Skip to main content

Sudah saatnya meniti manhaj Salaf

Manhaj

Syaikh Salim bin 'Id al-Hilali hafizhohuLLOOH:

Sudah saatnya meniti manhaj Salaf

Kewajiban bagi kaum Muslimin untuk mengikuti manhaj Salaf, adalah suatu keharusan. Karena manhaj ini merupakan cara beragama yang diridhoi ALLOH Sub-haanahu wa Ta'aala dan merupakan petunjuk Rosululloh shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam. Bahwasanya, ittiba-ur Rosul (mengikuti Rosululloh) tidak akan terwujud, kecuali dengan perantara, yang mengambil manhaj, istidlal dal talaqqi. Yakni para Shohabat ro-dhiyaLLOOHU 'anhum. Merekalah generasi awal ummat ini, yang disebutkan dalam firman ALLOH suroh at-Taubah (9): ayat 100, yang artinya: “Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshor dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, ALLOH ridho kepada mereka dan mereka pun ridho kepada ALLOH…” Bagaimana dan sejauh manakah kedudukan manhaj Salaf ini bagi ummat-ummat kemudian?

Berikut penjelasan Syaikh Salim bin ‘Id al-Hilali hafizhohuLLOOH, yang kami angkat dari ceramah umum yang beliau sampaikan di Masjid Jakarta Islamic Center, pada hari Ahad 23 Muharrom 1427 H bertepatan dengan 11 Februari 2007 M. Diterjemahkan secara bebas oleh Ustadz Abul Minhal hafizhohuLLOOH. Semoga bermanfaat.

Syaikh Salim bin ‘Id al-Hilali hafizhohuLLOOH berkata:

Sesungguhnya ALLOH Tabaroka wa Ta’ala telah memilihkan agama Islam bagi kita, meridhoi dan menyempurnakan serta melengkapinya. ALLOH berfirman:

“Pada hari ini telah KU-sempurnakan untuk kamu agamamu dan telah KU-cukupkan kepadamu nikmat-KU, dan telah KU-ridhoi Islam itu jadi agamamu.”
(Qur-an Suroh al-Maa-idah (5): ayat 3)

ALLOH telah menjelaskannya secara gambling dan menguraikannya dengan keterangan sangat rinci. ALLOH menerangkan melalui utusan dan bayan (penjelasan) Nabi kita Muhammad shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam. ALLOH berfirman:

“Dan KAMI turunkan kepadamu adz-Dzikr (al-Qur-an), agar kamu menerangkan kepada ummat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka.”
(Qur-an Suroh an-Nahl (16): ayat 44)

Di antara penjelasan yang Rosululloh shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam sampaikan, yaitu mengenai wajah Islam yang shohih (asli) yang masih utuh, dalam situasi perpecahan ummat dan silang pendapat yang menerpa mereka, seperti yang dialami ummat sebelumnya. Beliau shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam bersabda:

“Bangsa yahudi telah terpecah belah menjadi 71 golongan. Dan ummat nashoro telah tercerai berai menjadi 72 golongan. Dan ummatku akan terpecah menjadi 73 golongan. Semuanya berada di Neraka, kecuali satu (golongan).” Kemudian ada yang bertanya, “Siapakah mereka, wahai Rosululloh?” Beliau shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam bersabda, “(Yaitu golongan) yang berada di atas jalanku sekarang ini dan para Shohabatku.” (1)

Agama Islam saat permulaan penyebarannya sampai Rosululloh shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam wafat dan hingga kedatangan masa para Khulafa-ur Rosyidin adalah Islam yang satu; Islam (berdasarkan) al-Kitab (al-Qur-an) dan as-Sunnah (al-Hadits) dan ajaran-ajaran yang dibawa oleh Rosululloh shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam.

