Benarkah Cara Anda Bermadzhab: Kewajiban menjadikan al-Qur-an dan as-Sunnah sebagai sumber hukum (5)
Hanya saja titik sentral yang menjadi kesamaan antara seluruh faktor tersebut didasari oleh hal-hal esensial. Karena banyak tokoh 'Ulama hadits yang khawatir terhadap ijtihad yang menggambarkan buah pemikiran yang bebas di dalam bingkai kaidah-kaidah Islam di kalangan para 'Ulama. Sebagian Ulil Amri tidak melupakan bahwa ijtihad 'Ulama sering kali menyebabkan mereka merasa gelisah. Bukankah fatwa Imam Malik rohimahuLLOOH dahulu pernah mengguncang para Kholifah Bani al-'Abbas sehingga sulit tidur, karena menurut beliau perceraian tidak sah apabila dilakukan di bawah paksaan. Contoh perceraian seperti itu hanya karangan sebagian 'Ulama al-'Abbasiyah untuk menenteramkan masyarakat pada pemerintahan mereka. Mereka hanya ingin menarik masa kepada madzhab mereka sendiri. Hanya saja hal itu ditentang oleh seorang 'Ulama yang tidak takut cercaan manusia demi menegakkan syari'at ALLOH.
Al-Mansur telah berusaha membawa kaum Muslimin kepada madzhab Malik. Namun justru Imam Malik rohimahuLLOOH orang yang pertama kali secara berani menentangnya. Beliau berkata, "Wahai Amirul Mukminin, janganlah engkau melakukan hal itu! Sesungguhnya orang-orang telah mendengar hadits-hadits dan telah meriwayatkannya. Setiap orang meng'amalkan apa yang dia dengar. Dan hal itu dapat mendekatkan perbedaan yang pernah terjadi di kalangan para Shohabat Rosululloh shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam dan yang lainnya yang mereka dapatkan. Apabila engkau membantah keyakinan mereka, maka hal itu sangat sulit. Maka biarkanlah mereka dengan keyakinan tersebut dan segala yang telah mereka pilih di setiap negeri untuk diri mereka sendiri." (21)
Tetapi banyak generasi sesudah mereka yang melawan prinsip para pakar 'Ulama hanya untuk memenuhi permintaan para penguasa, dikarenakan cita-cita mereka yang melemah dan kemauan mereka yang sudah memudar sehingga mereka tenggelam dalam kehidupan dunia yang tak terbendung tanpa diiringi dengan rasa cinta. Lalu kehidupan tersebut diperindah di hadapan mereka karena hilangnya ajaran orang terdahulu. Mereka diselimuti oleh khayalan bahwa ummat Muhammad shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam ini telah menjadi lemah bahkan mandul setelah abad keempat hijriyah.
Demikianlah mereka memungut pendapat para pakar yang melancarkan kampanye kekhawatiran terhadap ijtihad, yaitu khawatir kalau ijtihad itu akan disandarkan kepada yang bukan ahlinya. Yakni dengan memanfaatkan kelemahan para 'Ulama dan ketidaktahuan banyak pihak yang menutup pintu ijtihad walaupun niat dan maksud mereka berbeda.
Ibnu Kholdun berkomentar, "Ketika kekhawatiran disandarkannya ijtihad kepada yang bukan ahlinya dan kepada orang yang tidak percaya kepada pendapatnya, maka mereka justru menunjukkan kelemahan dan ketidakberdayaan serta berusaha membujuk manusia untuk taqlid terhadap mereka ('Ulama tertentu) yang mereka anggap memiliki keistimewaan tersendiri.
Mereka juga melarang manusia agar tidak mempermainkan taqlid tersebut dan hanya menerima madzhab mereka. Dan memerintahkan setiap orang yang bertaqlid agar meng'amalkan sesuai dengan madzhab orang yang mereka ikuti setelah sanad dan jalan riwayatnya dijelaskan. Hanya fiqih merekalah yang boleh diterima hari ini, dan menyatakan ijtihad orang setelah mereka harus ditolak. Adapun ummat Islam hari ini hanya bertaqlid terhadap empat imam." (22)
Dan kami telah mengupas rahasia mereka yang melarang melakukan ijtihad. Namun, kami tidak menemukan pendapat mereka sejak dulu hingga sekarang yang menutup pintu ijtihad. Adapun hal itu merupakan dalil dari al-Kitab, as-Sunnah atau Atsar atau ijma' yang dapat dijadikan hujjah kecuali ucapan mereka, "Sesungguhnya 'Ulama mereka telah melarang untuk melakukan ijtihad karena khawatir terjadi pada ummat ini bahaya dan campuran syari'at karena mengikuti ketentuan ijtihad orang yang tidak memiliki hak untuk melakukan ijtihad baik secara 'ilmu maupun kewaroannya. Kemudian mereka hanya merusak agama, dan hanya mempermainkan hukum serta menghancurkan agama."
