmat-NYA, serta memudahkan siapa saja yang dikehendaki-NYA menuju kemudahan sehingga ia menghendaki kampung akhiroh.
Aku bersaksi bahwa tidak ada sembahan yang benar kecuali ALLOH yang tidak mempunyai sekutu. DIA adalah Pemilik kemuliaan dan keperkasaan. Setiap jiwa pasti hina dan rendah di hadapan-NYA. Aku bersaksi pula bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-NYA yang senantiasa melaksanakan perintah-NYA dalam keadaan terang-terangan maupun rahasia. Rohmat dan kesejahteraan semoga senantiasa ALLOH limpahkan kepada Beliau; kepada Shohabat Beliau Abu Bakar yang telah berperang melawan kelompok pendusta; kepada 'Umar yang jiwanya selalu bertaut dengannya, kepada 'Utsman yang menginfaqkan harta yang sangat banyak; kepada 'Ali yang berhasil memporak-porandakan pasukan lawan dalam berbagai pertempuran yang sengit, serta kepada para Shohabat lain dan tabi'in serta siapa saja yang mengikuti kebaikan sepanjang zaman.
ALLOH Sub-haanahu wa Ta'aala telah mewajibkan berbagai bentuk 'ibadah kepada para hamba-NYA, serta membuat berbagai macam bentuk 'ibadah agar mereka bisa mengambil bagian darinya. Sehingga mereka tidak bosan dengan hanya satu jenis 'ibadah sehingga akhirnya tidak lagi mau ber'amal lalu menjadi sengsara dan merugi. ALLOH menjadikan beberapa bentuk 'amal 'ibadah yang tidak boleh dikurangi atau ditambah-tambah. Ada pula bentuk 'ibadah tambahan (nawafil) untuk menambah dan menyempurnakan pendekatan diri kepada ALLOH Sub-haanahu wa Ta'aala.
Di antara bentuk 'ibadah tersebut adalah sholat. ALLOH mewajibkan kepada para hamba-NYA untuk mengerjakan sholat lima kali dalam sehari semalam. Lima kali dikerjakan, namun ia bernilai lima puluh kali dalam timbangan. Di samping itu ALLOH juga menyarankan 'ibadah sholat sunnah sebagai tambahan untuk menyempurnakan sholat-sholat fardhu itu, dan juga menambah kedekatan kepada ALLOH. Ada sholat nafilah (sunnah) yang mengiringi sholat fardhu lima waktu yang biasa disebut dengan sholat sunnah rowatib; yaitu dua roka'at sebelum sholat Shubuh, empat roka'at sebelum dan sesudah sholat Zhuhur, dua roka'at sesudah sholat Maghrib dan dua roka'at setelah sholat 'Isya. Ada lagi sholat sunnah lainnya, yaitu sholat malam. ALLOH memberikan pujian dalam kitab-NYA kepada para hamba-NYA yang mau melaksanakan sholat ini denga berfirman:
"Dan orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk ROBB mereka."
(Qur-an Suroh al-Furqon (25): ayat 64)
"Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya, sedang mereka berdo'a kepada ROBB-nya dengan rasa takut dan harap, dan menafkahkan sebagian dari rizqi yang KAMI berikan kepada mereka. Tidak ada seorang pun yang mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka yaitu (bermacam-macam nikmat) yang menyedapkan pandangan mata sebagai balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan."
(Qur-an Suroh as-Sajdah (32): ayat 16-17)
Nabi shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam bersabda:
"Sholat yang paling utama sesudah sholat fardhu adalah sholat malam."
(Hadits Riwayat Imam Muslim)
Beliau shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam juga bersabda:
"Wahai sekalian manusia, tebarkanlah salam, bagikan makanan, sambunglah kekerabatan, dan sholatlah di waktu malam ketika orang-orang sedang tidur, maka kalian akan masuk Surga dengan kedamaian."
(Hadits Riwayat Imam at-Tirmidzi, ia mengatakan sebagai hadits hasan shohih. Dishohihkan pula oleh Imam al-Hakim)
Di antara jenis sholat malam itu adalah 'sholat witir' (8) (al-witr). Minimal satu roka'at dan maksimal sebelas roka'at. Kita boleh mengerjakan sholat witir walau hanya dengan satu roka'at. Nabi shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam bersabda:
"Siapa yang ingin mengerjakan sholat witir satu roka'at, maka silakan saja ia mengerjakannya."
(Hadits Riwayat Imam Abu Dawud dan an-Nasa-i)
Boleh mengerjakan sholat witir dengan tiga roka'at. Nabi shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam bersabda:
"Siapa yang ingin mengerjakan sholat witir tiga roka'at, silakan mengerjakannya."
(Hadits Riwayat Imam Abu Dawud dan Imam an-Nasa-i)
Boleh menggabungkan roka'at sholat witir ini dengan sekali salam. Ini berdasarkan riwayat dari Imam ath-Thohawi bahwa 'Umar bin al-Khoththob ro-dhiyaLLOOHU 'anhu mengerjakan sholat witir tiga roka'at dengan sekali salam di akhir roka'at.
Boleh juga dilakukan dengan dua roka'at salam lalu ditambah lagi dengan roka'at ketiga, dan kemudian salam lagi. Ini berdasarkan riwayat Imam al-Bukhori dari 'Abdulloh bin 'Umar bahwa dalam sholat witir ia mengucapkan salam setelah dua roka'at, baru ditambah satu roka'at lagi, sehingga ia bisa menyelingi dengan menyuruh pembantunya untuk melakukan sesuatu yang dibutuhkan olehnya.
Boleh juga mengerjakannya dengan lima roka'at secara langsung tanpa duduk (tahiyyat) dan baru mengucapkan salam pada roka'at terakhir (kelima). Nabi shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam bersabda:
"Siapa yang ingin mengerjakan sholat witir langsung lima roka'at, silakan saja ia mengerjakannya."
