Benarkah Cara Anda Bermadzhab: Kewajiban menjadikan al-Qur-an dan as-Sunnah sebagai sumber hukum (4)
Hanya saja alasan seorang Imam tidak harus diikuti oleh seorang murid yang telah mengetahui kebenaran. Diriwayatkan secara sah ungkapan imam yang empat yang menguatkan kesimpulan tersebut dan menjelaskan prinsip mereka akan hal taqlid, yakni bahwasanya mereka berlepas diri dari kebiasaan tersebut secara umum. Prinsip mereka itu menunjukkan kesempurnaan 'ilmu dan ketaqwaan mereka. Hal itu menunjukkan pula bahwa mereka tidaklah menguasai 'ilmu Sunnah secara menyeluruh. Para murid mereka telah meriwayatkan ucapan dan pendapat yang beragam, yang kesemuanya itu menunjukkan satu pengertian: Keharusan menerima sebuah hadits apabila telah jelas shohih dan meninggalkan taqlid terhadap pendapat seseorang yang berlawanan dengan hadits shohih tersebut. Seperti pesan Imam Abu Hanifah rohimahuLLOOH terhadap Abu Yusuf rohimahuLLOOH, "Celaka engkau wahai Ya'qub, janganlah engkau menulis segala yang engkau dengar dariku. Sesungguhnya sekarang bisa saja aku berpendapat dan besok akan kutinggalkan, dan besok aku berpendapat mungkin lusa akan aku tinggalkan pula pendapat itu." (15)
Diriwayatkan dengan shohih ungkapan senada lain dari beberapa 'Ulama yang berbeda. Mereka semua bersepakat bahwa, "Apabila hadits itu shohih, maka itu adalah madzhabku." (16)
Al-Allamah Ibnu Hazm rohimahuLLOOH berkata, "Para 'Ulama menjelaskan bahwa para ahli Fiqih yang meniru pendapat imam lain ternyata juga melarang murid-murid mereka untuk bertaqlid kepada pendapat mereka. Di antara mereka yang paling keras melarangnya adalah asy-Syafi'i rohimahuLLOOH, sehingga beliau sangat kuat dalam mengikuti atsar yang shohih, serta mengikuti konsekuensi suatu hujjah yang belum diketahui 'Ulama lain. Beliau juga terhindar dari sifat taqlid, dan beliau menyuarakan hal itu. Semoga ALLOH memberikan kepadanya kebaikan dan ganjaran yang besar sehingga hal itu menjadikan kebaikan yang banyak bagi beliau." (17)
Oleh karena itu, murid para 'Ulama tersebut tidak mengambil pendapat imam mereka secara menyeluruh. Bahkan banyak yang mereka tinggalkan setelah jelas kebenaran dan Sunnah pada pendapat yang lainnya.
Abu Yusuf dan Muhammad bin al-Hasan asy-Syaibani berbeda pendapat dengan al-Imam Abu Hanifah rohimahuLLOOH pada sepertiga madzhab." (18)
Oleh karena itu, 'Ulama kontemporer sangat sedikit yang mengikuti sebuah madzhab sehingga tidak menutup kemungkinan untuk memiliki pendapat yang berlawanan dengan madzhab para 'Ulama terdahulu apabila mereka mendapatkan dalil yanh berseberangan dengan pendapat imam madzhab tersebut. Seperti Imam an-Nawawi rohimahuLLOOH yang berlainan pendapat dengan Imam asy-Syafi'i rohimahuLLOOH dalam hal wudhu' setelah memakan daging unta. (19)
As-Salafush Sholih selalu berpandangan bahwa perbuatan taqlid, mengekor dan memandulkan fungsi akal adalah perkara yang diingkari dan ditolak oleh Islam. Seyogyanya seorang Muslim atau Muslimah melakukan taqlid hanya pada waktu darurat. (20) Tetapi mengapa ijtihad akhirnya dianggap sesuatu yang baru muncul dalam kehidupan ummat Islam ini, padahal sebelumnya telah menjadi dasar penetapan hukum?
