Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin rahimahullaah.
Berkurban Cara Nabi (shallallaahu 'alaihi wa sallam).
Pasal kedua.
Syarat-syarat 'Udhhiyah (Berkurban).
1. Hewan kurban harus binatang ternak, yang terdiri dari unta, sapi dan kambing, baik domba maupun kambing kacang. Dalilnya adalah firman Allah 'Azza wa Jalla:
"Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syari'atkan penyembelihan (kurban), supaya menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah direzekikan oleh Allah kepada mereka." (QS. Al-Hajj [22]: 34)
Maksud bahimatul an'am (binatang ternak) pada ayat di atas ialah unta, sapi dan kambing. Inilah yang dikenal di kalangan bangsa Arab sebagaimana yang dituturkan oleh al-Hasan, Qatadah, dan Imam lainnya yang lebih dari satu orang.
2. Telah mencapai usia yang telah ditetapkan oleh syara', yaitu jadza'ah dari kambing domba (biri-biri) atau tsaniyah jika selainnya. Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam pernah berpesan sebagai berikut:
"Janganlah kamu menyembelih hewan untuk kurban selain musinnah, kecuali jika sulit mendapatkannya. Maka sembelihlah jadza'ah dari kambing domba." (Diriwayatkan oleh Muslim)
Musinnah ialah minimal tsaniyah untuk selain kambing domba, minimal jadza'ah untuk kambing domba. Tsaniyah untuk unta ialah unta yang genap berusia lima tahun, untuk sapi genap berumur dua tahun, dan untuk kambing tepat berusia satu tahun. Adapun jadza'ah ialah yang sudah berusia setengah tahun (enam bulan). Maka 'udhhiyah (berkurban) tidak sah dengan unta, sapi, atau kambing kacang di bawah tsaniyah, juga tidak sah dengan kambing domba atau biri-biri di bawah jadza'ah.
3. Hewan kurban tidak memiliki cacat yang menghalangi keabsahannya, yaitu ada empat macam:
a. Picek (buta sebelah) yang jelas piceknya, dimana salah satu matanya tenggelam atau buta, atau menonjol seperti kancing atau terkena warna putih (lamur) yang menunjukkan kebutaannya secara jelas.
b. Sakit dengan jelas, dimana sakit yang dideritanya begitu tampak, seperti demam yang menjadikannya tidak mau makan, atau kurap/ kudis yang kelihatan jelas mempengaruhi daging atau kesehatannya, juga luka parah yang mempengaruhi kesehatannya, dan sejenisnya.
c. Pincang dengan jelas sehingga menjadikannya tidak dapat berjalan dengan normal.
d. Kurus yang menghilangkan otak (sumsum). Semuanya ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam saat beliau ditanya tentang hewan yang tidak boleh dijadikan kurban. Beliau mengisyaratkannya dengan tangannya seraya bersabda:
"Empat jenis hewan: yang pincang dengan jelas pincangnya, yang buta sebelah dengan jelas butanya, yang mengidap penyakit dengan jelas sakitnya, dan yang kurus yang tidak bersumsum." (Diriwayatkan oleh Malik dalam al-Muwaththa' dari Bara' bin 'Azib radhiyallaahu 'anhu)
Dalam sebuah riwayat dalam as-Sunan dari Bara' bin 'Azib disebutkan, ia bercerita: "Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam pernah berdiri di tengah-tengah kami lalu bertutur: 'Empat jenis hewan yang tidak boleh untuk kurban...'" Lalu beliau menyebutkan cacat-cacat di atas. Empat jenis cacat ini menghalangi keabsahan 'udhhiyah, termasuk juga cacat lain yang semisal dengannya atau yang lebih parah darinya. Maka tidaklah sah 'udhhiyah dengan binatang ternak berikut:
a. Yang buta yang tidak dapat melihat.
b. Yang tidak sehat pencernaan makanannya hingga ia dapat mengeluarkan kotoran secara normal dan tidak dikhawatirkan lagi kesehatannya.
c. Yang dilahirkan dengan susah payah sampai hilang kekhawatiran terhadapnya.
d. Yang terkena musibah yang dapat mematikan, seperti tercekik atau jatuh dari atas sampai ia tidak diragukan lagi kesehatannya.
e. Yang sangat tua dimana dia tidak dapat jalan karenanya.
f. Yang salah satu kakinya putus atau potong.
Jika cacat-cacat ini digabung dengan empat jenis cacat di atas, maka hewan yang tidak boleh dijadikan kurban menjadi sepuluh jenis.