(Hadits Riwayat Imam Abu Dawud dan an-Nasa-i)
Diriwayatkan dari 'Aisyah ro-dhiyaLLOOHU 'anhuma, bahwa ia berkata:
"Nabi shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam mengerjakan sholat pada waktu malam sebanyak tiga belas roka'at. Lima roka'at darinya adalah sholat witir, dimana Beliau shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam tidak duduk tasyahud kecuali pada roka'at yang terakhir (kelima)."
(Muttafaq 'alaih; Hadits Riwayat Imam al-Bukhori dan Imam Muslim)
Boleh mengerjakan sholat witir tujuh roka'at dengan sekali salam. Ini berdasarkan riwayat dari Ummu Salamah ro-dhiyaLLOOHU 'anha yang mengatakan:
"Nabi shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam mengerjakan sholat witir dengan tujuh dan juga lima roka'at tanpa dipisah oleh salam atau pembicaraan."
(Hadits Riwayat Imam Ahmad, Imam an-Nasa-i, dan Imam Ibnu Majah)
Boleh juga mengerjakan sholat witir sembilan roka'at langsung, dan baru duduk membaca tasyahud pada roka'at kedelapan, lalu membaca tasyahud dan berdo'a, kemudian berdiri tanpa salam terlebih dahulu, kemudian melanjutkan sholat witir dengan roka'at kesembilan, kemudian membaca tasyahud, berdo'a dan baru kemudian salam. Ini berdasarkan hadits 'Aisyah ro-dhiyaLLOOHU 'anhuma tentang sholat witirnya Rosululloh shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam. 'Aisyah berkata:
"Nabi shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam pernah mengerjakan sholat witir sembilan roka'at, tanpa duduk (tasyahud) kecuali pada roka'at kedelapan, lalu Beliau shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam menyebut nama ALLOH, memuji-NYA dan memohon kepada-NYA. Selanjutnya Beliau shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam bangkit dan salam terlebih dahulu, lantas berdiri melanjutkan sholatnya pada roka'at kesembilan, baru kemudian duduk bertasyahud kembali, menyebut nama ALLOH, memuji-NYA dan berdo'a kepada-NYA, baru kemudian mengucapkan salam yang kami pun mendengarnya."
(Hadits Riwayat Imam Ahmad dan Imam Muslim)
Boleh juga mengerjakan sholat sebelas roka'at. Jika mau, boleh mengucapkan salam setiap dua roka'at, lalu mengerjakan sholat witir satu roka'at. Ini berdasarkan hadits 'Aisyah ro-dhiyaLLOOHU 'anhuma bahwa ia berkata:
"Nabi shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam melaksanakan sholat antara waktu selesai dari sholat 'Isya hingga fajar, sebelas roka'at, Beliau shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam mengucapkan salam pada setiap dua roka'at, dan berwitir dengan satu roka'at."
Hadits ini diriwayatkan oleh Jama'ah, kecuali Imam at-Tirmidzi.
Boleh juga mengerjakan sholat dengan empat roka'at salam empat roka'at salam, baru kemudian tiga roka'at. Ini berdasarkan hadits 'Aisyah ro-dhiyaLLOOHU 'anhuma bahwa ia berkata:
"Nabi shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam mengerjakan sholat empat roka'at (9), dan tidak perlu engkau tanyakan bagaimana baik dan panjang sholat Beliau. Kemudian Beliau shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam mengerjakan sholat kembali empat roka'at, dan tidak perlu engkau tanyakan bagaimana baik dan panjang sholat Beliau, dan baru kemudian Beliau shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam mengerjakannya tiga roka'at."
(Muttafaq 'alaih; Hadits Riwayat Imam al-Bukhori dan Imam Muslim)
Menyambungkan roka'at mulai dari lima, tujuh dan sembilan secara langsung itu hanya Beliau shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam lakukan ketika mengerjakan sholat sendirian atau dengan jama'ah yang terbatas yang memang memilih untuk mengerjakan sholat yang demikian. Adapun dalam masjid-masjid yang bersifat umum, yang lebih utama bagi imam adalah agar mengucapkan salam setiap dua roka'at agar tidak memberatkan jama'ah yang ada dan mengganggu niat mereka, juga karena yang demikian itu lebih mudah dan ringan bagi mereka. Nabi shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam bersabda:
"Siapa saja di antara kalian yang menjadi imam dalam sholat berjama'ah dengan orang banyak, maka hendaklah ia meringkas. Karena di belakangnya terdapat makmum yang sudah cukup tua, orang yang lemah, dan orang yang punya kepentingan."
Dalam lafal yang lain disebutkan:
"Jika ia mengerjakan sholat sendirian, maka silakan saja ia mengerjakan sholat sekehendaknya."
Tidak ada riwayat bahwa Beliau shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam mengerjakan sholat witir bersama para Shohabat dengan cara seperti yang disebutkan dalam riwayat-riwayat di atas. Bentuk-bentuk seperti itu hanya Beliau shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam lakukan dalam sholat sendirian (munfarid).
Sholat malam di bulan Romadhon mempunyai keutamaan dan keistimewaan tersendiri daripada selain di bulan Romadhon. Nabi shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam bersabda:
"Siapa yang mengerjakan sholat malam pada bulan Romadhon karena iman dan 'hitung-hitungan' (berharap pahala dari ALLOH) maka ia diberi ampunan atas dosa yang telah lalu."
(Muttafaq 'alaih; Hadits Riwayat Imam al-Bukhori dan Imam Muslim)
Yang dimaksud dengan iman di sini adalah iman kepada ALLOH dan percaya akan pahala yang disediakan oleh-NYA bagi orang-orang yang mau mengerjakan sholat malam. Sedangkan maksud dari 'hitung-hitungan' adalah mencari pahala dari ALLOH Sub-haanahu wa Ta'aala tanpa dibarengi dengan sifat riya' dan sum'ah serta tidak dalam rangka mencari harta maupun pangkat.