Banyak sekali faktor yang menyebabkan munculnya pemikiran terbalik dalam jumlah besar yang dapat menutup pikiran dan memusingkan kepala. Tidak diragukan lagi bahwa faktor-faktor keagamaan tidak layak diperlakukan secara demikian.
Bersambung...
===
(15) Kitab Shifat Sholatun Nabi shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam, Imam Muhammad Nashiruddin al-Albani rohimahuLLOOH halaman 25.
(16) Sesungguhnya para imam mengambil hadits shohih sebagai hujjah apabila hadits itu shohih menurut pendapat mereka dan pendapat yang lainnya dari kalangan ahli hadits.
Al-Allamah Ibnu Hazm rohimahuLLOOH berkata, "Yakni hadits itu shohih menurut pengakuannya atau menurut 'Ulama yang lainnya," dan telah ditegaskan oleh asy-Sya'roni dalam kitab al-Mizan 1/57.
Kami berpendapat, dalil mengenai hal itu banyak sekali, di antaranya:
a. Seperti ungkapan al-Imam asy-Syafi'i rohimahuLLOOH kepada Imam Ahmad rohimahuLLOOH, "Wahai Abu 'Abdillah, engkau lebih faham tentang hadits shohih dariku, maka apabila hadits tersebut shohih, ajarkanlah kepadaku sehingga aku dapat mendatanginya walaupun hadits itu dari Kufah, Bashroh, dan dari Syam." Aku menegaskan, ungkapan di atas sanadnya shohih (jelas) seperti sinar matahari, dari 'Abdulloh bin Ahmad bin Hambal dari bapaknya, mengenai ucapan tersebut beliau memiliki lima jalan periwayatan.
Pertama, dari jalan ath-Thobroni meriwayatjan darinya tentang hal itu. Dikeluarkan oleh Imam Abu Nu'aim dalam kitab Hilyatul Aulia' 9/170. Dan Imam Ibnu al-Jauzi dalam kitab Manaqib al-Imam Ahmad halaman 499. Dan Imam al-Khothib al-Baghdadi dalam kitab Mas'alatul Ihtijaj Bisy-Syafi'i halaman 70.
Kedua, dari jalan Abu Bakar bin Ja'far bin Hamdan bin Malik al-Qothi'i meriwayatkan darinya tentang hal itu. Dikeluarkan oleh Imam Abu Nu'aim dalam kitab Hilyatul Aulia' 9/106, dan Imam Ibnu 'Abdil Bar dalam kitab al-Intiqo' halaman 75. Dan Imam Ibnul Jauzi dalam Manaqib al-Imam Ahmad halaman 498-499.
Ketiga, dari jalan Muhammad bin 'Abdillah meriwayatkan darinya mengenai hal itu. Dikeluarkan oleh al-Qodhi Abu Ya'la dalam kitab Thobaqot Hanabilah 1/282.
Keempat, dari jalan al-Hadhromi meriwayatkan darinya akan hal itu. Dikeluarkan oleh Imam al-Baihaqi dalam kitab al-Madkhol Ila as-Sunnah halaman 173.
Kelima, dari jalan Abu Muhammad meriwayatkan darinya tentang hal itu. Dikeluarkan oleh Imam Ibnu Abi Hatim dalam kitab Adabusy Syafi'i wa Manaqibuhu halaman 94-95.
Aku berpendapat, sanadnya shohih.
Kesimpulan semua jalan riwayat tersebut menguatkan akan keshohihan ucapan tersebut berasal dari ucapan Imam asy-Syafi'i rohimahuLLOOH. Oleh karena itu, banyak 'Ulama menyatakan hal itu. Di antara mereka:
- al-Qodhi Abu Ya'la dalam kitab Thobaqot al-Hanabilah 1/6.
- al-Hafizh Ibnu Katsir dalam kitab al-Bidayah wan Nihayah 10/327.
- Imam Ibnul Imad al-Hambali dalam kitab Syadzrotudz Dzahab 2/10.
- Imam Ibnu Farhun al-Maliki dalam kitab ad-Dibajul Madzhab halaman 16.
- Imam Ibnu Qoyyim al-Jauziyah dalam kitab I'lamul Muwaqi'in 2/234.
