Shahih Tafsir Ibnu Katsir
Al-Baqarah, Ayat 57
Dan Kami naungi kamu dengan awan, dan Kami turunkan kepadamu "Manna" dan "Salwa". Makanlah dari makanan yang baik-baik yang telah Kami berikan kepadamu. Dan tidaklah mereka menganiaya Kami, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri. (QS. 2: 57)
Mereka Dinaungi Awan dan Diturunkan kepada Mereka Manna dan Salwa
Setelah Allah Ta'ala mengingatkan adzab yang telah diangkat dari mereka, Dia pun mengingatkan mereka akan berbagai nikmat yang telah dikaruniakan-Nya kepada mereka. Dia berfirman: "Dan Kami naungi kamu dengan awan."
Kata (غَمَامٌ) ghamaamun adalah jamak dari kata (غَمَامَةٌ) ghamaamatun, disebut seperti itu karena ia menutupi langit. Yakni awan putih yang menaungi mereka dari terik matahari di padang pasir. Demikian yang dikatakan oleh Ibnu Abi Hatim.
Dan diriwayatkan dari Ibnu 'Umar (ra-dhiyallaahu 'anhuma), ar-Rabi' bin Anas, Abu Mijlaz, adh-Dhahhak dan as-Suddi pendapat yang serupa dengan pendapat Ibnu 'Abbas (ra-dhiyallaahu 'anhuma). (213)
Al-Hasan dan Qatadah menjelaskan tentang firman Allah: "Dan Kami naungi kamu dengan awan," bahwa peristiwa ini terjadi di daratan. Gumpalan awan memayungi mereka dari terik matahari. (214)
Ibnu Jarir berkata: "Ulama lainnya menjelaskan bahwa ia adalah naungan awan yang lebih dingin dan lebih nyaman." (215)
Firman-Nya: "Dan Kami turunkan kepada kalian manna." 'Ali bin Abi Thalhah meriwayatkan dari Ibnu 'Abbas (ra-dhiyallaahu 'anhuma): "Al-manna itu jatuh kepada mereka tepat di atas pepohonan, lalu mereka mengambil dan memakan darinya sekehendak mereka."
Qatadah berkata: "Al-manna ini turun di tempat-tempat pemukiman mereka sebagaimana turunnya salju, lebih putih dari susu dan lebih manis dari madu. Turun kepada mereka mulai dari terbit fajar hingga terbit matahari. Mereka mengambilnya sekedar untuk kebutuhan mereka satu hari. Jika lebih, maka dengan sendirinya pasti rusak dan tidak akan tersisa. Hingga pada hari yang keenam, yaitu hari Jum'at, mereka mengambilnya untuk kebutuhan hari keenam dan ketujuh, karena hari ketujuh (hari Sabtu) adalah hari besar mereka. Tidak boleh seorang pun muncul (keluar) untuk mencari kehidupan pada hari itu atau mencari apapun. Dan semua itu terjadi di daratan." (216)
Jika al-manna yang sangat populer itu dimakan begitu saja tanpa dicampur apapun, maka ia berfungsi sebagai makanan dan manisan. Jika dicampur dengan air, ia akan menjadi minuman segar. Dan jika dicampur dengan yang lainnya, ia akan menjadi jenis makanan yang berbeda. Akan tetapi, bukan itu saja yang dimaksud oleh ayat di atas.
Dalil yang mendasari hal ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh imam al-Bukhari dari Sa'id bin Zaid ra-dhiyallaahu 'anhu, ia berkata, "Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam telah bersabda:
'Cendawan kam-ah itu berasal dari al-manna dan airnya menjadi obat untuk mata ('ain).'" (217)
Hadits ini diriwayatkan juga oleh imam Ahmad (218) dan beberapa perawi lainnya dalam kitab mereka, kecuali Abu Dawud. At-Tirmidzi mengatakan: "Hadits ini hasan shahih." (219)
At-Tirmidzi meriwayatkan dari Abu Hurairah (ra-dhiyallaahu 'anhu), ia mengatakan, "Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda:
'Kurma 'ajwah itu berasal dari Surga, di dalamnya terdapat obat penawar terhadap racun. Dan cendawan kam-ah berasal dari al-manna dan airnya menjadi obat untuk mata ('ain).'" (220)
Imam at-Tirmidzi terpisah seorang diri dalam periwayatannya. (221)
Sedangkan as-Salwa, 'Ali bin Abi Thalhah meriwayatkan dari Ibnu 'Abbas (ra-dhiyallaahu 'anhuma), ia berkata: "Salwa itu adalah seekor burung yang menyerupai puyuh, mereka biasa makan dari burung-burung tersebut."