Yang dimaksud dengan qiyam Romadhon (sholat malam bulan Romadhon) itu meliputi sholat pada awal dan akhir malam bulan Romadhon. Dengan demikian, sholat tarowih termasuk bagian dari qiyam Romadhon. Maka seyogyanya kita bersemangat untuk mengerjakan, memperhatikan serta berharap mendapatkan pahala dari ALLOH Sub-haanahu wa Ta'aala atas 'ibadah sholat malam di bulan Romadhon ini. Malam-malam itu jumlahnya terbatas, sehingga orang beriman yang berakal harus pandai-pandai memanfaatkannya sebelum hilang kesempatannya. Sholat itu dinamakan tarowih karena orang-orang biasanya mengerjakan sholat ini dengan panjang. Setiap kali mereka selesai mengerjakan empat roka'at, mereka pun istirahat sebentar.
Nabi shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam yang pertama kali mengerjakan sholat tarowih di masjid dengan berjama'ah, namun kemudian Beliau shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam meninggalkannya karena khawatir bila hal itu dianggap wajib atas ummatnya. Dalam Shohihain (Shohiih al-Bukhori dan Shohiih Muslim) disebutkan riwayat hadits dari 'Aisyah ro-dhiyaLLOOHU 'anhuma bahwa Nabi shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam pernah mengerjakan sholat di dalam masjid pada suatu malam, lalu orang-orang mengikuti sholat Beliau. Pada malam berikutnya, Beliau shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam juga mengerjakan sholat lagi di masjid, dan orang-orang pun semakin banyak yang turut sholat menyertai Beliau. Pada malam ketiga atau keempat, orang-orang pun berkumpul, namun ternyata Rosululloh shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam tidak keluar untuk sholat bersama mereka. Keesokan harinya Beliau shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam bersabda, "Aku sebenarnya tahu tentang apa yang kalian semua lakukan. Namun aku memang sengaja tidak keluar untuk mengerjakan sholat bersama kalian karena aku khawatir bila hal itu dianggap sebagai suatu kewajiban atas kalian."
Peristiwa itu terjadi pada bulan Romadhon.
Diriwayatkan dari Abu Dzar ro-dhiyaLLOOHU 'anhu bahwa ia berkata:
"Kami berpuasa bersama Nabi shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam dan Beliau tidak mengerjakan sholat malam bersama kami sehingga tinggal tersisa tujuh hari dari bulan Romadhon. Pada sisa hari ketujuh ini Beliau shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam mengerjakan sholat malam bersama kami hingga usai sepertiga malam. Kemudian pada sisa hari keenam, Beliau shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam tidak mengerjakan sholat malam bersama kami, namun kemudian pada sisa malam yang kelima Beliau shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam mengerjakannya lagi bersama kami sampai usai separuh malam. Kami tanyakan kepada Nabi shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam, 'Ya Rosululloh, alangkah senangnya kami bila pada malam-malam Romadhon yang masih tersisa engkau sudi mengerjakan sholat kembali bersama kami.' Beliau shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam bersabda, 'Sesungguhnya seseorang yang telah mengerjakan sholat bersama imam sehingga imam itu pergi, maka dituliskan baginya (pahala) sholat semalam suntuk."
(Diriwayatkan oleh para penulis kitab as-Sunan dengan sanad shohih)
Para Salafush Shalih berbeda pendapat mengenai jumlah raka'at shalat tarawih dan witir yang menyertainya. Ada pendapat yang mengatakan empat puluh satu raka'at; ada yang mengatakan tiga puluh sembilan raka'at; ada yang mengatakan dua puluh sembilan raka'at; ada yang mengatakan dua puluh tiga raka'at; ada yang mengatakan sembilan belas raka'at; ada yang mengatakan tiga belas raka'at; ada yang mengatakan sebelas raka'at, dan sebagainya. Akan tetapi pendapat yang terkuat adalah sebelas atau tiga belas raka'at. Sebab, dalam kitab Shahihain (Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim) disebutkan riwayat dari 'Aisyah radhiyallaahu 'anhuma bahwa ia pernah ditanya bagaimana shalat malam yang dikerjakan oleh Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam di malam Ramadhan. 'Aisyah menjawab:
"Baik di bulan Ramadhan maupun selain Ramadhan, beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam tidak pernah (mengerjakan shalat malam) melebihi sebelas raka'at."
Sedangkan dalam riwayat Ibnu 'Abbas radhiyallaahu 'anhuma disebutkan bahwa ia berkata:
"Shalat malam yang dikerjakan oleh Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam adalah tiga belas raka'at."
(Hadits Riwayat Imam al-Bukhari)
Dalam kitab al-Muwaththa' disebutkan riwayat dari Sa'ib bin Yazid radhiyallaahu 'anhu bahwa ia berkata: "Umar bin al-Khaththab radhiyallaahu 'anhu memerintahkan 'Ubay bin Ka'b dan Tamin ad-Dari agar mengimami shalat (malam) dengan sebelas raka'at." (10)
Para Salafush Shalih biasa memanjangkan shalat malam. Dalam hadits Sa'ib bin Yazid radhiyallaahu 'anhu bahwa ia berkata: "Imam shalat biasanya membaca surat hingga ratusan ayat, sehingga kami sampai bersandar pada tongkat disebabkan lamanya berdiri."
