Dalil 'aqli (akal) yang benar akan sesuai dengan dalil naqli/ nash yang shahih | Penjelasan Kaidah-kaidah Dalam Mengambil dan Menggunakan Dalil | Syarah 'Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah
Ustadz Yazid bin 'Abdul Qadir Jawas hafizhahullah.
Bab III.
Penjelasan Kaidah-kaidah Dalam Mengambil dan Menggunakan Dalil.
Penjelasan Kaidah Keenam.
"Dalil 'aqli (akal) yang benar akan sesuai dengan dalil naqli/ nash yang shahih."
Kata 'aql dalam bahasa Arab mempunyai beberapa arti (75), di antaranya: Adh-diyah (denda), al-hikmah (kebijakan), husnut ta-sharruf (tindakan yang baik atau tepat). Secara terminologi, 'aql (selanjutnya ditulis akal) digunakan untuk dua pengertian:
1. Aksioma-aksioma rasional dan pengetahuan-pengetahuan dasar yang ada pada setiap manusia.
2. Kesiapan bawaan yang bersifat instinktif dan kemampuan yang matang.
Akal merupakan 'ardh atau bagian dari indera yang ada dalam diri manusia yang bisa ada dan bisa hilang. Sifat ini dijelaskan oleh Rasulullah 'alaihish shalaatu was salaam dalam salah satu sabdanya:
"...dan termasuk orang gila sampai ia kembali berakal." (76)
Akal adalah insting yang diciptakan Allah Sub-haanahu wa Ta'aala kemudian diberi muatan tertentu berupa kesiapan dan kemampuan yang dapat melahirkan sejumlah aktivitas pemikiran yang berguna bagi kehidupan manusia yang telah dimuliakan Allah 'Azza wa Jalla.
Firman-Nya:
"Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkat mereka di daratan dan di lautan." (QS. Al-Israa': 70)
Syari'at Islam memberikan nilai dan urgensi yang amat tinggi terhadap akal manusia. Dan itu dapat dilihat pada beberapa point berikut:
Pertama (77), Allah hanya menyampaikan kalam-Nya kepada orang yang berakal, karena hanya mereka yang dapat memahami agama dan syari'at-Nya.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
"...dan merupakan peringatan bagi orang-orang yang mempunyai akal." (QS. Shaad: 43)
Kedua, (78) akal merupakan syarat yang harus ada dalam diri manusia untuk dapat menerima taklif (beban kewajiban) dari Allah 'Azza wa Jalla. Hukum-hukum syari'at tidak berlaku bagi mereka yang tidak menerima taklif. Dan di antara yang tidak menerima taklif itu adalah orang gila karena kehilangan akalnya.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Pena (catatan pahala dan dosa) diangkat (dibebaskan) dari tiga golongan: Orang yang tidur sampai bangun, anak kecil sampai bermimpi, orang gila sampai ia kembali sadar (berakal)." (79)
Ketiga, (80) Allah 'Azza wa Jalla mencela orang yang tidak menggunakan akalnya. Misalnya celaan Allah terhadap ahli Neraka yang tidak menggunakan akalnya.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
"Dan mereka berkata: 'Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu) niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni Neraka yang menyala-nyala." (QS. Al-Mulk: 10)
Keempat: (81) penyebutan begitu banyak proses dan anjuran berpikir dalam al-Qur-an, seperti tadabbur, tafakkur, ta-aqqul dan lainnya. Maka kalimat seperti "la'allakum ttafakkaruun" (mudah-mudahan kamu berpikir), atau "afalaa ta'qiluun" (apakah kamu tidak berakal?), atau "afalaa yatadabbaruunal Qur-aan" (apakah mereka tidak mentadabburi/ merenungi isi kandungan al-Qur-an?) dan lainnya.
Kelima, Islam mencela taqlid yang membatasi dan melumpuhkan fungsi dan kerja akal.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
"Dan apabila dikatakan kepada mereka: 'Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah.' Mereka menjawab, 'Tidak! Tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami.' (Apakah mereka akan mengikutinya juga) walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapatkan petunjuk!" (QS. Al-Baqarah: 170)
Perbedaan antara taqlid dan ittiba' adalah sebagaimana telah dikatakan oleh Imam Ahmad bin Hanbal, "Ittiba' adalah seseorang mengikuti apa-apa yang datang dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam." (82)
Ibnu 'Abdil Barr (wafat th. 463 H) dalam kitabnya, Jaami'ul Bayanil 'Ilmi wa Fadhlihi (83) menerangkan perbedaan antara ittiba' (mengikuti) dan taqlid yaitu terletak pada adanya dalil-dalil qath'i yang jelas. Bahwa ittiba' yaitu penerimaan riwayat berdasarkan diterimanya hujjah sedangkan taqlid adalah penerimaan yang berdasarkan pemikiran logika semata.
Berkata Ibnu Khuwaiz Mindad al-Maliki (namanya adalah Muhammad bin Ahmad bin 'Abdillah, wafat th. 390 H): "Makna taqlid secara syar'i adalah merujuk kepada perkataan yang tidak ada hujjah/ dalil atas orang yang mengatakannya. Dan makna ittiba' yaitu mengikuti apa-apa yang berdasarkan atas hujjah/ dalil yang tetap. Ittiba' diperkenankan dalam agama, namun taqlid dilarang." (84)
Jadi definisi taqlid adalah menerima pendapat orang lain tanpa dilandasi dalil. (85)
===
(75) Lihat al-Madkhal li Diraasatil 'Aqiidatil Islamiyyah 'ala Madzhab Ahlis Sunnah wal Jama'ah (hal. 40).
(76) HR. Abu Dawud (no. 4403), Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 3703), dan Irwaa-ul Ghaliil (II/5-6).
(77) Lihat al-Madkhal li Diraasatil 'Aqiidatil Islamiyyah 'ala Madzhab Ahlis Sunnah wal Jama'ah (hal. 40).
(78) Ibid, hal. 40.
(79) HR. Abu Dawud (no. 4403), Shahiih Sunan Abi Dawud (III/832 no. 3703).
(80) Lihat al-Madkhal li Diraasatil 'Aqiidatil Islamiyyah 'ala Madzhab Ahlis Sunnah wal Jamaa'ah (hal. 41).
(81) Ibid, hal. 41.
(82) Lihat Taarikh Ahlil Hadits Ta'yiin al-Firqah an-Najiyah wa Annaha Tha-ifah Ahlil Hadits oleh Syaikh Ahmad bin Muhammad ad-Dahlawi al-Madani, tahqiq oleh Syaikh 'Ali bin Hasan al-Halaby hal. 116.
(83) Ibid, hal. 116.
(84) Ibid, hal. 117 dan Jaami' Bayanil 'Ilmi wa Fadhlihi, tahqiq Abu Asybal az-Zuhairi (II/993).
(85) Lihat Manhaj Imam asy-Syafi'i fii Itsbaatil 'Aqiidah (I/121) karya Dr. Muhammad bin 'Abdil Wahhab al-'Aqiil.
===
Maraji'/ sumber:
Buku: Syarah 'Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah, Penulis: Ustadz Yazid bin 'Abdul Qadir Jawas hafizhahullaah, Penerbit: Pustaka at-Taqwa, Bogor - Indonesia, Cetakan Pertama, Jumadil Akhir 1425 H/ Agustus 2004 M.
===
Abu Sahla Ary Ambary bin Ahmad Awamy bin Muhammad Noor al-Bantani
Sent from my BlackBerry®
powered by Sinyal Kuat INDOSAT