Skip to main content

Dalil 'aqli (akal) yang benar akan sesuai dengan dalil naqli/ nash yang shahih (2) | Penjelasan Kaidah-kaidah Dalam Mengambil dan Menggunakan Dalil | Syarah 'Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah

Syarah 'Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah.

Ustadz Yazid bin 'Abdul Qadir Jawas hafizhahullah.

Bab III.

Penjelasan Kaidah-kaidah Dalam Mengambil dan Menggunakan Dalil.

Penjelasan Kaidah Keenam.

"Dalil 'aqli (akal) yang benar akan sesuai dengan dalil naqli/ nash yang shahih." (2)

Keenam, (86) Islam memuji orang-orang yang menggunakan akalnya dalam memahami dan mengikuti kebenaran.

Allah 'Azza wa Jalla berfirman:

"... Sebab itu sampaikanlah berita (gembira) itu kepada hamba-hamba-Ku yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal." (QS. Az-Zumar: 17 - 18)

Ketujuh, pembatasan wilayah kerja akal dan pikiran manusia sebagaimana firman Allah 'Azza wa Jalla:

"Mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah: 'Ruh itu adalah urusan Rabb-ku. Dan tiadalah kalian diberi ilmu melainkan sedikit.'" (QS. Al-Israa`: 85)

"Dia mengetahui apa yang ada di hadapan mereka dan apa yang di belakang mereka, sedangkan ilmu mereka tidak dapat meliputi ilmu-Nya." (QS. Thaahaa: 110)

Ulama Salaf (Ahlus Sunnah) senantiasa mendahulukan naql (wahyu) atas 'aql (akal). Naql adalah dalil-dalil syar'i yang tertuang dalam al-Qur-an dan as-Sunnah. Sedangkan yang dimaksud dengan akal ialah, dalil-dalil 'aqli yang dibuat oleh para ulama ilmu kalam dan mereka jadikan sebagai agama yang menundukkan/ mengalahkan dalil-dalil syar'i.

Mendahulukan dalil naqli atas dalil akal bukan berarti Ahlus Sunnah tidak menggunakan akal. Tetapi maksudnya adalah dalam menetapkan 'aqidah mereka tidak menempuh cara seperti yang ditempuh para ahli kalam yang menggunakan rasio semata untuk memahami masalah-masalah yang sebenarnya tidak dapat dijangkau oleh akal dan menolak dalil naqli (dalil syar'i) yang bertentangan dengan akal mereka atau rasio mereka.

Imam Abul Muzhaffar as-Sam'ani rahimahullah (wafat th. 489 H) (87) berkata: "Ketahuilah, bahwa madzhab Ahlus Sunnah mengatakan bahwa akal tidak mewajibkan sesuatu bagi seseorang dan tidak melarang sesuatu darinya, serta tidak ada hak baginya untuk menghalalkan atau mengharamkan sesuatu, sebagaimana juga tidak ada wewenang baginya untuk menilai ini baik atau buruk. Seandainya tidak datang kepada kita wahyu, maka tidak ada bagi seseorang suatu kewajiban agama pun dan tidak ada pula yang namanya pahala dan dosa."

Secara ringkas pandangan Ahlus Sunnah tentang penggunaan akal, di antaranya sebagai berikut: (88)

1. Syari'at didahulukan atas akal, karena syari'at itu ma'shum sedang akal tidak ma'shum.

2. Akal mempunyai kemampuan mengenal dan memahami yang bersifat global, tidak bersifat detail.

3. Apa yang benar dari hukum-hukum akal pasti tidak bertentangan dengan syari'at.

4. Apa yang salah dari pemikiran akal adalah apa yang bertentangan dengan syari'at.

5. Penentuan hukum-hukum tafshiliyah (terinci seperti wajib, haram dan seterusnya) adalah hak prerogatif syari'at.

6. Akal tidak dapat menentukan hukum tertentu atas sesuatu sebelum datangnya wahyu, walaupun secara umum ia dapat mengenal dan memahami yang baik dan buruk.

7. Balasan atas pahala dan dosa ditentukan oleh syari'at.

Allah 'Azza wa Jalla berfirman:

"Kami tidak akan mengadzab sehingga Kami mengutus seorang Rasul." (QS. Al-Israa`: 15)

8. Janji Surga dan ancaman Neraka sepenuhnya ditentukan oleh syari'at.

9. Tidak ada kewajiban tertentu terhadap Allah 'Azza wa Jalla yang ditentukan oleh akal kita kepada-Nya. Karena Allah mengatakan tentang dirinya:

"Maha Kuasa berbuat apa yang dikehendaki-Nya." (QS. Al-Buruuj: 16)

Dari sini dapat dikatakan bahwa keyakinan Ahlus Sunnah adalah yang benar dalam masalah penggunaan akal sebagai dalil. Jadi, akal dapat dijadikan dalil jika sesuai dengan al-Qur-an dan as-Sunnah atau tidak bertentangan dengan keduanya. Dan jika ia bertentangan dengan keduanya, maka ia dianggap bertentangan dengan sumber dan dasarnya. Dan keruntuhan pondasi berarti juga keruntuhan bangunan yang ada di atasnya. Sehingga akal tidak lagi menjadi hujjah (argumen, alasan) namun berubah menjadi dalil yang bathil. (89)

===

(86) Lihat al-Madkhal (hal. 41).

(87) Beliau adalah Abu Muzhaffar Manshuur bin Muhammad bin 'Abdil Jabbar as-Sam'ani at-Taimi seorang ahli fikih, imam yang masyhur, beliau memiliki kitab-kitab tentang fikih dan ushul fikih serta hadits. Lihat al-Hujjah fi Bayyan al-Mahajjah (I/314) oleh Imam al-Ashbahani, tahqiq Muhammad bin Rabi' bin Hadi 'Amir al-Madkhaly. Cet. Daar ar-Raayah, 1411 H.

(88) Lihat al-Madkhal li Diraasatil 'Aqiidatil Islamiyyah 'ala Madzhab Ahlis Sunnah wal Jamaa'ah (hal. 45).

(89) Lihat al-Madkhal li Diraasatil 'Aqiidatil Islamiyyah 'ala Madzhab Ahlis Sunnah wal Jamaa'ah (hal. 46).

===

===

Maraji'/ sumber:
Buku: Syarah 'Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah, Penulis: Ustadz Yazid bin 'Abdul Qadir Jawas hafizhahullaah, Penerbit: Pustaka at-Taqwa, Bogor - Indonesia, Cetakan Pertama, Jumadil Akhir 1425 H/ Agustus 2004 M.

===

Abu Sahla Ary Ambary bin Ahmad Awamy bin Muhammad Noor al-Bantani
Sent from my BlackBerry®
powered by Sinyal Kuat INDOSAT

Popular posts from this blog