Ini berbeda sekali dengan yang banyak dilakukan oleh orang-orang di zaman sekarang, yang justru mengerjakan shalat malam ini dengan cepat sekali. Mereka tidak melakukannya dengan tenang dan thuma'ninah yang merupakan bagian dari rukun shalat, dimana shalat tidak akan sah tanpa thuma'ninah. Mereka membuang rukun ini dan membuat para makmum yang ada di belakangnya yang terdiri dari kaum lemah, orang-orang sakit dan orang-orang tua menjadi letih. Mereka berbuat salah terhadap dirinya dan juga terhadap orang lain. Para 'ulama menyebutkan bahwa dimakruhkan bagi imam mempercepat shalat yang bisa menghalangi para makmum untuk melakukan apa yang disunnahkan. Lalu bagaimana halnya dengan kecepatan yang menghalangi mereka untuk melakukan sesuatu yang wajib (thuma'ninah)? Kita mohon keselamatan kepada Allah.
Jangan sampai seseorang ketinggalan shalat tarawih agar bisa meraih pahalanya, dan juga jangan sampai meninggalkan tempat sehingga imam selesia dari mengerjakan shalat malam ini dan selesai witir, agar memperoleh pahala shalat malam secara sempurna. Kaum wanita juga boleh menghadiri shalat tarawih di masjid jika aman dari fitnah terhadap diri mereka sendiri dan dari fitnah yang bisa ditimbulkan oleh mereka. Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:
"Janganlah kalian menghalangi hamba-hamba perempuan Allah untuk datang ke masjid-masjid Allah." (11)
Di samping itu, ini juga merupakan 'amalan yang dahulu dilakukan oleh kaum Salaf. Akan tetapi, mereka harus benar-benar mengenakan hijab, tidak bertabarruj, tidak mengenakan wangi-wangian, tidak mengangkat suara, dan juga tidak menampakkan perhiasan. Allah berfirman: "Jangan mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang sudah biasa tampak darinya." (Qur-an Surat an-Nur (24): ayat 31)
Maksudnya, yang biasa tampak dan tidak mungkin disembunyikan yaitu jilbab dan aba'ah (pakaian luar wanita) dan semisalnya. Karena Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam ketika menyuruh kaum wanita untuk keluar menuju shalat pada hari raya 'Idul Fithri, maka Ummu 'Athiyah radhiyallaahu 'anha berkata: "Ya Rasulullah, sesungguhnya salah seorang di antara kami tidak mempunyai jilbab." Beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam pun bersabda: "Hendaklah saudara perempuannya meminjamkan jilbabnya kepadanya." (Mutafaq 'alaih)
Sunnahnya bagi kaum wanita adalah mengakhirkan diri dari kaum lelaki serta menjauh dari mereka, kemudian menyusun barisan dari tempat yang paling belakang, baru kemudian depannya dan depannya lagi. Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:
"Sebaik-baik barisan (shaf) kaum lelaki adalah yang pertama dan yang paling buruk adalah yang terakhir. Sedangkan, sebaik-baik barisan kaum wanita adalah yang terakhir (paling belakang), sedangkan yang paling buruk adalah yang pertama."
(Hadits Riwayat Imam Muslim)
Mereka hendaknya langsung bubar meninggalkan masjid setelah imam selesai salam, dan jangan sampai mengulur-ulur waktu, kecuali karena ada udzur. Ini berdasarkan hadits Ummu Salamah radhiyallaahu 'anha bahwa ia berkata:
"Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam jika mengucapkan salam, maka kaum wanita langsung berdiri ketika beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam selesai mengucapkan salam. Sedangkan beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam tetap tinggal di tempatnya barang sejenak sebelum bangkit."
Ummu Salamah selanjutnya berkata: "Kami memandang -wallaahu a'lam- bahwa hal itu beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam maksudkan agar kaum wanita langsung meninggalkan tempat sebelum kaum pria menyusul mereka."
(Hadits Riwayat Imam al-Bukhari)
Ya Allah, berilah kami petunjuk sebagaimana yang telah Engkau berikan kepada para pendahulu kami yang shalih. Berikan petunjuk pula kepada seluruh kaum Muslimin dengan segala rahmat-Mu, wahai Dzat sebaik-baik pemberi rahmat. Shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada Nabi Muhammad, dan juga kepada keluarga dan para Shahabat seluruhnya.
===
(8) Secara harfiyah berarti 'sholat ganjil'.
(9) Kemungkinan yang dimaksudkan adalah empat roka'at sekali salam. Ini adalah lahiriyah dari lafal hadits ini. Tapi bisa juga yang dimaksud adalah dengan mengucapkan salam pada setiap dua roka'at, akan tetapi jika sholat empat roka'at maka Beliau shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam menyelingi dan kemudian sholat empat roka'at lagi. Ini jadinya sejalan dengan sabda Nabi shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam: "Sholat malam itu dua-dua." (Maksudnya, dua roka'at salam, dua roka'at salam -pent). Juga berdasarkan hadits 'Aisyah ro-dhiyaLLOOHU 'anhuma yang disebutkan sebelumnya yang menjelaskan bahwa Beliau shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam mengucapkan salam setiap dua roka'at.
(10) Diriwayatkan oleh Imam Malik dalam kitab al-Muwaththa' dengan sanad yang paling shahih.
(11) Mutafaq 'alaih.
===
Maroji':
Kitab: Majaalisu Syahru Romadhoon, Penulis: Syaikh Muhammad bin Sholih al-'Utsaimin, Penerbit: Daruts Tsuroyya lin Nasyr - Riyadh, Cetakan I, 1422 H/ 2002 M, Judul terjemahan: Kajian Romadhon, Penerjemah: Salafuddin Abu Sayyid, Penerbit: al-Qowam - Solo, Cetakan V, 2012 M.
===
Sent from my BlackBerry®
powered by Sinyal Kuat INDOSAT
Syaikh Muhammad bin Sholih al-'Utsaimin rohimahullooh.
Kajian Romadhon.
Kajian keempat.
Hukum sholat malam bulan Romadhon.