Asy-Syaikh Muhammad al-Hamid berkomentar, "Hal itu mereka larang agar tidak terjadi ijtihad dari orang yang bukan ahlinya. Sehingga dengan cara itu dapat diredam terjadinya bencana agama yang maha luas, seperti yang pernah dialami oleh orang-orang terdahulu sebelum kita.
Oleh karena itu, para 'Ulama yang bertaqwa berpandangan untuk menutup pintu ijtihad semata-mata karena kecintaan mereka terhadap ummat ini agar tidak terjadi penyimpangan di dalam agama." (23)
Sesungguhnya pendapat Syaikh ini jauh dari kebenaran. Seandainya pun pendapat tersebut benar adanya meski hanya sebesar biji sawi, niscaya ALLOH akan memberi kita petunjuk akan hal itu. Karena ALLOH lebih mengetahui kebaikan bagi manusia di dunia dan agama mereka. Demikian juga halnya, DIA lebih mengetahui apa yang akan membahayakan bagi mereka.
Oleh karena itu, mulai perkara yang paling besar sampai kepada perkara yang paling kecil pasti akan dinilai oleh ALLOH baik dalam wujud perintah maupun dalam hal larangan. Mengenai hal itu Rosululloh shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam telah menyampaikannya tanpa mengurangi dan menambahnya, seperti yang dinyatakan beliau shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam dalam sabdanya,
"Segala yang diperintahkan oleh ALLOH pasti telah kuperintahkan kepada kalian tanpa kutinggalkan sedikitpun, dan segala sesuatu yang dilarang oleh ALLOH pasti telah kularang juga bagi kalian tanpa kutinggalkan sedikitpun." (24)
Apakah seseorang beranggapan bahwasanya ALLOH mengetahui bahaya besar dan hari yang penuh dengan bahaya, tapi membiarkan ummat Islam ditelan masa dan berbuat sekehendaknya di dalam agama serta membiarkan kaum Muslimin berpecah belah dalam keburukan? Ataukah ALLOH lupa untuk memberi tahu sesuatu yang akan menimpa mereka? Sekali-kali tidak. Mengenai hal itu ALLOH berfirman,
"...dan tidaklah ROBB-mu lupa."
(Qur-an Suroh Maryam: ayat 64)
Bersambung...
===
(21) Kitab al-Itqo' fi Fadhlis Tsalatsat al-A'immatil Fuqoha' yang ditulis Imam Ibnu 'Abdil Bar halaman 41.
(22) Muqoddimah Ibnu Kholdun halaman 448.
(23) Kitab Luzum Ittiba' Madzhabil A'immah Hasman Lil Faudho ad-Diniyah, Muhammad Hamid halaman 10.
(24) Shohih lighoirihi. Dikeluarkan oleh Imam asy-Syafi'i dalam kitab Sunannya 1/14, dan dalam kitab ar-Risalah halaman 87 dan 93. Dan kitab al-Umm 7/289 dan 299. Diriwayatkan secara mursal.
Dari jalannya Imam al-Baihaqi dalam kitab Sunannya 7/76, dan dalam kitab Bayan Khotho' Man Akhtho'a 'Ala asy-Syafi'i halaman 92, dan dalam kitab Ma'rifatus Sunan wal Atsar 1/7. Dan Imam al-Khothib al-Baghdadi dalam kitab al-Faqih wal Mutafaqqih 1/93. Imam al-Albani menshohihkannya dalam kitab Silsilah al-Ahaadiits ash-Shohiihah 4/416-417, dengan menyatukan jalan riwayat tersebut. Dan Ustadz Syaikh Ahmad Syakir dalam mengomentari kitab ar-Risalah dengan ucapannya yang tegas, halaman 93-103. Lebih baik dimuroja'ah kembali kepada kitab aslinya.
===
Sumber:
Kitab: Halil Muslim Mulzam bittiba' Madzhab Mu'ayyan Minal Madzahib al-Arba'ah, Penulis: Syaikh Muhammad Sulthon al-Ma'shumi al-Khujandi, Penerbit: Dar Ibnul Qoyyim Dammam - Kerajaan Saudi Arobia, Cetakan I, Tahun 1422 H/ 2001 M. Judul terjemahan: Benarkah cara anda bermadzhab, Penerjemah: Abu Humaira Lc, Penerbit: Darul Haq Jakarta, Cetakan I, Tahun Robiul Awwal 1426 H/ April 2005 M.
===
Layanan gratis estimasi biaya rangka atap baja ringan, genteng metal, dan plafon gypsum:
http://www.bajaringantangerang.com
===
Sent from my BlackBerry®
powered by Sinyal Kuat INDOSAT