- Imam al-Fulani dalam kitab Iqodh Himam Ulil Abshor halaman 147-148.
- Waliyulloh ad-Dahlawi dalam kitab Hujjatulloh al-Balighoh 1/148. Dan dalam kitab al-Inshof halaman 48.
b. Banyak pendapat yang shohih dalam menanggapi apa yang telah dikomentari oleh Imam asy-Syafi'i rohimahuLLOOH. Hal itu menunjukkan bahwa beliau mengambil sebuah hadits itu shohih menurut pengakuannya maupun menurut yang lainnya. Al-Hafizh Ibnu Hajar rohimahuLLOOH berkata dalam kitab Tawali at-Taksisi halaman 109, "Asy-Syafi'i telah banyak mengomentari ucapan terhadap sebuah hukum hadits shohih menurut pakarnya."
(17) Kitab al-Ihkam fi Ushulil Ahkam 6/118.
(18) Seperti yang terdapat di kitab Hasyiyah Ibnu 'Abidin 1/62.
(19) Kitab al-Majmu' 2/58-60. Dan kitab Syarhu Shohih Muslim 4/48-49.
(20) Ahlul Ahwa' dan orang yang memiliki ghiroh yang lemah berusaha membelokkan ucapan-ucapan para 'Ulama yang mencela taqlid dari pengertian yang dimaksudkan 'Ulama tersebut. Mereka menyatakan bahwa yang tidak boleh taqlid adalah orang-orang yang telah mencapai derajat mujtahid muthlaq.
Kami berpendapat, takwil seperti itu tidak benat dikarenakan beberapa sebab:
A. Mujtahid muthlaq adalah mujtahid yang tidak membutuhkan ijtihad dari orang yang setaraf dengannya untuk memahami dalil dari al-Qur-an dan as-Sunnah, lalu jelaslah bahwa larangan taqlid tertuju kepada ahli taqlid dan muttabi'.
B. Ucapan para 'Ulama itu mengarahkan ummat agar terhindar dari meng'ibadahi ALLOH karena khawatir disebabkan pendapat mereka tersebut dan berpaling dari al-Kitab dan as-Sunnah. Sementara seorang mujtahid tidak takut akan hal itu.
C. Ucapan para 'Ulama tersebut mengarahkan para murid mereka, dan mereka sebenarnya tidak sampai kepada derajat mujtahid, bahkan mereka tunduk mengikuti majelis guru mereka.
D. Tidak ada di antara pendapat 'Ulama yang banyak dan masyhur yang menunjukkan bahwa larangan taqlid hanya untuk tingkatan mujtahid saja. Pendapat mereka jelas bahwa larangan itu berlaku secara umum, sampai pada akhirnya datang kelompok ahli taqlid yang mencoba-coba untuk mengarahkan larangan itu hanya kepada golongan mujtahid saja.
E. Apabila pendapat para 'Ulama itu hanya diketahui oleh para mujtahid -sementara mereka itu dianggap sebagai muqollid golongan mujtahid itu muncul setelah abad keempat hijriyah- tapi mengapa orang yang taqlid itu menakwilkan ucapan para 'Ulama, sedangkan mereka sendiri bukanlah mujtahid?
===
Sumber:
Kitab: Halil Muslim Mulzam bittiba' Madzhab Mu'ayyan Minal Madzahib al-Arba'ah, Penulis: Syaikh Muhammad Sulthon al-Ma'shumi al-Khujandi, Penerbit: Dar Ibnul Qoyyim Dammam - Kerajaan Saudi Arobia, Cetakan I, Tahun 1422 H/ 2001 M. Judul terjemahan: Benarkah cara anda bermadzhab, Penerjemah: Abu Humaira Lc, Penerbit: Darul Haq Jakarta, Cetakan I, Tahun Robiul Awwal 1426 H/ April 2005 M.
===
Layanan gratis estimasi biaya rangka atap baja ringan, genteng metal, dan plafon gypsum:
http://www.bajaringantangerang.com
===
Sent from my BlackBerry®
powered by Sinyal Kuat INDOSAT