Segala puji bagi ALLOH yang dengan karunia-NYA memberikan bantuan kepada siapa saja yang mau menempuh jalan kebaikan, menyelamatkan jiwa yang binasa dengan rohmat-NYA, serta memudahkan siapa saja yang dikehendaki-NYA menuju kemudahan sehingga ia menghendaki kampung akhiroh.
Aku bersaksi bahwa tidak ada sembahan yang benar kecuali ALLOH yang tidak mempunyai sekutu. DIA adalah Pemilik kemuliaan dan keperkasaan. Setiap jiwa pasti hina dan rendah di hadapan-NYA. Aku bersaksi pula bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-NYA yang senantiasa melaksanakan perintah-NYA dalam keadaan terang-terangan maupun rahasia. Rohmat dan kesejahteraan semoga senantiasa ALLOH limpahkan kepada Beliau; kepada Shohabat Beliau Abu Bakar yang telah berperang melawan kelompok pendusta; kepada 'Umar yang jiwanya selalu bertaut dengannya, kepada 'Utsman yang menginfaqkan harta yang sangat banyak; kepada 'Ali yang berhasil memporak-porandakan pasukan lawan dalam berbagai pertempuran yang sengit, serta kepada para Shohabat lain dan tabi'in serta siapa saja yang mengikuti kebaikan sepanjang zaman.
ALLOH Sub-haanahu wa Ta'aala telah mewajibkan berbagai bentuk 'ibadah kepada para hamba-NYA, serta membuat berbagai macam bentuk 'ibadah agar mereka bisa mengambil bagian darinya. Sehingga mereka tidak bosan dengan hanya satu jenis 'ibadah sehingga akhirnya tidak lagi mau ber'amal lalu menjadi sengsara dan merugi. ALLOH menjadikan beberapa bentuk 'amal 'ibadah yang tidak boleh dikurangi atau ditambah-tambah. Ada pula bentuk 'ibadah tambahan (nawafil) untuk menambah dan menyempurnakan pendekatan diri kepada ALLOH Sub-haanahu wa Ta'aala.
Di antara bentuk 'ibadah tersebut adalah sholat. ALLOH mewajibkan kepada para hamba-NYA untuk mengerjakan sholat lima kali dalam sehari semalam. Lima kali dikerjakan, namun ia bernilai lima puluh kali dalam timbangan. Di samping itu ALLOH juga menyarankan 'ibadah sholat sunnah sebagai tambahan untuk menyempurnakan sholat-sholat fardhu itu, dan juga menambah kedekatan kepada ALLOH. Ada sholat nafilah (sunnah) yang mengiringi sholat fardhu lima waktu yang biasa disebut dengan sholat sunnah rowatib; yaitu dua roka'at sebelum sholat Shubuh, empat roka'at sebelum dan sesudah sholat Zhuhur, dua roka'at sesudah sholat Maghrib dan dua roka'at setelah sholat 'Isya. Ada lagi sholat sunnah lainnya, yaitu sholat malam. ALLOH memberikan pujian dalam kitab-NYA kepada para hamba-NYA yang mau melaksanakan sholat ini denga berfirman:
"Dan orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk ROBB mereka."
(Qur-an Suroh al-Furqon (25): ayat 64)
"Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya, sedang mereka berdo'a kepada ROBB-nya dengan rasa takut dan harap, dan menafkahkan sebagian dari rizqi yang KAMI berikan kepada mereka. Tidak ada seorang pun yang mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka yaitu (bermacam-macam nikmat) yang menyedapkan pandangan mata sebagai balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan."
(Qur-an Suroh as-Sajdah (32): ayat 16-17)
Nabi shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam bersabda:
"Sholat yang paling utama sesudah sholat fardhu adalah sholat malam."
(Hadits Riwayat Imam Muslim)
Beliau shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam juga bersabda:
"Wahai sekalian manusia, tebarkanlah salam, bagikan makanan, sambunglah kekerabatan, dan sholatlah di waktu malam ketika orang-orang sedang tidur, maka kalian akan masuk Surga dengan kedamaian."
(Hadits Riwayat Imam at-Tirmidzi, ia mengatakan sebagai hadits hasan shohih. Dishohihkan pula oleh Imam al-Hakim)
Di antara jenis sholat malam itu adalah 'sholat witir' (8) (al-witr). Minimal satu roka'at dan maksimal sebelas roka'at. Kita boleh mengerjakan sholat witir walau hanya dengan satu roka'at. Nabi shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam bersabda:
"Siapa yang ingin mengerjakan sholat witir satu roka'at, maka silakan saja ia mengerjakannya."
(Hadits Riwayat Imam Abu Dawud dan an-Nasa-i)
Boleh mengerjakan sholat witir dengan tiga roka'at. Nabi shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam bersabda:
"Siapa yang ingin mengerjakan sholat witir tiga roka'at, silakan mengerjakannya."
(Hadits Riwayat Imam Abu Dawud dan Imam an-Nasa-i)
Boleh menggabungkan roka'at sholat witir ini dengan sekali salam. Ini berdasarkan riwayat dari Imam ath-Thohawi bahwa 'Umar bin al-Khoththob ro-dhiyaLLOOHU 'anhu mengerjakan sholat witir tiga roka'at dengan sekali salam di akhir roka'at.
Boleh juga dilakukan dengan dua roka'at salam lalu ditambah lagi dengan roka'at ketiga, dan kemudian salam lagi. Ini berdasarkan riwayat Imam al-Bukhori dari 'Abdulloh bin 'Umar bahwa dalam sholat witir ia mengucapkan salam setelah dua roka'at, baru ditambah satu roka'at lagi, sehingga ia bisa menyelingi dengan menyuruh pembantunya untuk melakukan sesuatu yang dibutuhkan olehnya.