4. Hewan yang dijadikan kurban adalah milik si pengurban (bukan milik orang lain) atau mendapat izin syar'i dari pemilik hewan. Dengan demikian, 'udhhiyah tidak sah dengan hewan yang bukan milik si pengurban seperti hasil mencuri, atau memilikinya dengan dakwaan yang tidak diakui oleh syari'ah, karena mendekatkan diri kepada Allah (ibadah) itu tidak sah dengan cara bermaksiat. Juga sah kurbannya wali (yang menanggung dan mengurus) anak yatim dengan harta yatim jika telah menjadi tradisi, dimana si yatim akan sedih kalau tidak berkurban. Dan sah pula kurbannya seseorang dengan harta orang yang mewakilkannya, jika yang mewakilkan tersebut memberi izin kepadanya.
5. Tidak ada hak orang lain pada hewan kurban. Maka tidak sah 'udhhiyah dengan hewan yang menjadi gadaian. (4)
6. Menyembelihnya pada waktu yang telah ditentukan oleh syara', yaitu setelah pelaksanaan shalat hari raya kurban ('Idul Adhha) sampai terbenamnya matahari hari Tasyriq terakhir tanggal 13 Dzulhijjah. Dengan demikian, masa penyembelihan hewan kurban adalah empat hari, yaitu hari 'Idul Adhha dan tiga hari setelahnya. Orang yang menyembelih hewan kurban sebelum selesai shalat 'Id atau sesudah terbenam matahari hari Tasyriq terakhir, tidaklah sah. Dasarnya adalah hadits dari Bara' bin 'Azib radhiyallaahu 'anhu bahwa Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Barangsiapa yang menyembelih hewan kurban sebelum shalat, berarti ia hanya menghadiahkan dagingnya kepada keluarganya dan tidak tergolong ibadah kurban sedikit pun." (Diriwayatkan oleh Bukhari)
Jundub bin Sufyan al-Bajali radhiyallaahu 'anhu juga bertutur: Saya telah menyaksikan Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam menyampaikan pernyataan berikut:
"Barangsiapa yang menyembelih hewan kurban sebelum shalat ('Id), hendaklah ia menggantinya dengan yang lain."
Sementara Nubaisyah al-Hudzali radhiyallaahu 'anhu bertutur bahwa Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Hari-hari Tasyriq adalah hari makan dan minum serta dzikir kepada Allah Ta'ala." (Diriwayatkan oleh Muslim)
Tetapi jika terjadi sesuatu tanpa sengaja yang menjadikan penyembelihan dilakukan setelah lewatnya hari Tasyriq ketiga (terakhir), misalnya hewan kurban yang akan disembelih lari atau hilang, dan ia tidak ditemukan kecuali setelah habisnya hari Tasyriq, atau orang yang diwakili untuk menyembelihnya lupa dan ia ingat setelah berlalunya hari Tasyriq, maka penyembelihan itu sah. Alasannya, karena udzur dan karena diqiyas kepada orang yang ketiduran atau lupa shalat pada waktunya. Ia boleh shalat kapan saja ketika ia ingat atau terjaga.
Menyembelih pada waktu malam pun boleh, namun yang afdhal adalah siang hari. Menyembelih hewan kurban setelah selesai acara shalat 'Id adalah waktu terbaik. Dan setiap hari Tasyriq adalah lebih baik dari hari Tasyriq setelahnya, karena cara tersebut berarti mempercepat berbuat kebajikan. (5)
Baca selanjutnya:
Kembali ke Daftar Isi Buku ini.
Kembali ke Daftar Buku Perpustakaan ini.
===
(4) Syarat-syarat ini merupakan syarat yang berlaku untuk 'udhhiyah dan setiap sembelihan yang disyari'atkan, seperti binatang hadyu untuk Haji Tamattu', Qiran dan 'aqiqah.
(5) Lihat kitab aslinya hlm 20-23.
===
Maraji'/ Sumber:
Kitab: Talkhishu Kitabi Ahkamil 'Udhhiyah wadz Dzakat, Penulis: Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin rahimahullaah, Penerbit: Darul Muslim, Tanpa Keterangan Cetakan, Tanpa Keterangan Tahun, Judul Terjemahan: Berqurban Cara Nabi (shallallaahu 'alaihi wa sallam), Penerjemah: Nabhani Idris Lc, penyunting: Makmun Nawawi, Penerbit: Robbani Press, Jakarta - Indonesia, Cetakan Pertama, Syawwal 1425 H/ Desember 2004 M.
===
Disalin pertama kali pada hari Selasa sampai dengan hari Sabtu tanggal 2 - 6 September 2014 dan direvisi pada hari ini.
===
Abu Sahla Ary Ambary bin Ahmad Awamy bin Muhammad Noor al-Bantani
Sent from my BlackBerry®
powered by Sinyal Kuat INDOSAT