Skip to main content

Tafsir wanita: Masalah Perbedaan Ulama Tentang Makna Aqra'

Tafsir wanita

Surat al-Baqarah

Masalah Perbedaan Ulama Tentang Makna Aqra'

Orang-orang Kufah mengatakan bahwa yang dimaksud dengan aqra' (quru') itu adalah haidh. Ini adalah pendapat 'Umar, 'Ali, Ibnu Mas'ud, Abu Musa, Mujahid, Qatadah, Dhahhak, Ikrimah, dan as-Sudi. Sedangkan orang-orang Hijaz mengatakan: Itu maksudnya adalah bersuci. Ini adalah pendapat 'Aisyah, Ibnu 'Umar, Zaid bin Tsabit, az-Zuhdi, Aban bin 'Utsman dan asy-Syafi'i.

Maka barangsiapa yang menjadikan quru' sebagai nama untuk haidh, maka dia menamakannya demikian karena terhimpunnya darah dalam rahim, dan barangsiapa yang menjadikannya sebagai nama untuk suci, maka hal itu karena dia terkumpul di badan.

Imam asy-Syafi'i mengatakan dalam sebuah pendapatnya; al-Quru' adalah perubahan kondisi dari suci ke haidh dan tidak memandang kondisi keluar dari haidh ke suci sebagai quru'. Dengan demikian, maka makna firman Allah: "Wanita-wanita yang ditalak, hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'," yakni tiga kali putaran atau tiga kali perubahan. Sedangkan wanita yang ditalak itu hanya memiliki dua sifat. Suatu saat dia berubah kondisi dari suci ke haidh dan suatu saat yang lain dia berubah dari haidh ke suci. Dengan demikian, maka luruslah tafsiran ini.

Imam ath-Thabari berkata, "Ini adalah pandangan yang sangat mendalam dan mendetil dari pandangan madzhab Imam asy-Syafi'i. Mungkin bisa kita sebutkan sebuah rahasia yang sangat mudah kita pahami dari kedalaman hukum syari'at. Yakni bahwa sesungguhnya perubahan dari kondisi suci kepada haidh dianggap sebagai quru' karena ia mengindikasikan pada bersihnya rahim. Sebab seorang wanita yang hamil secara umum dia tidak akan mengalami haidh. Maka dengan haidhnya itu, diketahui kebersihan rahimnya. Sedangkan perubahan dari haidh ke suci adalah sebaiknya. Sebab wanita yang haidh bisa saja dia hamil pada saat selesai haidhnya. Maka jika masa hamil itu memanjang dan bayinya menguat terhentilah darahnya.

Sedangkan firman-Nya, "Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya," yakni yang berupa haidh. Sebagaimana yang dikatakan Ikrimah, Zuhri dan an-Nakhai. Ada pula yang menyebutkan bahwa yang dimaksudkan adalah kehamilannya. Sebagaimana hal ini dikatakan oleh 'Umar dan Ibnu 'Abbas (ra-dhiyallaahu 'anhum). Sedangkan Mujahid mengatakan: Maksudnya adalah kehamilan dan haidh. Ini dengan asumsi bahwa seorang wanita yang hamil bisa saja haidh.

Sedangkan maksud dari ayat di atas adalah bahwa jika selesai masa iddah atas wanita yang haidh dan yang telah bersuci dan tidak ada kemungkinan untuk membuktikannya kecuali hanya dari pihak perempuan itu, maka pendapat yang diambil adalah apa yang sesuai dengan ucapan wanita itu, apakah masa iddahnya telah dianggap selesai atau belum. Dan mereka dianggap sebagai seorang wanita yang terpercaya untuk itu.

Sedangkan makna larangan untuk menyembunyikan adalah larangan untuk melakukan sesuatu yang membahayakan suami, dan menjadikan dia tidak kehilangan haknya. Jika seorang wanita yang ditalak mengatakan; aku haidh, sedangkan dia tidak haidh maka hilanglah hak suaminya untuk ruju', dan jika dia mengatakan; aku tidak haidh sedangkan dia haidh, maka ini akan membuat suami itu tetap memiliki kewajiban untuk memberi nafkah kepadanya, sesuatu yang sebenarnya bukan merupakan kewajibannya lagi. Yakni dia bermaksud dengan kebohongan menafikan haidhnya itu, agar dia tidak diruju' hingga masa iddahnya lewat da syari'at memutus hak suaminya. Demikian pula dengan seorang wanita yang hamil yang menyembunyikan kehamilannya dengan tujuan untuk memutus hak rujuk suaminya kepadanya.

Sedangkan firman-Nya, "Jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat," maka ini adalah sebuah ancaman yang besar dan keras untuk menegaskan tentang keharaman menyembunyikan haidh dan kehamilan, dan kewajiban untuk menunaikan amanah dalam memberikan kabar tentang kondisi rahim yang sebenarnya. Maka jalan yang harus ditempuh oleh seorang wanita mukminah adalah hendaknya dia tidak sekali-kali menyembunyikan kebenaran yang ada. Dan bukan berarti bahwa dengan firman Allah Sub-haanahu wa Ta'aala yang berbunyi, "Jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat," bahwa dibolehkan bagi wanita yang tidak beriman untuk menyembunyikan masalah itu. Yang demikian itu, juga tidak halal bagi wanita-wanita yang tidak beriman. Ini sebagaimana perkataanmu; Jika engkau benar-benar saudaraku maka janganlah engkau menzhalimi aku!

Jadi artinya adalah bahwa seharusnya keimanan yang dimilikinya mampu mencegahnya untuk melakukan itu, sebab orang-orang yang memiliki iman tidak akan melakukan hal seperti itu. (1)

===

(1) Al-Qurthubi dalam tafsirnya 3/107 dengan editing.

===

Maraji'/ Sumber:
Kitab: Tafsir al-Qur-an al-Azhim li an-Nisa', Penulis: Syaikh Imad Zaki al-Barudi, Penerbit: al-Maktabah at-Taufiqiyyah, Kairo - Mesir, tanpa keterangan cetakan, tanpa keterangan tahun. Judul terjemahan: Tafsir wanita, Penerjemah: Samson Rahman MA, Editor: Farida Muslich Taman, Penerbit: Pustaka al-Kautsar, Jakarta - Indonesia, Cetakan pertama, Juni 2004 M.

===

Abu Sahla Ary Ambary Ibnu Ahmad al-Bantani
Sent from my BlackBerry®
powered by Sinyal Kuat INDOSAT

Popular posts from this blog