Skip to main content

Surat Al-Baqarah Ayat 158 (2) | Shahih Tafsir Ibnu Katsir

AL-MISHBAAHUL MUNIIRU FII TAHDZIIBI TAFSIIRI IBNU KATSIIR

SHAHIH TAFSIR IBNU KATSIR

JUZ 2

SURAT AL-BAQARAH

AL-BAQARAH, AYAT 158 (2)

HUKUM SA'I DAN ASALNYA

Dalam Shahiih Muslim diriwayatkan sebuah hadits yang panjang dari Jabir radhiyallahu 'anhu. Di dalamnya disebutkan bahwa setelah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengerjakan thawaf di Baitullah, beliau kembali ke rukun (Hajar Aswad), lalu mengusapnya. Kemudian beliau keluar melalui pintu Shafa sambil mengucapkan, "Sesungguhnya Shafa dan Marwah adalah sebagian dari syi'ar Allah." Selanjutnya beliau bersabda,

"Aku memulai dengan apa yang dijadikan permulaan oleh Allah."

Dan dalam riwayat an-Nasa-i disebutkan:

"Mulailah kalian dengan apa yang dijadikan permulaan oleh Allah." (600)

Imam Ahmad meriwayatkan dari Habibah binti Abi Tajrah, ia mengatakan: "Aku pernah menyaksikan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengerjakan sa'i antara Shafa dan Marwah, sedangkan orang-orang berada di hadapan beliau, dan beliau berada di belakang mereka. Beliau berlari-lari kecil sehingga karena sangatnya, aku dapat melihat kedua lutut beliau dililit oleh kainnya. Beliau pun bersabda,

"Kerjakanlah sa'i karena Allah Ta'ala telah mewajibkan sa'i atas kalian." (601)

Hadits ini menjadi dalil bagi orang yang berpendapat bahwa sa'i antara Shafa dan Marwah merupakan salah satu rukun haji (sehingga haji menjadi tidak sah apabila meninggalkannya, -pent).

Pendapat lain mengatakan bahwa sa'i antara Shafa dan Marwah itu merupakan suatu kewajiban, bukan rukun. Karena itu barangsiapa meninggalkannya dengan sengaja atau dalam keadaan lalai (hajinya tetap sah), namun ia harus menggantinya dengan membayar dam (denda).

Ada juga yang berpendapat bahwa sa'i antara Shafa dan Marwah merupakan suatu amalan mustahabb (perkara yang dianjurkan).

Dan yang benar, sa'i di antara keduanya adalah rukun atau wajib dalam haji. Allah Ta'ala menjelaskan bahwa sa'i antara Shafa dan Marwah merupakan salah satu syi'ar-Nya, dan termasuk sesuatu yang disyari'atkan kepada Ibrahim 'alaihis salam dalam menunaikan ibadah haji.

Dan telah dikemukakan sebelumnya dalam hadits yang diriwayatkan dari Ibnu 'Abbas bahwa asal-usul sa'i didasarkan pada peristiwa Hajar yang berlari-lari kecil bolak-balik antara Shafa dan Marwah dalam rangka mencari air untuk puteranya setelah air dan bekal keduanya sudah habis. Yaitu ketika Ibrahim 'alaihis salam meninggalkan keduanya di sana, sedang di tempat itu tidak ada seorang pun. maka ketika Hajar mengkhawatirkan keadaan puteranya dan perbekalan pun telah habis, ia berdiri mencari pertolongan dari Allah. Ia berjalan bolak-balik di tanah suci antara bukit Shafa dan bukit Marwah, dengan perasaan tunduk, takut dan khawatir serta memohon kepada Allah. Akhirnya, Allah melepaskan kesulitannya, menghilangkan kesepiannya dan memudahkan kesusahannya. Allah Ta'ala memancarkan air zam-zam untuk keduanya. Air yang merupakan makanan yang dapat mengenyangkan, dan obat bagi penyakit.

Orang yang sedang mengerjakan sa'i antara bukit Shafa dan Marwah hendaklah menghadirkan rasa tunduk, hina, dan sangat butuh kepada-Nya. Hal ini untuk meraih petunjuk bagi hatinya, kebaikan bagi keadaannya, dan pengampunan bagi dosa-dosanya. Juga hendaklah ia segera berlindung kepada Allah 'Azza wa Jalla dalam rangka membersihkan dirinya dari berbagai kekurangan dan aib. Di samping itu, hendaklah ia memohon agar diberikan petunjuk ke jalan yang lurus dan ditetapkan di atasnya sampai ajal menjemput, serta dialihkan keadaannya yang penuh dosa dan maksiat kepada keadaan yang penuh kesempurnaan, ampunan, kelurusan dan keistiqamahan, sebagaimana yang telah dikerjakan oleh Hajar 'alaihas salam.

Dan firman-Nya, "Barangsiapa yang berbuat kebaikan dengan kerelaan hati," ada yang mengatakan, maksudnya menambahkan jumlah putaran sa'i dari jumlah yang wajib, menjadi 8 atau 9 putaran atau lebih dari itu. Ada juga yang berpendapat, maksud dari ayat di atas adalah mengerjakan sa'i antara Shafa dan Marwah pada saat mengerjakan haji tathawwu' atau umrah tathawwu' (tidak wajib).

Pendapat yang lain mengatakan bahwa yang dimaksud dengan tathawwa'a khairan itu berlaku dalam setiap ibadah, sebagaimana disebutkan oleh ar-Razi yang dinisbatkan kepada al-Hasan al-Bashri. (602) Wallaahu a'lam.

Dan firman Allah, "Maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri kebaikan lagi Maha Mengetahui." Yakni, Dia akan memberikan pahala yang banyak atas amal yang sedikit, dan Dia Maha Mengetahui kadar pahala, sehingga Dia tidak akan mengurangi pahala seseorang dan tidak akan menzhaliminya, walaupun hanya sebesar dzarrah. Dan jika ada kabajikan, meskipun sebesar dzarrah, niscaya Allah akan melipatgandakannya. Dia akan memberikan pahala yang besar dari sisi-Nya.

===

Catatan Kaki:

600. Muslim (II/886) dan an-Nasa-i (V/239). [Lafazh pertama adalah shahih, diriwayatkan oleh Muslim (no. 1218). Sedangkan lafazh kedua adalah lafazh yang syadzdz (ganjil), sehingga Syaikh al-Albani rahimahullah mendha'ifkannya dalam kitab Dha'iiful Jaami' (no. 36)].

601. Ahmad (VI/421). [Shahih: Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani rahimahullah dalam kitab Shahiihul Jaami' (no. 968)].

602. Ar-Razi (IV/146).

===

Maraji'/ sumber:

Kitab: al-Mishbaahul Muniiru fii Tahdziibi Tafsiiri Ibnu Katsiir, Penyusun: Tim Ahli Tafsir di bawah pengawasan Syaikh Shafiyyurrahman al-Mubarakfuri, Penerbit: Daarus Salaam lin Nasyr wat Tauzi', Riyadh – Kerajaan Saudi Arabia, Cetakan terbaru yang telah direvisi dan disempurnakan, April 2000 M/ Muharram 1421 H, Judul terjemahan: Shahih Tafsir Ibnu Katsir Jilid 1, Penerjemah: Abu Ihsan al-Atsari, Penerbit: Pustaka Ibnu Katsir, Jakarta – Indonesia, Jumadal Awwal 1436 H/ Maret 2015 M.

Popular posts from this blog