Boleh juga mengerjakannya dengan lima roka'at secara langsung tanpa duduk (tahiyyat) dan baru mengucapkan salam pada roka'at terakhir (kelima). Nabi shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam bersabda:
"Siapa yang ingin mengerjakan sholat witir langsung lima roka'at, silakan saja ia mengerjakannya."
(Hadits Riwayat Imam Abu Dawud dan an-Nasa-i)
Diriwayatkan dari 'Aisyah ro-dhiyaLLOOHU 'anhuma, bahwa ia berkata:
"Nabi shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam mengerjakan sholat pada waktu malam sebanyak tiga belas roka'at. Lima roka'at darinya adalah sholat witir, dimana Beliau shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam tidak duduk tasyahud kecuali pada roka'at yang terakhir (kelima)."
(Muttafaq 'alaih; Hadits Riwayat Imam al-Bukhori dan Imam Muslim)
Boleh mengerjakan sholat witir tujuh roka'at dengan sekali salam. Ini berdasarkan riwayat dari Ummu Salamah ro-dhiyaLLOOHU 'anha yang mengatakan:
"Nabi shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam mengerjakan sholat witir dengan tujuh dan juga lima roka'at tanpa dipisah oleh salam atau pembicaraan."
(Hadits Riwayat Imam Ahmad, Imam an-Nasa-i, dan Imam Ibnu Majah)
Boleh juga mengerjakan sholat witir sembilan roka'at langsung, dan baru duduk membaca tasyahud pada roka'at kedelapan, lalu membaca tasyahud dan berdo'a, kemudian berdiri tanpa salam terlebih dahulu, kemudian melanjutkan sholat witir dengan roka'at kesembilan, kemudian membaca tasyahud, berdo'a dan baru kemudian salam. Ini berdasarkan hadits 'Aisyah ro-dhiyaLLOOHU 'anhuma tentang sholat witirnya Rosululloh shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam. 'Aisyah berkata:
"Nabi shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam pernah mengerjakan sholat witir sembilan roka'at, tanpa duduk (tasyahud) kecuali pada roka'at kedelapan, lalu Beliau shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam menyebut nama ALLOH, memuji-NYA dan memohon kepada-NYA. Selanjutnya Beliau shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam bangkit dan salam terlebih dahulu, lantas berdiri melanjutkan sholatnya pada roka'at kesembilan, baru kemudian duduk bertasyahud kembali, menyebut nama ALLOH, memuji-NYA dan berdo'a kepada-NYA, baru kemudian mengucapkan salam yang kami pun mendengarnya."
(Hadits Riwayat Imam Ahmad dan Imam Muslim)
Boleh juga mengerjakan sholat sebelas roka'at. Jika mau, boleh mengucapkan salam setiap dua roka'at, lalu mengerjakan sholat witir satu roka'at. Ini berdasarkan hadits 'Aisyah ro-dhiyaLLOOHU 'anhuma bahwa ia berkata:
"Nabi shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam melaksanakan sholat antara waktu selesai dari sholat 'Isya hingga fajar, sebelas roka'at, Beliau shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam mengucapkan salam pada setiap dua roka'at, dan berwitir dengan satu roka'at."
Hadits ini diriwayatkan oleh Jama'ah, kecuali Imam at-Tirmidzi.
Boleh juga mengerjakan sholat dengan empat roka'at salam empat roka'at salam, baru kemudian tiga roka'at. Ini berdasarkan hadits 'Aisyah ro-dhiyaLLOOHU 'anhuma bahwa ia berkata:
"Nabi shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam mengerjakan sholat empat roka'at (9), dan tidak perlu engkau tanyakan bagaimana baik dan panjang sholat Beliau. Kemudian Beliau shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam mengerjakan sholat kembali empat roka'at, dan tidak perlu engkau tanyakan bagaimana baik dan panjang sholat Beliau, dan baru kemudian Beliau shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam mengerjakannya tiga roka'at."
(Muttafaq 'alaih; Hadits Riwayat Imam al-Bukhori dan Imam Muslim)
Menyambungkan roka'at mulai dari lima, tujuh dan sembilan secara langsung itu hanya Beliau shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam lakukan ketika mengerjakan sholat sendirian atau dengan jama'ah yang terbatas yang memang memilih untuk mengerjakan sholat yang demikian. Adapun dalam masjid-masjid yang bersifat umum, yang lebih utama bagi imam adalah agar mengucapkan salam setiap dua roka'at agar tidak memberatkan jama'ah yang ada dan mengganggu niat mereka, juga karena yang demikian itu lebih mudah dan ringan bagi mereka. Nabi shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam bersabda:
"Siapa saja di antara kalian yang menjadi imam dalam sholat berjama'ah dengan orang banyak, maka hendaklah ia meringkas. Karena di belakangnya terdapat makmum yang sudah cukup tua, orang yang lemah, dan orang yang punya kepentingan."
Dalam lafal yang lain disebutkan:
"Jika ia mengerjakan sholat sendirian, maka silakan saja ia mengerjakan sholat sekehendaknya."
Tidak ada riwayat bahwa Beliau shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam mengerjakan sholat witir bersama para Shohabat dengan cara seperti yang disebutkan dalam riwayat-riwayat di atas. Bentuk-bentuk seperti itu hanya Beliau shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam lakukan dalam sholat sendirian (munfarid).
Sholat malam di bulan Romadhon mempunyai keutamaan dan keistimewaan tersendiri daripada selain di bulan Romadhon. Nabi shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam bersabda:
"Siapa yang mengerjakan sholat malam pada bulan Romadhon karena iman dan 'hitung-hitungan' (berharap pahala dari ALLOH) maka ia diberi ampunan atas dosa yang telah lalu."
