Adapun bacaan al-Qur-an pada saat berziarah kubur, sama sekali tidak memiliki dasar hukum dalam as-Sunnah | Ziarah Kubur | Hukum dan Tata Cara Mengurus Jenazah Menurut al-Qur-an dan as-Sunnah
Ahkaamul Janaa-iz wa Bida'uha.
Hukum dan Tata Cara Mengurus Jenazah Menurut al-Qur-an dan as-Sunnah.
Bab XVII.
Ziarah Kubur.
121. Adapun bacaan al-Qur-an pada saat berziarah kubur, sama sekali tidak memiliki dasar hukum dalam as-Sunnah, bahkan hadits-hadits yang disebutkan pada pembahasan terdahulu mengisyaratkan tidak adanya pensyari'atan hal tersebut. Sebab, jika bacaan al-Qur-an di kuburan itu memang disyari'atkan, pasti Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam pernah mendatangi kuburan dan akan mengerjakannya dan mengajarkan Shahabat-shahabatnya, apalagi beliau pernah ditanya oleh 'Aisyah ra-dhiyallaahu 'anhuma -sedang dia adalah orang yang paling beliau cintai- mengenai apa yang harus dia ucapkan pada saat dia berziarah kubur? Kemudian beliau (shallallaahu 'alaihi wa sallam) mengajarinya salam dan do'a dan tidak mengajarkan untuk membaca al-Faatihah atau surat al-Qur-an lainnya. Seandainya bacaan al-Qur-an di kuburan itu disyari'atkan, niscaya beliau (shallallaahu 'alaihi wa sallam) tidak akan pernah menyembunyikan hal tersebut dari 'Aisyah. Bagaimana mungkin itu bisa terjadi, sedang menunda penjelasan dari waktu yang dibutuhkan merupakan suatu hal yang tidak diperbolehkan, sebagaimana yang ditegaskan dalam ilmu Ushul Fiqih. Bagaimana pula dengan penyembunyian pengetahuan. Seandainya Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam mengajarkan sesuatu tentang hal tersebut kepada mereka (para Shahabat ra-dhiyallaahu 'anhum), niscaya akan dinukil kepada kita. Dan jika tidak ada nukilan kepada kita dengan sanad yang permanen dan pasti, berarti hal menunjukkan bahwa hal tersebut tidak pernah terjadi.
Di antara yang memperkuat tidak disyari'atkannya bacaan al-Qur-an di kuburan adalah sabda Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam:
"Janganlah kalian menjadikan rumah kalian sebagai kuburan, karena sesungguhnya syaitan akan lari dari rumah yang di dalamnya dibacakan surat al-Baqarah."
Diriwayatkan Muslim (II/188), at-Tirmidzi (IV/42), dan dia menilainya shahih. Juga an-Nasa-i di dalam kitab Fadhaa-il al-Qur-aan (76), al-Baihaqi di dalam kitab Syu'abul Iimaan (II/2381), dan Ahmad (II/284, 337, 378, 388) dari hadits Abu Hurairah (ra-dhiyallaahu 'anhu).
Dengan demikian, Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam telah mengisyaratkan bahwa kuburan itu bukan tempat untuk membaca al-Qur-an. Oleh karena itu, beliaiu (shallallaahu 'alaihi wa sallam) telah memerintahkan untuk membaca al-Qur-an di dalam rumah dan pada saat yang bersamaan beliau juga melarang menjadikan rumah sebagai kuburan yang di dalamnya tidak dibacakan al-Qur-an, sebagaimana yang diisyaratkan di dalam hadits yang lain bahwa kuburan itu bukan tempat untuk shalat, yaitu sabda beliau (shallallaahu 'alaihi wa sallam):
"Shalatlah di rumah kalian dan janganlah kalian menjadikannya sebagai kuburan."
Diriwayatkan Muslim (II/187), dan perawi lainnya dari Ibnu 'Umar (ra-dhiyallaahu 'anhuma). Dan pada al-Bukhari terdapat hadits yang senada. Dan dia menerjemahkannya melalui ungkapannya: Bab Karahiyatish Shalaah fil Maqaabir. Dengan demikian, dia telah mengisyaratkan bahwa hadits Ibnu 'Umar itu mengandung pengertian yang memakruhkan shalat di kuburan. Demikian juga dengan hadits Abu Hurairah, yang mengandung pengertian yang memakruhkan bacaan al-Qur-an di kuburan. Dan tidak ada perbedaan antara keduanya. (6)
Oleh karena itu, yang menjadi madzhab Jumhur Ulama Salaf, seperti misalnya Abu Hanifah, Malik, dan lain-lainnya mengarah pada pemakruhan bacaan a-Qur-an di kuburan. Dan itu pula yang menjadi pendapat Ahmad. Abu Dawud sendiri di dalam kitab Masaa-ilnya, halaman 158, mengatakan: "Aku pernah mendengar Ahmad ditanya tentang bacaan al-Qur-an di kuburan, maka dia menjawab: 'Tidak boleh.'"
