Skip to main content

Syarat memberi nafkah kepada kerabat suami

Baituna
Menghidupkan Sunnah di rumah

Konsultasi keluarga

Syarat memberi nafkah kepada kerabat suami

AlhamduliLLAH, kondisi rumah tangga kami cukup terpenuhi. Dari luar, keluarga kami mungkin terlihat lebih. Ada rumah, motor, mobil, akan tetapi itu semua angsuran. Dahulu, suami sempat kena PHK, gara-gara menggunakan uang kantor untuk menolong keluarganya (kerabatnya). AlhamduliLLAH, sekarang sudah ada kemajuan. Namun kebiasaan mengirim uang untuk keluarga masih tetap, apapun resikonya.

Watak suami lemah, penurut, suka memenuhi permintaan uang yang mereka ajukan. Mereka memintanya dengan menghiba, yang membuat hati suami luluh. Bila diingatkan marah dan memecahkan barang-barang. Mohon saran dan nasihat, untuk menhadapi mertua dan saudara suami yang suka merongrong ekonomi keluarga kami, agar semangat hidup saya menjadi tumbuh kembali. Kepercayaan terkikis sedikit demi sedikit. Apalagi mereka keluarga yang tidak menjalankan sholat dan puasa. Keberadaan anak-anaklah yang telah menahan diri saya untuk tetap bersabar.

Fulanah.

Jawab:

Syari'at Islam menghendaki adanya hikmah dari ALLOH 'Azza wa Jalla, yang telah menjadikan institusi rumah-rumah tangga terdiri dari dua pelaku utama, yaitu laki-laki dan perempuan. Dan dalam hal ini, ALLOH menghendaki keistimewaan kaum laki-laki dengan beberapa derajat, baik dalam karakternya, fitrohnya, dan perasaan (naluri) yang berbeda dengan yang dimiliki wanita, di samping hal-hal dan tabi'at lainnya yang memiliki kesamaan.

Sebagaimana kita ketahui, seorang suami (laki-laki) memiliki tugas dan tanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Dia pun berjuang dan bekerja keras untuk mendapatkan rizqi. Dengan itu, ia berhak memegang kepemimpinan yang telah ALLOH tetapkan untuknya. Sebagaimana tertuang dalam Suroh an-Nisa' (4): ayat 34:

"Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena ALLOH telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka."

Sebagai qowwam dalam ayat ini, berarti mengandung pengertian pihak yang mengemban tanggung jawab dalam bentuk ri'ayah (perhatian), himayah (pemeliharaan), dan ishlah (perbaikan). Karena tugas inilah, ALLOH Sub-haanahu wa Ta'aala menciptakan kaum lelaki dengan keberadaan akalnya yang lebih matang dan pengetahuannya yang lebih banyak, serta kemampuan pandangan jangka panjang daripada yang dimiliki seorang wanita, yang kerap terjerat oleh bisikan perasaan. Demikian disampaikan oleh Syaikh Abu Bakar al-Jazairi di dalam tafsirnya.

Dari sini, seorang suami benar-benar memikul tanggung jawab penuh atas keluarganya, yang ikatannya telah terjalin saat pernikahan. Layaknya seorang pemimpin, sifat-sifat kepemimpinan pun idealnya melekat pada diri setiap suami. Misalnya bijaksana, sabar, pengayom dan tidak berbuat atas dasar perasaan. Seorang suami semestinya mengetahui skala prioritas yang harus ia utamakan. Atau meminjam istilah Imam an-Nawawi rohimahuLLOOH, al-Bada'ah bil ahammi falmuhim fil umurisy syar'iyyah (mengawali perkara yang paling penting dalam urusan-urusan syari'at). Karena tidak ada kewajiban yang berada dalam satu tingkatan yang sama dalam satu waktu, ditinjau dari berbagai sisi. Pasti ada sisi-sisi tertentu yang menjadikan salah satu kewajiban "mengalahkan" kewajiban lainnya.