(Muttafaq 'alaih; Hadits Riwayat Imam al-Bukhori dan Imam Muslim)
Yang dimaksud dengan iman di sini adalah iman kepada ALLOH dan percaya akan pahala yang disediakan oleh-NYA bagi orang-orang yang mau mengerjakan sholat malam. Sedangkan maksud dari 'hitung-hitungan' adalah mencari pahala dari ALLOH Sub-haanahu wa Ta'aala tanpa dibarengi dengan sifat riya' dan sum'ah serta tidak dalam rangka mencari harta maupun pangkat.
Yang dimaksud dengan qiyam Romadhon (sholat malam bulan Romadhon) itu meliputi sholat pada awal dan akhir malam bulan Romadhon. Dengan demikian, sholat tarowih termasuk bagian dari qiyam Romadhon. Maka seyogyanya kita bersemangat untuk mengerjakan, memperhatikan serta berharap mendapatkan pahala dari ALLOH Sub-haanahu wa Ta'aala atas 'ibadah sholat malam di bulan Romadhon ini. Malam-malam itu jumlahnya terbatas, sehingga orang beriman yang berakal harus pandai-pandai memanfaatkannya sebelum hilang kesempatannya. Sholat itu dinamakan tarowih karena orang-orang biasanya mengerjakan sholat ini dengan panjang. Setiap kali mereka selesai mengerjakan empat roka'at, mereka pun istirahat sebentar.
Nabi shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam yang pertama kali mengerjakan sholat tarowih di masjid dengan berjama'ah, namun kemudian Beliau shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam meninggalkannya karena khawatir bila hal itu dianggap wajib atas ummatnya. Dalam Shohihain (Shohiih al-Bukhori dan Shohiih Muslim) disebutkan riwayat hadits dari 'Aisyah ro-dhiyaLLOOHU 'anhuma bahwa Nabi shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam pernah mengerjakan sholat di dalam masjid pada suatu malam, lalu orang-orang mengikuti sholat Beliau. Pada malam berikutnya, Beliau shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam juga mengerjakan sholat lagi di masjid, dan orang-orang pun semakin banyak yang turut sholat menyertai Beliau. Pada malam ketiga atau keempat, orang-orang pun berkumpul, namun ternyata Rosululloh shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam tidak keluar untuk sholat bersama mereka. Keesokan harinya Beliau shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam bersabda, "Aku sebenarnya tahu tentang apa yang kalian semua lakukan. Namun aku memang sengaja tidak keluar untuk mengerjakan sholat bersama kalian karena aku khawatir bila hal itu dianggap sebagai suatu kewajiban atas kalian."
Peristiwa itu terjadi pada bulan Romadhon.
Diriwayatkan dari Abu Dzar ro-dhiyaLLOOHU 'anhu bahwa ia berkata:
"Kami berpuasa bersama Nabi shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam dan Beliau tidak mengerjakan sholat malam bersama kami sehingga tinggal tersisa tujuh hari dari bulan Romadhon. Pada sisa hari ketujuh ini Beliau shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam mengerjakan sholat malam bersama kami hingga usai sepertiga malam. Kemudian pada sisa hari keenam, Beliau shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam tidak mengerjakan sholat malam bersama kami, namun kemudian pada sisa malam yang kelima Beliau shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam mengerjakannya lagi bersama kami sampai usai separuh malam. Kami tanyakan kepada Nabi shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam, 'Ya Rosululloh, alangkah senangnya kami bila pada malam-malam Romadhon yang masih tersisa engkau sudi mengerjakan sholat kembali bersama kami.' Beliau shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam bersabda, 'Sesungguhnya seseorang yang telah mengerjakan sholat bersama imam sehingga imam itu pergi, maka dituliskan baginya (pahala) sholat semalam suntuk."
(Diriwayatkan oleh para penulis kitab as-Sunan dengan sanad shohih)
Para Salafush Shalih berbeda pendapat mengenai jumlah raka'at shalat tarawih dan witir yang menyertainya. Ada pendapat yang mengatakan empat puluh satu raka'at; ada yang mengatakan tiga puluh sembilan raka'at; ada yang mengatakan dua puluh sembilan raka'at; ada yang mengatakan dua puluh tiga raka'at; ada yang mengatakan sembilan belas raka'at; ada yang mengatakan tiga belas raka'at; ada yang mengatakan sebelas raka'at, dan sebagainya. Akan tetapi pendapat yang terkuat adalah sebelas atau tiga belas raka'at. Sebab, dalam kitab Shahihain (Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim) disebutkan riwayat dari 'Aisyah radhiyallaahu 'anhuma bahwa ia pernah ditanya bagaimana shalat malam yang dikerjakan oleh Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam di malam Ramadhan. 'Aisyah menjawab:
"Baik di bulan Ramadhan maupun selain Ramadhan, beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam tidak pernah (mengerjakan shalat malam) melebihi sebelas raka'at."
Sedangkan dalam riwayat Ibnu 'Abbas radhiyallaahu 'anhuma disebutkan bahwa ia berkata:
"Shalat malam yang dikerjakan oleh Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam adalah tiga belas raka'at."
(Hadits Riwayat Imam al-Bukhari)
Dalam kitab al-Muwaththa' disebutkan riwayat dari Sa'ib bin Yazid radhiyallaahu 'anhu bahwa ia berkata: "Umar bin al-Khaththab radhiyallaahu 'anhu memerintahkan 'Ubay bin Ka'b dan Tamin ad-Dari agar mengimami shalat (malam) dengan sebelas raka'at." (10)
Para Salafush Shalih biasa memanjangkan shalat malam. Dalam hadits Sa'ib bin Yazid radhiyallaahu 'anhu bahwa ia berkata: "Imam shalat biasanya membaca surat hingga ratusan ayat, sehingga kami sampai bersandar pada tongkat disebabkan lamanya berdiri."
