AL-MISHBAAHUL MUNIIRU FII TAHDZIIBI TAFSIIRI IBNU KATSIIR
SHAHIH TAFSIR IBNU KATSIR
JUZ 2
SURAT AL-BAQARAH
AL-BAQARAH, AYAT 187 (9)
HUKUM-HUKUM I'TIKAF
Firman Allah Ta'ala, "Janganlah kamu mencampuri mereka sedang kamu beri'tikaf di dalam masjid," 'Ali bin Abi Thalhah meriwayatkan dari Ibnu 'Abbas (radhiyallahu 'anhuma), "Ayat ini berkenaan dengan seseorang yang melakukan i'tikaf di masjid pada bulan Ramadhan atau selain Ramadhan, maka Allah mengharamkan baginya mencampuri isterinya pada mala atau siang hari hingga ia menyelesaikan i'tikafnya." (750)
Adh-Dhahhak mengatakan, "Dahulu seorang yang beri'tikaf keluar dari masjid dan mencampuri isterinya sekehendaknya. Maka Allah Ta'ala berfirman, 'Janganlah kamu mencampuri mereka sedang kamu beri'tikaf di dalam masjid.' Artinya, selama kalian masih dalam keadaan i'tikaf, maka janganlah kalian mendekati mereka, baik di masjid maupun di tempat lainnya." (751)
Demikian pula pendapat yang dikemukakan oleh Mujahid, Qatadah dan beberapa ulama lainnya, yakni bahwa sebelumnya mereka melakukan hal itu sehingga turunlah ayat ini. (752)
Ibnu Abi Hatim mengatakan, "Diriwayatkan dari Ibnu Mas'ud, Muhammad bin Ka'ab, Mujahid, 'Atha', al-Hasan, Qatadah, adh-Dhahhak, as-Suddi, ar-Rabi' bin Anas dan Muqatil bin Hayyan, mereka mengatakan, 'Seseorang tidak boleh mendekati isterinya ketika ia dalam keadaan i'tikaf.'" (753)
Pendapat yang disebutkan dari mereka ini menjadi kesepakatan para ulama, bahwa diharamkan bagi orang yang sedang beri'tikaf mendekati isterinya selama ia masih beri'tikaf di dalam masjid. Jika ia pulang ke rumah karena suatu keperluan yang mendesak, maka tidak diperkenankan baginya berlama-lama diam di rumah melainkan seperlunya saja, seperti buang hajat atau makan. Dan tidak dibolehkan baginya mencium (mencumbu) atau merangkul isterinya, serta tidak boleh menyibukkan diri dengan hal apa pun selain i'tikaf. Selain itu, tidak dibolehkan pula baginya menjenguk orang sakit, tetapi dibolehkan menanyakan keadaannya ketika ia sedang melintasinya.
I'tikaf memiliki beberapa hukum yang diuraikan secara rinci dalam bab tentang masalah i'tikaf, di antaranya ada yang telah disepakati oleh para ulama dan ada pula yang masih diperselisihkan. Dan kami telah membahasnya di akhir kitab puasa. Alhamdulillaah.
Maka dari itu, para ahli fiqih menulis kitab puasa disertai pembahasan tentang i'tikaf, mengikuti metode al-Qur-an yang mengingatkan masalah i'tikaf setelah puasa.
Allah Ta'ala menyebutkan i'tikaf setelah puasa, di dalamnya terdapat bimbingan dan peringatan untuk beri'tikaf ketika puasa atau pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan, sebagaimana tercantum dalam Sunnah dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa beliau beri'tikaf pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan hingga beliau diwafatkan oleh Allah 'Azza wa Jalla. Dan isteri-isteri beliau pun melaksanakan i'tikaf sepeninggal beliau. Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari 'Aisyah, Ummul Mukminin radhiyallahu 'anhuma. (754)
Dan dalam Shahiih al-Bukhari dan Shahiih Muslim disebutkan bahwa Shafiyyah binti Huyay (radhiyallahu 'anha) pernah berkunjung kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ketika beliau sedang beri'tikaf di masjid. Lalu ia berbicara di sisi beliau beberapa saat. Kemudian Shafiyyah berdiri untuk pulang ke rumahnya. Hal ini terjadi pada malam hari, dan Nabi (shallallahu 'alaihi wa sallam) pun berdiri untuk mengantarnya sampai di rumahnya (Shafiyyah). Tempat tinggal Shafiyyah ketika itu berada di rumah Usamah bin Zaid, di pinggiran kota Madinah. Dalam perjalanannya, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bertemu dengan dua orang laki-laki dari kaum Anshar. Ketika mereka berdua mengetahui bahwa ia adalah Nabi (shallallahu 'alaihi wa sallam), maka keduanya mempercepat langkahnya. Dalam riwayat lain disebutkan bahwa kedua orang itu bersembunyi, yakni merasa malu kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam karena beliau sedang berjalan bersama isterinya, maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepada keduanya:
على رسلكما، إنّها صفيّة بنت حييّ.
"Pelanlah kalian (dalam berjalan), sesungguhnya ia adalah Shafiyyah binti Huyay."
Artinya, janganlah kalian mempercepat langkah kalian, dan ketahuilah bahwa ia adalah Shafiyyah binti Huyay, isteriku. Maka keduanya berkata, "Subhaanallaah, wahai Rasulullah." Lalu beliau bersabda:
إنّ الشّيطان يجري من ابن آدم مجرى الدّمّ وإنّي خشيت أن يقذف في قلوبكما شيئا -أو قال- شرّا.
"Sesungguhnya syaitan itu mengalir dalam diri anak cucu Adam seperti aliran darah. Dan sesungguhnya aku khawatir ia akan melemparkan sesuatu -atau beliau bersabda, 'Keburukan'- dalam hati kalian." (755)
===
Catatan Kaki:
750. Ath-Thabari (III/540).
751. Ath-Thabari (III/541).
752. Ath-Thabari (III/541).
753. Ibnu Abi Hatim (I/385, 386, 387), tahqiq: DR. Al-Ghamidi.
754. Fat-hul Baari (IV/318) dan Muslim (II/831). [Al-Bukhari (no. 2026), Muslim (no. 1172)].
755. Fat-hul Baari (IV/326) dan Muslim (IV/1712). [Al-Bukhari (no. 2038), Muslim (no. 2175)].
===
Maraji'/ sumber:
Kitab: al-Mishbaahul Muniiru fii Tahdziibi Tafsiiri Ibnu Katsiir, Penyusun: Tim Ahli Tafsir di bawah pengawasan Syaikh Shafiyyurrahman al-Mubarakfuri, Penerbit: Daarus Salaam lin Nasyr wat Tauzi', Riyadh – Kerajaan Saudi Arabia, Cetakan terbaru yang telah direvisi dan disempurnakan, April 2000 M/ Muharram 1421 H, Judul terjemahan: Shahih Tafsir Ibnu Katsir Jilid 1, Penerjemah: Abu Ihsan al-Atsari, Penerbit: Pustaka Ibnu Katsir, Jakarta – Indonesia, Jumadal Awwal 1436 H/ Maret 2015 M.