Skip to main content

Menyembelih Hewan Kurban dan Syarat-syaratnya (2) | Berkurban Cara Nabi

Talkhishu Kitabi Ahkamil 'Udhhiyah wadz Dzakat.

Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin rahimahullaah.

Berkurban Cara Nabi (shallallaahu 'alaihi wa sallam).

Pasal Kedelapan.

Menyembelih Hewan Kurban dan Syarat-syaratnya (2).

6. Menyebut nama Allah ketika menyembelih, misalnya bismillah. Dalilnya adalah firman Allah berikut:

"Maka makanlah binatang-binatang (yang halal) yang disebut nama Allah ketika menyembelihnya, jika kamu beriman kepada ayat-ayat-Nya." (QS. Al-An'am [6]: 118)

Juga sabda Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam:

"Binatang yang mengalirkan darah (karena disembelih) dengan menyebut nama Allah atasnya, maka makanlah." (Diriwayatkan oleh Bukhari dan lainnya)

Kalau dalam menyembelih tidak menyebut nama Allah, maka tidak halal, karena Allah Ta'ala berfirman:

"Dan janganlah kamu memakan dari apa yang tidak disebut nama Allah atasnya." (QS. Al-An'am [6]: 121)

Tidak ada perbedaan antara tidak menyebut nama Allah karena sengaja padahal ia tahu hukumnya, karena lupa, atau karena tidak tahu lantaran ayatnya bersifat umum (13) atau lantaran Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam telah menjadikan penyebutan nama Allah sebagai syarat bagi kehalalannya, dan syarat itu tidaklah gugur karena lupa atau karena bodoh (tidak tahu). Binatang juga menjadi tidak halal, jika nyawanya dilenyapkan bukan melalui penyembelihan lantaran lupa atau bodoh. Maka menyembelih tanpa menyebut nama Allah karena lupa, juga tidak halal. Karena perkataan tentang keduanya adalah satu dan dari satu pengucap pula, maka hukumnya pun satu.

Jika orang yang menyembelih bisu sehingga tidak dapat menyebut nama Allah, maka cukup hanya dengan bahasa isyarat. Hal ini didasarkan pada ayat:

"Maka bertakwalah kamu sesuai kemampuan."

7. Penyembelihan harus menggunakan benda tajam yang dapat mengalirkan darah, baik berupa besi, batu, kaca atau sejenisnya. Karena ada hadits yang menyebutkan bahwa Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Sesuatu yang dapat mengalirkan darah disertai dengan penyebutan nama Allah atasnya, maka makanlah, selama benda yang digunakan bukan gigi atau kuku. Aku akan sampaikan kepadamu bahwa gigi itu adalah tulang, sedang kuku ialah pisaunya orang Habasyah." (Diriwayatkan oleh Jama'ah)

Sementara redaksi dalam riwayat Bukhari tentang penyembelihan tidak menggunakan gigi dan kuku adalah berikut:

"Gigi itu tergolong tulang, dan kuku ialah pisaunya orang Habasyah (Etiopia)." (14)

Dalam Shahih Bukhari - Muslim diriwayatkan bahwa seorang pelayan wanita Ka'ab bin Malik radhiyallaahu 'anhu menggembalakan kambing Ka'ab. Kemudian ia melihat seekor darinya akan mati, maka ia segera memecahkan batu, lalu menyembelihnya dengannya. Setelah para sahabat memberitahukan hal itu kepada Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam, maka beliau pun menyuruh mereka untuk memakannya."

Jika menghilangkan nyawanya bukan dengan benda tajam yang biasa mematikan, maka tidak halal. Misalnya mencekiknya atau menyetrumnya dengan listrik dan sejenisnya sampai mati. Bila seseorang melakukan hal itu hanya untuk menghilangkan indra perasanya saja sedang nyawanya masih ada, lalu ia menyembelihnya sesuai syara', maka halal hukumnya. Hal ini berlandaskan pada firman Allah dalam Surah al-Ma'idah ayat 3 di atas. Dan untuk mengetahui apakah unsur kehidupan (nyawa) masih ada atau tidak, maka hal itu bisa ditandai dari dua hal, yaitu bergerak dan darah merah memancar kuat darinya.

8. Mengalirnya darah karena penyembelihan, sesuai dengan ucapan Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam:

"Binatang yang mengalirkan darah (karena disembelih) dengan menyebut nama Allah atasnya, maka makanlah." (Diriwayatkan oleh Bukhari dan lainnya)

Jika binatang itu tidak dapat disembelih seperti jatuh ke sumur, atau melarikan diri dan sejenisnya, maka penyembelihan boleh dilakukan pada bagian mana saja dari badannya. Yang lebih baik adalah memilih bagian yang dapat menyegerakan kematiannya, karena hal itu akan lebih menyenangkan binatang bersangkutan dan lebih ringan ketersiksaannya. Jika binatang tersebut dapat disembelih dengan cara yang normal, maka penyembelihannya harus dengan cara yang normal, yaitu dari leher bagian bawah sampai kepada kedua tulang dagu, dimana sepasang urat lehernya yang besar yang mengitari tenggorokan diputus. Cara seperti ini dinilai sempurna bila tenggorokan (tempat aliran nafas) dan mari'-nya (tempat jalan makanan dan minuman) dipotong. Tujuannya adalah agar darah mengalir (lenyap). Kalau yang diputus hanya dua urat leher yang besar yang mengitari tenggorokan saja, maka penyembelihan sah. (15)

9. Yang menyembelih mendapat izin secara syar'i. Jika tidak mendapat izin, maka dapat dirinci sebagai berikut:

a. Yang haram karena haq Allah, seperti orang yang sedang ihram berburu binatang. Maka binatang sembelihannya tidak halal sekalipun disembelih. Hal ini dilandasi oleh ayat:

"Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (Yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang ihram (mengerjakan haji)." (QS. Al-Ma'idah [5]: 1)

Dan firman Allah:

"Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu, dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan, dan diharamkan atasmu (menangkap) binatang buruan darat selama kamu dalam ihram." (QS. Al-Ma'idah [5]: 96)

b. Yang haram karena hak makhluk, seperti binatang curian atau hasil menipu disembelih oleh pelakunya. Tentang kehalalannya terjadi persilangan pendapat di kalangan ulama. Lihatlah kedua pendapat ini berikut dalilnya dalam naskah asli buku ini halaman 82-85.

Baca selanjutnya:

Kembali ke Daftar Isi Buku ini.

Kembali ke Daftar Buku Perpustakaan ini.

===

(13) Lihat kitab asli, hlm. 62-70.

(14) Lihat kitab asli, hlm. 70-72.

(15) Lihat kitab asli, hlm. 72-79.

===

Maraji'/ Sumber:
Kitab: Talkhishu Kitabi Ahkamil 'Udhhiyah wadz Dzakat, Penulis: Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin rahimahullaah, Penerbit: Darul Muslim, Tanpa Keterangan Cetakan, Tanpa Keterangan Tahun, Judul Terjemahan: Berqurban Cara Nabi (shallallaahu 'alaihi wa sallam), Penerjemah: Nabhani Idris Lc, penyunting: Makmun Nawawi, Penerbit: Robbani Press, Jakarta - Indonesia, Cetakan Pertama, Syawwal 1425 H/ Desember 2004 M.

===

Abu Sahla Ary Ambary bin Ahmad Awamy bin Muhammad Noor al-Bantani
Sent from my BlackBerry®
powered by Sinyal Kuat INDOSAT

Popular posts from this blog