Ini berbeda sekali dengan yang banyak dilakukan oleh orang-orang di zaman sekarang, yang justru mengerjakan shalat malam ini dengan cepat sekali. Mereka tidak melakukannya dengan tenang dan thuma'ninah yang merupakan bagian dari rukun shalat, dimana shalat tidak akan sah tanpa thuma'ninah. Mereka membuang rukun ini dan membuat para makmum yang ada di belakangnya yang terdiri dari kaum lemah, orang-orang sakit dan orang-orang tua menjadi letih. Mereka berbuat salah terhadap dirinya dan juga terhadap orang lain. Para 'ulama menyebutkan bahwa dimakruhkan bagi imam mempercepat shalat yang bisa menghalangi para makmum untuk melakukan apa yang disunnahkan. Lalu bagaimana halnya dengan kecepatan yang menghalangi mereka untuk melakukan sesuatu yang wajib (thuma'ninah)? Kita mohon keselamatan kepada Allah.
Jangan sampai seseorang ketinggalan shalat tarawih agar bisa meraih pahalanya, dan juga jangan sampai meninggalkan tempat sehingga imam selesia dari mengerjakan shalat malam ini dan selesai witir, agar memperoleh pahala shalat malam secara sempurna. Kaum wanita juga boleh menghadiri shalat tarawih di masjid jika aman dari fitnah terhadap diri mereka sendiri dan dari fitnah yang bisa ditimbulkan oleh mereka. Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:
"Janganlah kalian menghalangi hamba-hamba perempuan Allah untuk datang ke masjid-masjid Allah." (11)
Di samping itu, ini juga merupakan 'amalan yang dahulu dilakukan oleh kaum Salaf. Akan tetapi, mereka harus benar-benar mengenakan hijab, tidak bertabarruj, tidak mengenakan wangi-wangian, tidak mengangkat suara, dan juga tidak menampakkan perhiasan. Allah berfirman: "Jangan mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang sudah biasa tampak darinya." (Qur-an Surat an-Nur (24): ayat 31)
Maksudnya, yang biasa tampak dan tidak mungkin disembunyikan yaitu jilbab dan aba'ah (pakaian luar wanita) dan semisalnya. Karena Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam ketika menyuruh kaum wanita untuk keluar menuju shalat pada hari raya 'Idul Fithri, maka Ummu 'Athiyah radhiyallaahu 'anha berkata: "Ya Rasulullah, sesungguhnya salah seorang di antara kami tidak mempunyai jilbab." Beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam pun bersabda: "Hendaklah saudara perempuannya meminjamkan jilbabnya kepadanya." (Mutafaq 'alaih)
Sunnahnya bagi kaum wanita adalah mengakhirkan diri dari kaum lelaki serta menjauh dari mereka, kemudian menyusun barisan dari tempat yang paling belakang, baru kemudian depannya dan depannya lagi. Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:
"Sebaik-baik barisan (shaf) kaum lelaki adalah yang pertama dan yang paling buruk adalah yang terakhir. Sedangkan, sebaik-baik barisan kaum wanita adalah yang terakhir (paling belakang), sedangkan yang paling buruk adalah yang pertama."
(Hadits Riwayat Imam Muslim)
Mereka hendaknya langsung bubar meninggalkan masjid setelah imam selesai salam, dan jangan sampai mengulur-ulur waktu, kecuali karena ada udzur. Ini berdasarkan hadits Ummu Salamah radhiyallaahu 'anha bahwa ia berkata:
"Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam jika mengucapkan salam, maka kaum wanita langsung berdiri ketika beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam selesai mengucapkan salam. Sedangkan beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam tetap tinggal di tempatnya barang sejenak sebelum bangkit."
Ummu Salamah selanjutnya berkata: "Kami memandang -wallaahu a'lam- bahwa hal itu beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam maksudkan agar kaum wanita langsung meninggalkan tempat sebelum kaum pria menyusul mereka."
(Hadits Riwayat Imam al-Bukhari)
Ya Allah, berilah kami petunjuk sebagaimana yang telah Engkau berikan kepada para pendahulu kami yang shalih. Berikan petunjuk pula kepada seluruh kaum Muslimin dengan segala rahmat-Mu, wahai Dzat sebaik-baik pemberi rahmat. Shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada Nabi Muhammad, dan juga kepada keluarga dan para Shahabat seluruhnya.
===
(8) Secara harfiyah berarti 'sholat ganjil'.
(9) Kemungkinan yang dimaksudkan adalah empat roka'at sekali salam. Ini adalah lahiriyah dari lafal hadits ini. Tapi bisa juga yang dimaksud adalah dengan mengucapkan salam pada setiap dua roka'at, akan tetapi jika sholat empat roka'at maka Beliau shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam menyelingi dan kemudian sholat empat roka'at lagi. Ini jadinya sejalan dengan sabda Nabi shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam: "Sholat malam itu dua-dua." (Maksudnya, dua roka'at salam, dua roka'at salam -pent). Juga berdasarkan hadits 'Aisyah ro-dhiyaLLOOHU 'anhuma yang disebutkan sebelumnya yang menjelaskan bahwa Beliau shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam mengucapkan salam setiap dua roka'at.
(10) Diriwayatkan oleh Imam Malik dalam kitab al-Muwaththa' dengan sanad yang paling shahih.
(11) Mutafaq 'alaih.
===
Maroji':
Kitab: Majaalisu Syahru Romadhoon, Penulis: Syaikh Muhammad bin Sholih al-'Utsaimin, Penerbit: Daruts Tsuroyya lin Nasyr - Riyadh, Cetakan I, 1422 H/ 2002 M, Judul terjemahan: Kajian Romadhon, Penerjemah: Salafuddin Abu Sayyid, Penerbit: al-Qowam - Solo, Cetakan V, 2012 M.
===
Sent from my BlackBerry®
powered by Sinyal Kuat INDOSAT