Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin rahimahullaah.
Berkurban Cara Nabi (shallallaahu 'alaihi wa sallam).
Pasal Kelima.
Hal-hal yang dengannya 'Udhhiyah menjadi Sah dan Hukum-hukumnya.
'Udhhiyah sah dengan salah satu dari dua hal berikut:
1. Ucapan: "هَذِهِ أُضْحِيَّةٌ" (Ini adalah kurban) dengan menetapkannya untuk kurban saat itu. Jika ucapan itu diniatkan untuk tahun yang akan datang, maka tidaklah sah untuk kurban tahun itu, karena ucapannya dengan niatnya itu merupakan pemberitahuan tentang apa yang akan dikerjakannya nanti.
2. Adanya perbuatan berkenaan dengan kurban, yaitu:
a. Menyembelih binatang dengan niat 'udhhiyah. Jika seseorang melakukannya dengan niatnya itu, maka sahlah 'udhhiyah.
b. Membelinya dengan niat untuk kurban. Jika seseorang membeli hewan kurban sebagai pengganti dari yang telah ditetapkan, misalnya ia menetapkan suatu hewan untuk kurban lalu hilang. Kemudian ia beli lagi sebagai gantinya. Maka yang dibelinya itu adalah sah sebagai 'udhhiyah hanya dengan pembelian itu melalui niat tersebut (tanpa ditetapkan). Karena pengganti itu hukumnya sama dengan yang diganti. Kalau yang dibelinya itu tidak diniatkan sebagai pengganti, maka jika hanya membeli saja, tidaklah menjadi 'udhhiyah. Sama halnya dengan seseorang yang membeli hamba sahaya dengan tujuan untuk dimerdekakan, maka ia tidak menjadi merdeka hanya dengan dibeli saja. Atau membeli sesuatu untuk diwaqafkan, barang tersebut tidak menjadi waqaf hanya dengan semata-mata dibeli. Begitu juga halnya dengan membeli binatang ternak yang diniatkan sebagai 'udhhiyah, tidaklah menjadi 'udhhiyah hanya dengan semata-mata beli (tanpa diniatkan sebagai 'udhhiyah).
Jika 'udhhiyah telah ditetapkan, maka berlakulah baginya sejumlah hukum sebagai berikut: (7)
1. Tidak boleh diperlakukan dengan hal-hal yang menghalangi statusnya sebagai 'udhhiyah, misalnya dijual-belikan, dihibahkan, atau digadaikan kecuali diganti dengan yang lebih baik darinya demi kemaslahatan kurban dan bukan untuk kepentingan sendiri. Karena itu, jika seekor hewan telah ditetapkan untuk kurban, lalu karena satu dan lain hal ia keberatan terhadapnya sehingga ia menyesal dan menggantinya dengan yang lebih baik darinya tetapi karena kepentingan pribadi, maka hal itu tidaklah boleh, karena dengan perbuatannya itu berarti ia menarik kembali apa yang telah dikeluarkannya untuk Allah. Sementara tindakannya dengan menariknya kembali itu bukan untuk kemaslahatan 'udhhiyah, tetapi karena kepentingan pribadi.
2. Jika seseorang meninggal setelah menetapkan hewan kurban, maka ahli warisnya harurs melanjutkannya. Bila kematiannya sebelum menetapkan hewan kurbannya, maka hewan tersebut menjadi milik ahli waris, dan mereka mempunyai keleluasaan untuk berbuat terhadap binatang tersebut sesuai keinginan mereka.
3. Tidak boleh memanfaatkannya sedikit pun, misalnya dipakai untuk membajak tanah atau dinaiki, kecuali karena suatu kebutuhan yang tidak membahayakan atau tidak merusaknya. Juga tidak boleh memeras susunya yang akan mengurangi kegemukan atau kesehatannya -misalnya. Dan tidak boleh bulunya diambil sedikit pun, kecuali jika hal itu lebih mendatangkan banyak manfaat. Ketika itu boleh dilakukan, lalu bulunya disedekahkan atau dihadiahkan atau dimanfaatkan, namun tidak boleh dijual.
4. Jika hewan kurban memiliki cacat besar yang menjadikannya terhalang untuk menjadi hewan kurban, misalnya seseorang membeli seekor kambing, dan setelah ditetapkan sebagai hewan kurban, lalu didapati matanya buta sebelah dengan buta yang mencolok, maka terhadapnya ada dua keadaan:
a. Jika cacatnya karena perbuatan orang yang bersangkutan atau karena keteledoran, maka ia wajib menggantinya dengan yang sepertinya atau dengan yang lebih baik, karena dia yang menjadikannya cacat. Sementara hewan yang cacat tersebut adalah menjadi miliknya, yang bebas dia apakan saja. Demikian menurut pendapat yang shahih.
b. Jika cacatnya bukan karena perbuatan orang itu, maka ia menyembelihnya dan hal itu dianggap cukup, kecuali jika sejak sebelum hewan itu ditetapkan untuk korban, ia memang wajib untuk menanggungnya. Karena hewan tersebut merupakan amanah, sementara cacatnya bukan karena kesalahan orang itu, maka ia tidak wajib menggantinya. Jika sebelum hewan itu ditetapkan sebagai hewan kurban, orang itu memang wajib menanggungnya, maka wajib baginya menggantinya dengan yang normal. Misalnya seseorang berkata: "Karena Allah, saya bernadzar untuk berkurban tahun ini." Maka ia pun membeli hewan kurban, dan langsung ditetapkan sebagai hewan kurban nadzarnya itu. Kemudian hewan tersebut terkena cacat mencolok yang menyebabkannya tidak sah dijadikan sebagai kurban. Maka wajib baginya untuk menggantinya dengan hewan yang normal yang memenuhi syarat-syarat 'udhhiyah. Sedang hewan yang ditimpa cacat tersebut adalah miliknya. Jika mutunya lebih baik dari hewan pengganti, maka ia wajib bersedekah dengan 'ursy, yaitu selisih harga keduanya.
Baca selanjutnya:
Kembali ke Daftar Isi Buku ini.
Kembali ke Daftar Buku Perpustakaan ini.
===
(7) Hukum binatang hadyu di sini sama dengan hukum 'udhhiyah.
===
Maraji'/ Sumber:
Kitab: Talkhishu Kitabi Ahkamil 'Udhhiyah wadz Dzakat, Penulis: Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin rahimahullaah, Penerbit: Darul Muslim, Tanpa Keterangan Cetakan, Tanpa Keterangan Tahun, Judul Terjemahan: Berqurban Cara Nabi (shallallaahu 'alaihi wa sallam), Penerjemah: Nabhani Idris Lc, penyunting: Makmun Nawawi, Penerbit: Robbani Press, Jakarta - Indonesia, Cetakan Pertama, Syawwal 1425 H/ Desember 2004 M.
===
Abu Sahla Ary Ambary bin Ahmad Awamy bin Muhammad Noor al-Bantani
Sent from my BlackBerry®
powered by Sinyal Kuat INDOSAT