Karena itu, kurang tepat, bila suami terlalu mengutamakan keluarga dari pihaknya. Pasalnya, antara anak dan isterinya (keluarganya sendiri) dengan kerabatnya dalam konteks ini, terdapat perbedaan signifikan dalam hak-hak nafkah, meskipun keduanya wajib dinafkahi. Ditinjau dari aspek syarat pemberian, walaupun si isteri kaya dan berada, akan tetapi nafkah isteri tetap wajib dilaksanakan. Juga tidak disyaratkan kemudahan atau kemampuan suami dalam bekerja, selama sebabnya (yaitu menjadi isteri yang ta'at) tetap ada. Sebaliknya, tidak demikian halnya dengan pemberian nafkah kepada kaum kerabatnya,

"Mulailah dengan dirimu, bershodaqoh untuk dirimu sendiri. Seandainya masih ada sisa, maka shodaqohkanlah kepada keluargamu. Jika masih ada sisa, maka berikan untuk kerabat dekatmu. Dan jika masih ada sisa, maka berikan, demikianlah seterusnya."
(Hadits Riwayat Imam Muslim)

Yang dimaksud dengan kaum kerabat (aqoribul insan), yaitu setiap orang yang bisa mewarisinya melalui jalan fardh (jatah yang sudah ditentukan oleh al-Qur-an) maupun ta'shib (menjadi pemegang sisa warisan). Memberi nafkah kepada mereka, seperti diungkapkan oleh Syaikh Sholih al-Fauzan hafizhohuLLOOH dalam kitab al-Mulakhkhoshul Fiqhi halaman 453-545, hukumnya adalah wajib. ALLOH Sub-haanahu wa Ta'aala berfirman, yang artinya, "Dan (ingatlah), ketika KAMI mengambil janji dari Bani Isroil (yaitu): Janganlah kamu menyembah selain ALLOH, dan berbuat kebaikanlah kepada ibu bapak, kaum kerabat, ..." (Qur-an Suroh al-Baqoroh (2): ayat 83)

Ayat ini menuntut setiap orang untuk berbuat baik kepada kedua orang tua dan kerabat dekatnya. Caranya dengan memberikan nafkah kepada mereka, mengulurkan bantuan dan memenuhi permintaan-permintaan mereka. Dan tidak diragukan lagi, pemberian nafkah tatkala mereka membutuhkan dan dalam kondisi kesusahan, sungguh merupakan perbuatan yang sangat baik. Karena, salah satu bentuk ihsan (pencurahan kebaikan) ialah dengan memberikan nafkah.

Hanya saja, pemberian tersebut seharusnya selaras dengan syarat-syarat, di antaranya:

1. Hendaknya pihak penerima nafkah merupakan orang-orang yang miskin, tidak memiliki suatu apapun, atau tidak mempunyai materi yang mencukupi, dan tidak mampu untuk bekerja.

2. Orang yang memberi nafkah (suami), hendaknya kaya, mempunyai sisa materi, setelah mencukupi nafkah dirinya, isteri dan anak-anaknya.

3. Hendaknya orang yang memberi dan penerima beragama sama (Islam).

Hakikat pemberian ini hendaknya dipahami oleh suami, sehingga tidak keliru dalam membuat tolak ukur, agar keluarganya terjaga keharmonisannya, tidak mengalami kegoncangan. Dan bagi penanya, tetaplah berharap kebaikan dari ALLOH melalui keluarga yang telah dibangun bersama suami anda. (AM)

Maroji':
1. Ahkamun Nafaqotiz Zaujiyyah, Dr. Muhammad Ya'qub Tholib, Darul Hadyin Nabawi.
2. Aisarut Tafasir, Syaikh Abu Bakar al-Jazairi, Maktabah al-'Ulum wal Hikam.
3. Al-Mulakhkhoshul Fiqhi, Dr. Syaikh Sholih al-Fauzan, Darul 'Ashimah.

===

Sumber:
Majalah as-Sunnah, Upaya menghidupkan Sunnah, Edisi 01/ Tahun XI/ 1428 H/ 2007 M.

