Skip to main content

Hal-hal yang dengannya 'Udhhiyah menjadi Sah dan Hukum-hukumnya (2) | Berkurban Cara Nabi

Talkhishu Kitabi Ahkamil 'Udhhiyah wadz Dzakat.

Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin rahimahullaah.

Berkurban Cara Nabi (shallallaahu 'alaihi wa sallam).

Pasal Kelima.

Hal-hal yang dengannya 'Udhhiyah menjadi Sah dan Hukum-hukumnya (2).

5. Jika hewan itu hilang atau dicuri orang, maka keadaannya ada dua:

a. Jika karena keteledorannya seperti ia menaruhnya di sembarang tempat sehingga ia lari atau dicuri, maka ia wajib menggantinya dengan yang sepertinya atau yang lebih baik darinya. Sementara hewan yang hilang (jika kembali) menjadi miliknya, dan ia bebas memanfaatkannya, menjualnya atau lainnya.

b. Jika bukan karena keteledorannya, maka ia tidak wajib mengganti kecuali jika hewan itu wajib dalam tanggungannya sebelum ditetapkan. Karena ia adalah amanah, sementara yang diberi amanah tidak wajib mengganti jika bukan karena kesalahannya. Tetapi jika ia mendapatkannya (menemukannya), maka wajib dijadikan kurban (disembelih) sekalipun setelah habis masa (hari-hari) penyembelihan. Demikian pula jika si pencuri menggantinya, maka wajib dijadikan kurban sesuai dengan sifat hewan yang dicuri tanpa dikurangi. Kalau hewan itu wajib dalam tanggungannya sebelum ditetapkan sebagai hewan kurban, maka wajib baginya menyembelih penggantinya sesuai dengan hewan yang diganti yang ada dalam tanggungannya itu. Jika ia mendapatkannya (menemukannya), maka yang didapatkannya itu menjadi milik ia, terserah akan ia apakan. Kalau penggantinya lebih jelek mutunya dari yang diganti, maka ia wajib bersedekah dengan 'ursy. (8)

6. Jika hewan kurban mati atau binasa, maka ia berada dalam tiga keadaan:

a. Kematiannya karena sesuatu yang bukan lahir dari perbuatan manusia seperti sakit atau kena musibah, maka yang bersangkutan tidak wajib mengganti, kecuali jika ia wajib dalam tanggungannya sebelum ditetapkan. Karena ia adalah amanah, sementara ia binasa karena sesuatu yang tidak mungkin dituntut untuk mengganti, maka ia tidak wajib menggantinya. Kalau ia wajib berada dalam tanggungannya sebelum ditetapkan sebagai hewan kurban, maka ia wajib menyembelih gantinya yang sesuai dengan yang diganti.

b. Kematiannya karena perbuatan si pemiliknya. Maka wajib baginya menyembelih gantinya yang sesuai dengan yang diganti tersebut atau yang lebih baik darinya, karena saat itu ia wajib mengganti.

c. Kebinasaannya karena perbuatan seseorang yang bukan pemiliknya. Jika orang itu tidak mungkin dituntut untuk menggantinya seperti para perampok, maka hukumnya sama dengan keadaan pertama (tidak wajib menggantinya). Jika orang itu bisa dituntut untuk menggantinya, seperti otang yang menyembelih atau membunuhnya, serta jelas dan diketahui, maka ia wajib menggantinya dengan yang sepertinya seraya menyerahkannya kepada si empunya agar disembelih sebagai kurban, kecuali jika si pemiliknya membebaskannya darinya atau menuntutnya dengan harganya sebagai pengganti.

7. Jika hewan itu disembelih sebelum waktu penyembelihan sekalipun niatnya adalah 'udhhiyah, maka hukumnya sama dengan di atas (hanya sedekah biasa). Bila disembelih pada waktu penyembelihan dan yang menyembelih adalah pemiliknya atau wakilnya, maka berarti penyembelihannya tersebut tepat pada waktunya. Sementara jika yang menyembelih bukan pemiliknya dan bukan wakilnya, maka ada tiga keadaan:

a. Ia niat atas nama pemiliknya. Jika pemiliknya rela, maka sah dan tidak ada masalah. Kalau pemiliknya tidak rela, maka tidak sah menurut pendapat yang shahih. Si penyembelih wajib menggantinya dengan yang sepertinya, seraya menyerahkannya kepada pemiliknya, kecuali jika pemiliknya membebaskannya dan ia mendatangkan penggantinya yang wajib. Sebagian pendapat menyebutkan bahwa penyembelihan itu sah sekalipun si pemiliknya tidak rela. Demikian pendapat yang masyhur dari madzhab Ahmad, Syafi'i, dan Abu Hanifah.

b. Ia niat untuk dirinya bukan untuk pemiliknya. Jika ia tahu bahwa hewan tersebut bukan miliknya maka tidaklah sah, baik untuk dirinya maupun untuk selain dia. Dan ia wajib menggantinya dengan yang sepertinya, kecuali jika si pemiliknya membebaskannya dan ia mendatangkan penggantinya yang hukumnya wajib. Pendapat yang lain mengatakan: penyembelihan tersebut sah untuk pemiliknya (bukan untuk dia), tetapi ia wajib mengganti daging yang telah dibagikan. Apabila ia tidak tahu bahwa hewan itu milik orang lain, maka sah untuk pemiliknya. Jika yang menyembelihnya telah membagi-bagikan dagingnya, maka ia wajib menggantinya dengan hewan semisal seraya menyerahkannya kepada pemilik hewan itu, kecuali kalau si pemiliknya itu rela terhadap pembagian daging tersebut.

c. Tidak diniatkan untuk seorang pun. Maka tidaklah sah untuk keduanya, baik si penyembelih maupun si pemilik, karena tidak adanya niat. Ada yang berpendapat: "Sah untuk pemiliknya." Jika sah untuk pemiliknya dalam keadaan yang telah disebutkan di atas, sementara daging yang didistribusikan masih ada, maka si pemiliknya hendaknya mengambilnya untuk ia bagi-bagikan seperti pembagian daging kurban. Jika si penyembelihnya telah mendistribusikan seperti pendistribusian daging kurban, dan si pemiliknya rela atau hal itu, maka yang menyembelih tidak wajib mengganti. Kalau tidak rela, maka ia wajib menggantinya agar dibagi-bagikan oleh si pemiliknya dengan pembagian daging kurban.

Baca selanjutnya:

Kembali ke Daftar Isi Buku ini.

Kembali ke Daftar Buku Perpustakaan ini.

===

(8) Lihat kitab aslinya hlm. 43-45.

===

Maraji'/ Sumber:
Kitab: Talkhishu Kitabi Ahkamil 'Udhhiyah wadz Dzakat, Penulis: Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin rahimahullaah, Penerbit: Darul Muslim, Tanpa Keterangan Cetakan, Tanpa Keterangan Tahun, Judul Terjemahan: Berqurban Cara Nabi (shallallaahu 'alaihi wa sallam), Penerjemah: Nabhani Idris Lc, penyunting: Makmun Nawawi, Penerbit: Robbani Press, Jakarta - Indonesia, Cetakan Pertama, Syawwal 1425 H/ Desember 2004 M.

===

Abu Sahla Ary Ambary bin Ahmad Awamy bin Muhammad Noor al-Bantani
Sent from my BlackBerry®
powered by Sinyal Kuat INDOSAT

Popular posts from this blog