Skip to main content

Menyembelih Hewan Kurban dan Syarat-syaratnya | Berkurban Cara Nabi

Talkhishu Kitabi Ahkamil 'Udhhiyah wadz Dzakat.

Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin rahimahullaah.

Berkurban Cara Nabi (shallallaahu 'alaihi wa sallam).

Pasal Kedelapan.

Menyembelih Hewan Kurban dan Syarat-syaratnya.

Dzakat (menyembelih) ialah tindakan menyembelih (nahr), memotong (dzabh), atau melukai (jarh) binatang yang tidak halal dimakan, yang dengannya ia menjadi halal.

Untuk unta, penyembelihannya disebut nahr, yakni dengan cara ditikam pada bagian bawah lehernya, karena hal itu lebih mudah. Untuk binatang yang tidak dapat disembelih dengan cara biasa kecuali dengan cara dilukai (dirobek/ dibelah) dengan benda tajam, maka penyembelihan ini dinamakan jarh. Sedang penyembelihan binatang selainnya disebut dzabh.

Syarat-syarat penyembelihan:

1. Yang menyembelih harus berakal lagi mumayyiz. (11) Maka orang gila, mabuk, atau anak kecil yang belum tamyiz, atau orang yang sangat tua yang sifat tamyiz-nya telah hilang, tidak sah menyembelih.

2. Yang menyembelih harus Muslim atau kafir kitabi (Ahli Kitab). Kafir kitabi (Ahli Kitab) ialah orang yang dinisbatkan kepada agama yahudi atau nasrani. Sementara bagi sang Muslim, ia halal sembelihannya, baik laki-laki maupun perempuan, adil maupun fasik, suci maupun berhadats. Kafir kitabi halal sembelihannya, baik ayah-ibunya kitabi maupun tidak. Kaum Muslimin berijma' atas kehalalan sembelihan kafir kitabi berdasarkan firman Allah 'Azza wa Jalla berikut:

"Dan makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi al-Kitab (Ahli Kitab) adalah halal bagimu." (QS. Al-Ma'idah [5]: 5)

Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam juga pernah makan kambing hadiah dari seorang wanita yahudi dan pernah makan roti syair (gandum) dan sajian hangat yang dihidangkan oleh seorang yahudi. (12)

Sedang sembelihan orang kafir yang selain Ahli Kitab adalah tidak halal. Hal ini berdasarkan apa yang dipahami dari ayat:

"Dan makanan (sembelihan) Ahli Kitab adalah halal bagi kamu."

Kata-kata Alladzina utul kitab (orang yang diberi al-Kitab atau Ahli Kitab) pada ayat adalah isim maushul dan shilah-nya, yang kedudukannya sama dengan kata musytaq (pecahan) yang mengandung sifat maknawiyah. Artinya, hukum (halalnya makanan) ada karena keberadaan sifat tersebut, dan lenyap karena ketiadaan sifat itu. Imam Ahmad berkata: "Aku tidak mengetahui seorang pun yang memperselisihkannya kecuali pelaku bid'ah." Imam Khazin dalam Tafsirnya menyatakan bahwa ulama telah berijma' atas hal ini (haramnya sembelihan orang kafir selain Ahli Kitab). Dengan demikian, maka sembelihan orang-orang musyrik dan komunis tidak halal, baik kemusyrikannya melalui perbuatan -seperti menyembah patung, maupun dengan ucapan- seperti berdoa kepada selain Allah.

Orang yang meninggalkan shalat juga tidak halal sembelihannya, karena ia kafir menurut pendapat yang rajih, baik meninggalkannya karena meremehkan atau karena mengingkari kewajibannya. Orang yang mengingkari wajibnya shalat lima waktu sekalipun ia shalat, sembelihannya tidak halal, kecuali jika ia tidak mengetahui hal itu karena baru masuk Islam misalnya.

Kita tidak harus bertanya kepada si Muslim atau Ahli Kitab itu, apakah ia memotong sembelihannya dengan menyebut nama Allah atau tidak. Bahkan pertanyaan tersebut tidak layak disampaikan, karena hal itu merupakan sikap berlebihan dan menyulitkan dalam beragama. Padahal Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam sendiri pernah makan sembelihan orang yahudi dengan tanpa beliau bertanya lebih dahulu kepada mereka.

Dalam Shahih Bukhari dan lainnya diriwayatkan dari 'Aisyah radhiyallaahu 'anhuma bahwa satu kaum berkata kepada Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam: "Ada satu kaum mendatangi kami dengan membawa daging. Kami tidak tahu apakah mereka menyebut nama Allah saat menyembelihnya atau tidak." Maka Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam bertutur kepada mereka: "Bacalah nama Allah lalu makanlah." 'Aisyah radhiyallaahu 'anhuma berkata: "Mereka baru masuk Islam." Maka Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam menyuruh mereka untuk memakannya tanpa menanyakannya, padahal orang-orang yang datang itu bisa saja belum mengenal hukum Islam lantaran baru masuk Islam.

3. Menyengaja (niat) menyembelih, karena Allah berfirman: "Kecuali yang kamu sembelih." (QS. Al-Ma'idah [5]: 3). Tadzkiyah (penyembelihan) merupakan perbuatan khusus yang menghajatkan niat, karena jika tidak disertai niat menyembelih maka sembelihan itu tidak halal. Misalnya seseorang diserang seekor binatang, lalu ia menyembelihnya untuk membela diri.

4. Menyembelih untuk Allah. Jika untuk selain Allah, maka tidak halal. Contohnya, menyembelih binatang untuk dipersembahkan kepada berhala atau penghuni kuburan atau untuk raja dan sejenisnya. Dasarnya adalah firman Allah 'Azza wa Jalla:

"Telah diharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala..." (QS. Al-Ma'idah [5]: 3)

5. Tidak menyebut nama selain Allah saat menyembelih, seperti menyebut nama Nabi atau Jibril atau tuan anu. Jika menyebut nama selain Allah, maka sembelihan tersebut tidak halal sekalipun disertai dengan menyebut nama Allah. Karena firman Allah 'Azza wa Jalla dalam Surah al-Ma'idah ayat 3 di atas, yaitu: "(Daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah." Dalam hadits qudsi yang shahih, Allah Ta'ala juga berfirman:

"Barangsiapa yang melakukan suatu amalan dengan menyekutukan Aku bersama yang lain di dalamnya, maka Aku membiarkan dia dengan penyekutuannya itu."

Baca selanjutnya:

Kembali ke Daftar Isi Buku ini.

Kembali ke Daftar Buku Perpustakaan ini.

===

(11) Orang yang sudah dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, yang salah dan yang benar, yang mudharat dan yang bermanfaat -peny.

(12) Lihat kitab aslinya, hlm. 56-59.

===

Maraji'/ Sumber:
Kitab: Talkhishu Kitabi Ahkamil 'Udhhiyah wadz Dzakat, Penulis: Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin rahimahullaah, Penerbit: Darul Muslim, Tanpa Keterangan Cetakan, Tanpa Keterangan Tahun, Judul Terjemahan: Berqurban Cara Nabi (shallallaahu 'alaihi wa sallam), Penerjemah: Nabhani Idris Lc, penyunting: Makmun Nawawi, Penerbit: Robbani Press, Jakarta - Indonesia, Cetakan Pertama, Syawwal 1425 H/ Desember 2004 M.

===

Abu Sahla Ary Ambary bin Ahmad Awamy bin Muhammad Noor al-Bantani
Sent from my BlackBerry®
powered by Sinyal Kuat INDOSAT