===

Catatan tambahan dari al-Faqir Abu Sahla al-Bantani:

Nasihat untuk suami: Lanjutkan dan dahulukan kebaikanmu dalam memberi nafkah kepada ayah dan ibumu sebelum memberi nafkah kepada isteri dan anakmu, serta diiringi dengan pendidikan agama yang lembut kepada istrimu agar ia mau menerima syari'at ALLOH lahir batin, dan jika masih berlebih nafkahmu, maka teruskanlah memberi bantuan kepada saudara atau kerabatmu!

Nasihat untuk isteri: Takutlah kepada ALLOH, belajarlah terus tentang agama ALLOH, ketahuilah bahwa diri dan harta suamimu adalah milik orang tuanya, maka janganlah engkau berniat dan berusaha menghalanginya.

Rosululloh shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam bersabda, "Dirimu dan hartamu adalah milik ayahmu!"
(Hadits Riwayat Imam Ibnu Majah dari Jabir ro-dhiyaLLOOHU 'anhu, Imam ath-Thobroni dari Samuroh dan Ibnu Mas'ud ro-dhiyaLLOOHU 'anhuma, Lihat kitab Irwa'ul Gholil 838)

Seharusnya berdasarkan hadits di atas nafkah untuk dirimu (wahai isteri) adalah dengan izin ayah suamimu karena pada hakikatnya harta suamimu adalah harta ayah suamimu.

Nafkah bagi kedua orang tua suamimu harus lebih dahulu daripada kepadamu dan kepada anak-anakmu.

Rosululloh shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam bersabda, "Ketika ada tiga orang sedang berjalan, mereka ditimpa oleh hujan. Lalu mereka pun berlindung ke dalam sebuah gua di sebuah gunung. Tiba-tiba jatuhlah sebuah batu besar dari gunung itu lalu menutupi mulut gua mereka. Lalu sebagian mereka berkata kepada yang lain, 'Perhatikan 'amalan sholih yang pernah kamu kerjakan karena ALLOH, lalu berdo'alah kepada ALLOH Sub-haanahu wa Ta'aala dengan 'amalan itu. Mudah-mudahan ALLOH menyingkirkan batu itu dari kalian.'

Lalu berkatalah salah seorang dari mereka, 'Ya ALLOH, sesungguhnya aku mempunyai dua ibu bapak yang sudah tua renta, seorang isteri, dan anak-anak yang masih kecil, di mana aku menggembalakan ternak untuk mereka. Kalau aku membawa ternak itu pulang ke kandangnya, aku perahkan susu dan aku mulai dengan kedua ibu bapakku, lantas aku beri minum mereka sebelum anak-anakku. Suatu hari, ternak itu membawaku jauh mencari tempat gembalaan. Akhirnya aku tidak pulang kecuali setelah sore, dan aku dapati ibu bapakku telah tertidur. Aku pun memerah susu sebagaimana biasa, lalu aku datang membawa susu tersebut dan berdiri di dekat kepala mereka, dalam keadaan tidak suka membangunkan mereka dari tidur. Aku pun tidak suka memberi minum anak-anakku sebelum mereka (kedua orangtuanya) meminumnya. Anak-anakku sendiri menangis di bawah kakiku meminta minum karena lapar. Seperti itulah keadaanku dan mereka, hingga terbit fajar. Maka kalau ENGKAU tahu, aku melakukan hal itu karena mengharapkan wajah-MU, bukakanlah satu celah untuk kami dari batu ini agar kami melihat langit.'

Lalu ALLOH bukakan satu celah hingga mereka pun melihat langit..."
(Hadits Riwayat Imam Muslim 4926)

Dan ikhlashlah berbagi nafkah (jika harta suami masih berlebih) dengan kerabat suamimu! Janganlah membuka aib suamimu dan orangtuanya serta kerabatnya kepada orang lain! Do'akanlah kebaikan untuk mereka! Bertahanlah dalam keluargamu dan menerima lahir batin perlakuan suamimu (apalagi dalam hal kebaikan) maka niscaya ALLOH menyiapkan Surga bagimu, Semoga ALLOH menjagamu...

===

Layanan gratis estimasi biaya rangka atap baja ringan, genteng metal, dan plafon gypsum:
http://www.bajaringantangerang.com

===
Sent from my BlackBerry®
powered by Sinyal Kuat INDOSAT