Skip to main content

Adapun bacaan al-Qur-an pada saat berziarah kubur, sama sekali tidak memiliki dasar hukum dalam as-Sunnah (3) | Ziarah Kubur | Hukum dan Tata Cara Mengurus Jenazah Menurut al-Qur-an dan as-Sunnah

Ahkaamul Janaa-iz wa Bida'uha.

Imam Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullaah.

Hukum dan Tata Cara Mengurus Jenazah Menurut al-Qur-an dan as-Sunnah.

Bab XVII.

Ziarah Kubur.

Dan atsar yang semisal adalah apa yang disebutkan oleh Ibnul Qayyim (rahimahullaah) juga, halaman 14:

"Al-Khallal menyebutkan dari asy-Sya'bi, dia bercerita: 'Orang-orang Anshar, jika ada orang yang mati di antara mereka, maka mereka pulang pergi ke kuburan untuk membaca al-Qur-an.'"

Mengenai atsar ini, kami masih benar-benar ragu mengenai kepastian hal itu dari asy-Sya'bi dengan lafazh seperti ini khususnya, karena aku pernah menyaksikan juga as-Suyuthi telah menyebutkannya di dalam kitab Syarhush Shuduur, halaman 15, dengan lafazh:

"Kaum Anshar biasa membacakan surat al-Baqarah di dekat mayit." Dan dia mengatakan: Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dan al-Marwazi. Atsar ini dia sebutkan di dalam: Bab Maa Yaquulu al-Insaan fii Maradhi al-Maut wa Maa Yuqra' 'Indahu."

Kemudian aku juga dapati di dalam kitab al-Mushannaf (IV/74) karya Ibnu Abi Syaibah, tertulis biografinya melalui ucapannya: Bab Maa Yuqaalu 'Inda al-Mariidh Idzaa Hadhara.

Dengan demikian tampak jelas bahwa di dalam sanadnya terdapat Mujalid, yaitu Ibnu Sa'id, dimana al-Hafizh di dalam kitab at-Taqriib mengatakan: "Dia bukan seorang yang kuat, dimana di akhir hayat dia mengalami kepikunan."

Dengan demikian, maka tampaklah bahwa atsar ini tidak berkenaan dengan bacaan al-Qur-an di kuburan tetapi saat sakaratul maut. Dan kemudian dia juga bersanad dha'if.

Sedangkan hadits: "Barangsiapa berjalan melewati kuburan lalu dia membaca: 'Qul Huwallahu Ahad' sebanyak sebelas kali, kemudian dia menghadiahkan pahalanya untuk orang-orang yang sudah meninggal maka pahala itu akan diberikan sesuai dengan jumlah orang yang meninggal."

Maka sesungguhnya ia merupakan hadits bathil lagi maudhu' (palsu). Hadits ini diriwayatkan Abu Muhammad al-Khalal dalam al-Qiraa-ah 'alaal Qubuur (bagian 201/2). Juga ad-Dailami yang berasal dari nashkah 'Abdullah bin Ahmad bin 'Amir dari ayahnya dari 'Ali Ridha dari nenek moyangnya. Ia merupakan naskah yang berstatus maudhu' (palsu) lagi bathil, yang tidak lepas dari pemalsuan 'Abdullah atau pemalsuan ayahnya, sebagaimana yang dikemukakan oleh adz-Dzahabi di dalam kitab al-Mizaan yang diikuti oleh al-Hafizh Ibnu Hajar di dalam kitab al-Lisaan, kemudian as-Suyuthi di dalam kitab Dzail al-Ahaadiits al-Maudhuu'ah. Dan dia menyebutkan hadits ini. Juga diikuti oleh Ibnu 'Arraq di dalam kitab Tanziih asy-Syarii'ah al-Marfuu'ah 'an al-Ahaadiits asy-Syanii'ah wal Maudhuu'ah.

Kemudian as-Suyuthi merasa bingung mengenai hal itu, lalu dia menyebutkan hadits ini di dalam kitab Syarhush Shuduur, halaman 130, dengan riwayat Abu Muhammad as-Samarqandi di dalam Fadhaa-il Qul Huwallahu Ahad dan dia bersikap diam terhadapnya. Memang benar, sebelum itu dia telah mengisyaratkan kepada kelemahannya, tetapi hal itu tidak cukup, karena menurut pengakuannya, hadits ini berstatus maudhu' (palsu), sehingga tidak boleh hanya sekedar menilainya dha'if, sebagaimana tidak boleh juga bersikap diam terhadapnya. Sebagaimana yang telah dilakukan oleh Syaikh Isma'il al-'Ajaluni di dalam kitab Kasyful Khafaa' (II/382), dimana dia menisbatkannya kepada ar-Rafi'i di dalam kitab Taariikhnya dan dia juga bersikap diam terhadapnya, padahal dia menulis bukunya itu untuk mengungkap "hadits-hadits yang populer dan menjadi bahan perbincangan ummat manusia."

Kemudian, sikap diamnya para ahli mengenai hadits ini telah memunculkan keraguan di kalangan orang-orang yang tidak mengetahui hadits tersebut, sehingga dia menyangka bahwa hadits tersebut bisa dijadikan sebagai hujjah dan bisa juga diamalkan dalam fadhaa-il 'amal, sebagaimana yang mereka katakan. Dan inilah yang terjadi dengan hadits ini. Dimana aku juga pernah mendapati beberapa orang penganut madzhab Hanafi telah berhujjah dengan hadits ini untuk membolehkan bacaan al-Qur-an di kuburan. Orang yang dimaksudkan adalah Syaikh ath-Thahawi di dalam kitab Haasyiyah (catatan pinggir)nya pada kitab Maraaqi al-Falaah, halaman 117. Dan dia telah menisbatkan hadits kepada ad-Daraquthni. Dan aku kira hal itu sebagai suatu waham (kesalahan), karena aku tidak pernah mendapatkan ulama lain yang menisbatkannya kepada ad-Daraquthni. Kemudian yang dikenal di kalangan orang-orang aktif mendalami ilmu ini adalah bahwa penisbatannya kepada ad-Daraquthni secara mutlak, berarti yang dimaksudkannya adalah kitab Sunannya. Dan hadits ini tidak aku dapatkan di dalamnya. Wallaahu a'lam.

===

Maraji'/ sumber:
Kitab: Ahkaamul Janaa-iz wa Bida'uha, Penulis: Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullaah, Penerbit: Maktabah al-Ma'arif, Riyadh - Saudi Arabia, Cetakan I, Tahun 1412 H/ 1993 M, Judul terjemahan: Hukum dan Tata Cara Mengurus Jenazah Menurut al-Qur-an dan as-Sunnah, Penerjemah: M. Abdul Ghoffar E.M., Penerbit: Pustaka Imam asy-Syafi'i - Indonesia, Cetakan Pertama, Muharram 1426 H/ Maret 2005 M.

===

Abu Sahla Ary Ambary bin Ahmad Awamy bin Muhammad Noor al-Bantani
Sent from my BlackBerry®
powered by Sinyal Kuat INDOSAT

Popular posts from this blog