Skip to main content

Adapun bacaan al-Qur-an pada saat berziarah kubur, sama sekali tidak memiliki dasar hukum dalam as-Sunnah (2) | Ziarah Kubur | Hukum dan Tata Cara Mengurus Jenazah Menurut al-Qur-an dan as-Sunnah

Ahkaamul Janaa-iz wa Bida'uha.

Imam Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullaah.

Hukum dan Tata Cara Mengurus Jenazah Menurut al-Qur-an dan as-Sunnah.

Bab XVII.

Ziarah Kubur.

Adapun yang disebutkan di dalam kitab ar-Ruuh, karya Ibnul Qayyim (rahimahullaah), halaman 13. Al-Khallal mengatakan: Al-Hasan bin Ahmad al-Warraq memberitahuku, 'Ali bin Musa al-Haddad -dan dia seorang yang shaduuq- memberitahu kami, dia berkata: Aku pernah bersama Ahmad bin Hanbal dan Muhammad bin Qudamah al-Jauhari dalam menghadiri seorang jenazah. Setelah jenazah itu selesai dimakamkan, ada seorang buta yang duduk dan membaca al-Qur-an di dekat kuburan tersebut, maka Ahmad berkata kepadanya: "Wahai engkau, sesungguhnya bacaan al-Qur-an di kuburan itu adalah bid'ah." Dan setelah kami keluar dari kuburan, Muhammad bin Qudamah berkata kepada Ahmad bin Hanbal: "Wahai Abu 'Abdillah, bagaimana pendapatmu tentang Mubasysyir al-Halabi?" Ahmad menjawab: "Tsiqah." Dia bertanya lagi: "Apakah engkau menulis suatu berita darinya?" Ahmad menjawab: "Ya." Maka Muhammad bin Qudamah berkata: Mubasysyir telah memberitahuku dari 'Abdurrahman bin al-Ala' bin al-Lajlaj, (aslinya: al-Halaj. Dan ini salah) dari ayahnya, bahwa dia pernah berwasiat, jika dia sudah dimakamkan supaya dibacakan pembuka dan penutup surat al-Baqarah di dekat kepalanya. Dan dia mengatakan: "Aku pernah mendengar Ibnu 'Umar (ra-dhiyallaahu 'anhuma) berwasiat seperti itu." Maka Ahmad menjawab: "Maka kembali dan katakan kepada orang itu untuk membacanya."

Mengenai hal tersebut dapat diberirkan jawaban dari beberapa sisi, yaitu:

1. Mengenai ketetapan dan kepastian kisah ini berasal dari Ahmad masih perlu dikaji ulang, karena Syaikh al-Khallal al-Hasan bin Ahmad al-Warraq tidak pernah aku temukan biografinya dalam literatur yang aku miliki sekarang ini dari kitab-kitab tentang para perawi hadits. Demikian juga dengan syaikhnya, 'Ali bin Musa al-Haddad, juga tidak aku kenal. Dan jika di dalam sanad ini dia disebut sebagai seorang yang shaduq, maka secara lahiriyah yang tampak adalah bahwa yang mengatakan adalah al-Warraq. Dan engkau sendiri telah mengetahui keadaannya.

2. Kalaupun hal tersebut ditegaskan dari Ahmad, maka hal tersebut merupakan riwayat yang paling khusus dari apa-apa yang telah diriwayatkan Abu Dawud darinya. Dan dari penggabungan antara dua riwayat darinya menghasilkan bahwa madzhabnya memakruhkan bacaan al-Qur-an di kuburan kecuali pada saat pemakaman.

3. Bahwa penyandaran atsar ini pada Ibnu 'Umar (ra-dhiyallaahu 'anhuma) tidak shahih, meskipuin ketetapannya dari Ahmad sudah pasti. Sebab, 'Abdurrahman bin al-'Ala' bin al-Lajlaj termasuk dalam golongan orang-orang yang tidak dikenal, sebagaimana yang terlihat dari pernyataan adz-Dzahabi di dala$ biografinya dalam buku al-Miizaan: "Tidak ada yang meriwayatkan darinya ('Abdurrahman bin al-'Ala'), kecuali Mubasysyir al-Halabi saja." Dan dari jalannya diriwayatkan Ibnu 'Asakir (XIII/399/2). Sedangkan penilaian tsiqah yang diberikan oleh Ibnu Hibban terhadapnya, merupakan suatu yang tidak bisa dijadikan pegangan, mengingat Ibnu Hibban yang populer dengan sikapnya yang suka menggampangkan dalam memberikan penilaian tsiqah. Oleh karena itu, al-Hafizh Ibnu Hajar di dalam kitab at-Taqriib tidak mengacu kepadanya (Ibnu Hibban) saat dia berbicara tentang biografi 'Abdurrahman bin al-'Ala': "Maqbuul." Yakni, saat disertai perawi lain dan jjika tidak, maka ia berhadits layyin, sebagaimana yang telah disampaikan di dalam muqaddimah.

Dan yang memperkuat apa yang kami sampaikan di atas adalah bahwa at-Tirmidzi dengan sikapnya yang suka menggampangkan penilaian hasan, pada saat dia meriwayatkan satu hadits lain miliknya ('Abdurrahman al-'Ala') (II/128), dimana dia hanya memiliki satu hadits saja, dia bersikap diam dan tidak menilainya hasan.

4. Dan seandainya sanadnya ditetapkan dari Ibnu 'Umar (ra-dhiyallaahu 'anhuma), berarti ia mauquf (terhenti) dan tidak dimarfu' sampai kepada Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam sehingga tidak dapat dijadikan hujjah.

===

Maraji'/ sumber:
Kitab: Ahkaamul Janaa-iz wa Bida'uha, Penulis: Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullaah, Penerbit: Maktabah al-Ma'arif, Riyadh - Saudi Arabia, Cetakan I, Tahun 1412 H/ 1993 M, Judul terjemahan: Hukum dan Tata Cara Mengurus Jenazah Menurut al-Qur-an dan as-Sunnah, Penerjemah: M. Abdul Ghoffar E.M., Penerbit: Pustaka Imam asy-Syafi'i - Indonesia, Cetakan Pertama, Muharram 1426 H/ Maret 2005 M.

===

Abu Sahla Ary Ambary bin Ahmad Awamy bin Muhammad Noor al-Bantani
Sent from my BlackBerry®
powered by Sinyal Kuat INDOSAT