As-Suddi meriwayatkan dari Ibnu 'Abbas dan Ibnu Mas'ud serta dari beberapa orang Shahabat ra-dhiyallaahu 'anhum yang menyebutkan bahwa as-salwa adalah burung sejenis puyuh. (222)
Demikian pula yang dikatakan oleh Mujahid, asy-Sya'bi, adh-Dhahhak, al-Hasan, 'Ikrimah dan ar-Rabi' bin Anas rahimahumullaah. (223)
Menurut 'Ikrimah, "As-salwa adalah seekor burung seperti burung yang ada di Surga, lebih besar dari burung layang-layang (pipit) atau sejenisnya." (224)
Qatadah berkata: "As-salwa adalah burung yang berwarna kemerah-merahan. Burung ini dikumpulkan untuk mereka oleh angin selatan. Mereka menyembelihnya sekedar untuk kebutuhan sehari. Jika lebih, maka dengan sendirinya akan rusak dan tidak akan tersisa. Hingga pada hari yang keenam, yaitu hari Jum'at, mereka mengambilnya untuk kebutuhan hari keenam dan ketujuh, karena hari ketujuh (hari Sabtu) adalah hari besar mereka. Tidak boleh seorangpun keluar untuk mencari kehidupan pada hari itu atau mencari apapun. (225)
Firman Allah Ta'ala, "Makanlah dari makanan yang baik-baik yang telah Kami berikan kepadamu," ini adalah perintah yang mengandung makna ibaahah (pembolehan), bimbingan, dan penganugerahan nikmat.
Firman Allah berikutnya, "Dan tidaklah mereka menganiaya Kami, tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri." Artinya, Kami telah memerintahkan kepada mereka untuk memakan makanan yang telah Kami rizkikan kepada mereka dan agar mereka beribadah kepada Allah saja, sebagaimana firman-Nya: "Makanlah dari rizki Rabbmu dan bersyukurlah kepada-Nya." (QS. Saba': 15). Akan tetapi, mereka melanggar dan kufur. Dengan demikian mereka telah menzhalimi diri sendiri, padahal mereka telah menyaksikan tanda-tanda kekuasaan-Nya, juga berbagai penjelasan dan mukjizat yang pasti, serta hal-hal yang sangat luar biasa.
===
(213) Ibnu Abi Hatim (1/174).
(214) Ibnu Abi Hatim (1/174).
(215) Tafsiir ath-Thabari (2/91).
(216) Ibnu Abi Hatim (1/176).
(217) Fat-hul Baari (8/14). [Al-Bukhari (no. 4478)].
(218) Ahmad (1/187).
(219) Fat-hul Baari (8/14), Muslim (3/1619), Tuhfatul Ahwadzi (6/235), an-Nasa-i dalam al-Kubra (4/370), Ibnu Majah (2/1143). [Muslim (no. 2049), at-Tirmidzi (no. 2067), Ibnu Majah (no. 3454)].
(220) Tuhfatul Ahwadzi (6/235). [Shahih: at-Tirmidzi (no. 2066). Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahiihul Jaami' (no. 4126, 4127)].
(221) Tuhfatul Ahwadzi (6/236).
(222) Tafsiir ath-Thabari (2/92).
(223) Ibnu Abi Hatim (1/178).
(224) Ibnu Abi Hatim (1/179).
(225) Ibnu Abi Hatim (1/179).
===
Maraji'/ sumber:
Kitab: al-Mishbaahul Muniiru fii Tahdziibi Tafsiiri Ibnu Katsiir, Penyusun: Tim Ahli Tafsir di bawah pengawasan Syaikh Shafiyyurrahman al-Mubarakfuri, Penerbit: Daarus Salaam lin Nasyr wat Tauzi', Riyadh - Kerajaan Saudi Arabia, Cetakan terbaru yang telah direvisi dan disempurnakan, April 2000 M/ Muharram 1421 H, Judul terjemahan: Shahih Tafsir Ibnu Katsir Jilid 1, Penerjemah: Abu Ihsan al-Atsari, Edit Isi: Abu Ahsan Sirojuddin Hasan Bashri Lc, Penerbit: Pustaka Ibnu Katsir, Jakarta - Indonesia, Cetakan Keempat Belas, Jumadal Awwal 1436 H/ Maret 2015 M.
===
Abu Sahla Ary Ambary Ibnu Ahmad al-Bantani
Sent from my BlackBerry®
powered by Sinyal Kuat INDOSAT