Di dalam kitab Iqtidhaa-ush Shiraathil Mustaqiim Mukhaalafata Ashhaabil Jahiim, halaman 182, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (rahimahullaah) mengatakan:
"Tidak ada pernyataan asy-Syafi'i mengenai masalah ini. Yang demikian itu karena menurutnya, hal itu sebagai bid'ah. Dan Malik mengatakan: 'Aku tidak mengetahui seorang pun melakukan hal tersebut.' Dengan demikian dapat diketahui bahwa para Shahabat dan Tabi'in tidak ada yang mengerjakan hal tersebut."
Dan di dalam kitab al-Ikhtiyaarat al-'Ilmiyyah, halaman 53, Syaikhul Islam mengatakan: "Bacaan al-Qur-an sepeninggal seseorang adalah bid'ah, berbeda dengan bacaan al-Qur-an bagi orang yang tengah menghadapi sakaratul maut, karena saat itu disunnahkan untuk membaca surat Yaasiin."
Aku katakan (al-Albani): "Tetapi hadits yang memuat tentang bacaan surat Yaasiin ini lemah, sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya. Dan status istihbaab merupakan ketetapan hukum syari'at, yang tidak dapat ditetapkan berdasarkan hadits dha'if, sebagaimana yang tampak jelas dari ungkapan Ibnu Taimiyyah sendiri dalam beberapa karyanya dan buku-buku lainnya.
===
(6) Sekelompok ulama telah berdalil dengan hadits di atas seperti al-Bukhari berdalil dengan hadits tersebut. Dan diperkuat pula oleh al-Hafizh di dalam kitab Syarahnya. Aku telah menyebutkan ungkapannya di dalam pembahasan masalah berikutnya (no. 128 alenia ke-7).
===
Maraji'/ sumber:
Kitab: Ahkaamul Janaa-iz wa Bida'uha, Penulis: Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullaah, Penerbit: Maktabah al-Ma'arif, Riyadh - Saudi Arabia, Cetakan I, Tahun 1412 H/ 1993 M, Judul terjemahan: Hukum dan Tata Cara Mengurus Jenazah Menurut al-Qur-an dan as-Sunnah, Penerjemah: M. Abdul Ghoffar E.M., Penerbit: Pustaka Imam asy-Syafi'i - Indonesia, Cetakan Pertama, Muharram 1426 H/ Maret 2005 M.
===
Abu Sahla Ary Ambary bin Ahmad Awamy bin Muhammad Noor al-Bantani
Sent from my BlackBerry®
powered by Sinyal Kuat INDOSAT
Hukum dan Tata Cara Mengurus Jenazah Menurut al-Qur-an dan as-Sunnah.
Bab XVII.
Ziarah Kubur.
121. Adapun bacaan al-Qur-an pada saat berziarah kubur, sama sekali tidak memiliki dasar hukum dalam as-Sunnah, bahkan hadits-hadits yang disebutkan pada pembahasan terdahulu mengisyaratkan tidak adanya pensyari'atan hal tersebut. Sebab, jika bacaan al-Qur-an di kuburan itu memang disyari'atkan, pasti Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam pernah mendatangi kuburan dan akan mengerjakannya dan mengajarkan Shahabat-shahabatnya, apalagi beliau pernah ditanya oleh 'Aisyah ra-dhiyallaahu 'anhuma -sedang dia adalah orang yang paling beliau cintai- mengenai apa yang harus dia ucapkan pada saat dia berziarah kubur? Kemudian beliau (shallallaahu 'alaihi wa sallam) mengajarinya salam dan do'a dan tidak mengajarkan untuk membaca al-Faatihah atau surat al-Qur-an lainnya. Seandainya bacaan al-Qur-an di kuburan itu disyari'atkan, niscaya beliau (shallallaahu 'alaihi wa sallam) tidak akan pernah menyembunyikan hal tersebut dari 'Aisyah. Bagaimana mungkin itu bisa terjadi, sedang menunda penjelasan dari waktu yang dibutuhkan merupakan suatu hal yang tidak diperbolehkan, sebagaimana yang ditegaskan dalam ilmu Ushul Fiqih. Bagaimana pula dengan penyembunyian pengetahuan. Seandainya Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam mengajarkan sesuatu tentang hal tersebut kepada mereka (para Shahabat ra-dhiyallaahu 'anhum), niscaya akan dinukil kepada kita. Dan jika tidak ada nukilan kepada kita dengan sanad yang permanen dan pasti, berarti hal menunjukkan bahwa hal tersebut tidak pernah terjadi.
Di antara yang memperkuat tidak disyari'atkannya bacaan al-Qur-an di kuburan adalah sabda Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam:
"Janganlah kalian menjadikan rumah kalian sebagai kuburan, karena sesungguhnya syaitan akan lari dari rumah yang di dalamnya dibacakan surat al-Baqarah."