Selanjutnya, muncullah golongan-golongan, aliran-aliran pemikiran dan kelompok-kelompok. Masing-masing menggagas metode tersendiri untuk memahami agama. Silang pendapat ini kebanyakan bersifat ikhtilaf tadhodd (kontradiktif). Golongan-golongan yang banyak dan bermacam-macam ini, masing-masing mengklaim diri berada di atas Islam yang shohih, berada di atas kebenaran; sekalipun mereka adalah ahli bid’ah, saat melangsungkan ‘ibadah kepada ALLOH Sub-haanahu wa Ta'aala dengan bid’ah-bid’ah (‘ibadah ciptaan mereka), (dan) mereka menyangka sedang menjalankan sebuah kebajikan. Atas dasar ini, bid’ah lebih berbahaya daripada maksiat. Pasalnya, orang yang bermaksiat tidak berpikir sedang ber’ibadah dengan kemaksiatan-kemaksiatan yang dilakukannya. Sedangkan ahli bid’ah, maka syaithon menghias ‘amalan bid’ah pada pandangan ahli bid’ah, sehingga ia memandangnya sebagai kebaikan,. Karena itu, Sufyan ats-Tsauri rohimahuLLOOH berkata:

“Bid’ah lebih disukai oleh iblis ketimbang kemaksiatan. Karena maksiat masih dapat diharapkan bertaubat. Sedangkan bid’ah tidak dapat diharapkan bertaubat.” (2)

Dari sini, mungkin ada yang bertanya atau diam sejenak untuk melontarkan pertanyaan: “Atas dasar pemahaman apa, Islam yang shohih itu dibangun? Apakah merujuk pemahaman kaum khowarij, pemahaman golongan mu’tazilah, kerangka berpikir kelompok murji’ah? Ataukah berdasarkan pemahaman golongan-golongan yang termuat di dalam kitab-kitab tentang firoq (golongan-golongan yang sesat)?”

Oleh sebab itu, perlu disampaikan penjelasan mengenai Islam yang shohih sebagaimana telah disebutkan oleh ALLOH Ta’ala dan diridhoi oleh-NYA bagi kita, serta yang sudah disampaikan penjelasannya oleh Rosululloh shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam dan memerintahkan kita untuk konsisten di atasnya pada masa munculnya ikhtilaf (perbedaan) dan perpecahan.

Bersambung...

===

(1) Hadits Shohih Diriwayatkan oleh sejumlah Shohabat ro-dhiyaLLOOHU 'anhum. Lafazh di atas riwayat dari ‘Abdulloh bin ‘Amr bin al-Ash ro-dhiyaLLOOHU 'anhu. Diriwayatkan oleh Imam at-Tirmidzi 2641, Imam al-Hakim 1/128-129, Imam Ibnu Wadhdhoh dalam kitab al-Bida’ halaman 15-16, Imam al-Ajurri dalam kitab asy-Syari’ah 16, Imam al-Lalikai dalam kitab Syarhu Ushulil I’tiqod 147, dan lain-lain. Dishohihkan oleh Imam al-Albani di dalam kitab as-Silsilah al-Ahaadiits ash-Shohiihah. Menjadi shohih karena keberadaan beberapa syahid (penguat). Imam al-Hakim rohimahuLLOOH mengatakan tentang hadits ini, “Ini adalah hadits penting dalam masalah ushul.” Imam al-Albani di kitab yang sama, mengutip tash-hih dari para ‘Ulama sebelumnya. Misalnya Ibnu Hajar, Ibnu Taimiyyah, asy-Syathibi, al-‘Iroqi rohimahumuLLOOH.

(2) Kitab Syarhul Ushulil I’tiqod, Imam al-Lalikai 1185. Syaikhul Islam (Ibnu Taimiyyah) rohimahuLLOOH menerangkan maksud pernyataan di atas dengan berkata, “Sesungguhnya ahli bid’ah mengikuti ajaran yang tidak disyari’atkan ALLOH dan Rosul-NYA. Syaithon telah memperindah ‘amalan buruknya itu, hingga ia memandangnya baik. Ia tidak bertaubat selama menilai ‘amalannya baik. Sebab, permulaan taubat dimulai dengan ‘ilmu, bahwa tindakannya buruk untuk disesali. Atau lantaran ia meninggalkan suatu yang baik, yang wajib maupun sunnat. Dia bertaubat dan berjanji melaksanakannya. Selama orang itu melihat tindakannya merupakan ‘amalan baik, padahal ‘amalannya buruk, karenanya, ia tidak bertaubat.” Lihat kitab Majmu’ al-Fatawa 10/9. Dinukil dari kitab ‘Ilmu Ushulil Bida’ karya Syaikh ‘Ali bin Hasan al-Halabi hafizhohuLLOOH, halaman 218.

===

Sumber:
Majalah as-Sunnah, Upaya menghidupkan Sunnah, Edisi 01/ Tahun XI/ 1428 H/ 2007 M

===