Diriwayatkan Muslim (II/188), at-Tirmidzi (IV/42), dan dia menilainya shahih. Juga an-Nasa-i di dalam kitab Fadhaa-il al-Qur-aan (76), al-Baihaqi di dalam kitab Syu'abul Iimaan (II/2381), dan Ahmad (II/284, 337, 378, 388) dari hadits Abu Hurairah (ra-dhiyallaahu 'anhu).
Dengan demikian, Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam telah mengisyaratkan bahwa kuburan itu bukan tempat untuk membaca al-Qur-an. Oleh karena itu, beliaiu (shallallaahu 'alaihi wa sallam) telah memerintahkan untuk membaca al-Qur-an di dalam rumah dan pada saat yang bersamaan beliau juga melarang menjadikan rumah sebagai kuburan yang di dalamnya tidak dibacakan al-Qur-an, sebagaimana yang diisyaratkan di dalam hadits yang lain bahwa kuburan itu bukan tempat untuk shalat, yaitu sabda beliau (shallallaahu 'alaihi wa sallam):
"Shalatlah di rumah kalian dan janganlah kalian menjadikannya sebagai kuburan."
Diriwayatkan Muslim (II/187), dan perawi lainnya dari Ibnu 'Umar (ra-dhiyallaahu 'anhuma). Dan pada al-Bukhari terdapat hadits yang senada. Dan dia menerjemahkannya melalui ungkapannya: Bab Karahiyatish Shalaah fil Maqaabir. Dengan demikian, dia telah mengisyaratkan bahwa hadits Ibnu 'Umar itu mengandung pengertian yang memakruhkan shalat di kuburan. Demikian juga dengan hadits Abu Hurairah, yang mengandung pengertian yang memakruhkan bacaan al-Qur-an di kuburan. Dan tidak ada perbedaan antara keduanya. (6)
Oleh karena itu, yang menjadi madzhab Jumhur Ulama Salaf, seperti misalnya Abu Hanifah, Malik, dan lain-lainnya mengarah pada pemakruhan bacaan a-Qur-an di kuburan. Dan itu pula yang menjadi pendapat Ahmad. Abu Dawud sendiri di dalam kitab Masaa-ilnya, halaman 158, mengatakan: "Aku pernah mendengar Ahmad ditanya tentang bacaan al-Qur-an di kuburan, maka dia menjawab: 'Tidak boleh.'"
Di dalam kitab Iqtidhaa-ush Shiraathil Mustaqiim Mukhaalafata Ashhaabil Jahiim, halaman 182, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (rahimahullaah) mengatakan:
"Tidak ada pernyataan asy-Syafi'i mengenai masalah ini. Yang demikian itu karena menurutnya, hal itu sebagai bid'ah. Dan Malik mengatakan: 'Aku tidak mengetahui seorang pun melakukan hal tersebut.' Dengan demikian dapat diketahui bahwa para Shahabat dan Tabi'in tidak ada yang mengerjakan hal tersebut."
Dan di dalam kitab al-Ikhtiyaarat al-'Ilmiyyah, halaman 53, Syaikhul Islam mengatakan: "Bacaan al-Qur-an sepeninggal seseorang adalah bid'ah, berbeda dengan bacaan al-Qur-an bagi orang yang tengah menghadapi sakaratul maut, karena saat itu disunnahkan untuk membaca surat Yaasiin."
Aku katakan (al-Albani): "Tetapi hadits yang memuat tentang bacaan surat Yaasiin ini lemah, sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya. Dan status istihbaab merupakan ketetapan hukum syari'at, yang tidak dapat ditetapkan berdasarkan hadits dha'if, sebagaimana yang tampak jelas dari ungkapan Ibnu Taimiyyah sendiri dalam beberapa karyanya dan buku-buku lainnya.
===
(6) Sekelompok ulama telah berdalil dengan hadits di atas seperti al-Bukhari berdalil dengan hadits tersebut. Dan diperkuat pula oleh al-Hafizh di dalam kitab Syarahnya. Aku telah menyebutkan ungkapannya di dalam pembahasan masalah berikutnya (no. 128 alenia ke-7).
===
Maraji'/ sumber:
Kitab: Ahkaamul Janaa-iz wa Bida'uha, Penulis: Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullaah, Penerbit: Maktabah al-Ma'arif, Riyadh - Saudi Arabia, Cetakan I, Tahun 1412 H/ 1993 M, Judul terjemahan: Hukum dan Tata Cara Mengurus Jenazah Menurut al-Qur-an dan as-Sunnah, Penerjemah: M. Abdul Ghoffar E.M., Penerbit: Pustaka Imam asy-Syafi'i - Indonesia, Cetakan Pertama, Muharram 1426 H/ Maret 2005 M.
===
Abu Sahla Ary Ambary bin Ahmad Awamy bin Muhammad Noor al-Bantani
Sent from my BlackBerry®
powered by Sinyal Kuat INDOSAT