Skip to main content

Surat Al-Baqarah Ayat 116-117 (3) | Shahih Tafsir Ibnu Katsir

Al-Mishbaahul Muniiru fii Tahdziibi Tafsiiri Ibnu Katsiir

Shahih Tafsir Ibnu Katsir

Surat al-Baqarah

Al-Baqarah, Ayat 116-117 (3)

As-Suddi mengatakan, "'Semua tunduk kepada-Nya,' yakni mereka semua tunduk pada hari Kiamat." (456)

Khashif meriwayatkan dari Mujahid tentang ayat, "Semua tunduk kepada-Nya," ia mengatakan, "Yakni mereka semua patuh. Jadilah manusia, maka jadilah ia." (457) Dan ia mengatakan, "Jadilah keledai, maka jadilah ia."

Ibnu Abi Najih meriwayatkan dari Mujahid, "Semua tunduk kepada-Nya," mereka senantiasa taat. Ia mengatakan, "Taatnya orang kafir adalah dengan sujudnya bayangan tubuhnya, sedangkan orang kafir itu sendiri membenci sujud." (458)

Pendapat ini diriwayatkan dari Mujahid dan merupakan pilihan Ibnu Jarir. Seluruh pendapat di atas disatukan dalam satu ungkapan, yaitu bahwa al-qunuut berarti ketaatan dan ketundukan kepada Allah. Dan ketaatan dan ketundukan ini terbagi dua, yaitu secara syar'i (berdasarkan syari'at) dan secara qadari (berdasarkan takdir), sebagaimana Allah Ta'ala berfirman, "Hanya kepada Allah-lah segala yang ada di langit dan di bumi ini sujud (tunduk, patuh), baik dengan kemauan sendiri maupun terpaksa, (dan sujud) pula bayang-bayangnya pada waktu pagi dan petang hari." (QS. Ar-Ra'd: 15)

Makna Al-Badii'

Firman Allah Ta'ala, "Allah Pencipta langit dan bumi." Artinya, Dia-lah Pencipta keduanya tanpa adanya contoh sebelumnya.

Mujahid dan as-Suddi mengatakan, "(Penafsiran) ini sesuai dengan makna yang dituntut secara bahasa."

Makna dan Pembagian Bid'ah, -pent.

Maka dari itu setiap perkara yang (benar-benar) baru diadakan disebut dengan bid'ah, sebagaimana tercantum dalam Shahiih Muslim,

"Karena sesungguhnya setiap perkara yang baru adalah bid'ah."

Dan bid'ah ini terbagi dua:

1. Bid'ah syar'iyyah, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam:

"Sesungguhnya setiap perkara yang baru (dalam agama) adalah bid'ah. Dan setiap bid'ah adalah sesat." (459)

2. Bid'ah lughawiyyah (secara bahasa), seperti ucapan Amirul Mukminin 'Umar bin al-Khaththab, ketika ia mengumpulkan kaum muslimin untuk melaksanakan shalat Tarawih secara berjama'ah terus-menerus, ia mengatakan,

"Sebaik-baik bid'ah adalah ini." (460)

===

Catatan Kaki:

456. Ath-Thabari (II/538).

457. Ibnu Abi Hatim (I/349).

458. Ibnu Abi Hatim (I/348).

459. Muslim (II/592) [Lafazh ini berdasarkan riwayat Abu Dawud (no. 4607), dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahiihul Jaami' (no. 2549). Dan lafazh dalam Shahiih Muslim (no. 867), berbunyi: "... Dan seburuk-buruk perkara adalah yang diada-adakan (dalam agama), dan setiap bid'ah adalah sesat)].

460. [Al-Muwaththa' (Riwayat Yahya al-Laitsi)(no. 250), cet. Daar Ihya-ut Turats al-'Arabi. Tahqiq: Muhammad Fu-ad 'Abdul Baqi. Pernyataan 'Umar ini tidak boleh dijadikan dalil untuk mengatakan adanya bid'ah hasanah, karena maksud dari perkataan beliau di sini adalah bid'ah secara bahasa. Asapun secara syari'at seluruh bid'ah itu adalah sesat, berdasarkan keumuman sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam di atas].

===

Maraji'/ sumber:

Kitab: al-Mishbaahul Muniiru fii Tahdziibi Tafsiiri Ibnu Katsiir, Penyusun: Tim Ahli Tafsir di bawah pengawasan Syaikh Shafiyyurrahman al-Mubarakfuri, Penerbit: Daarus Salaam lin Nasyr wat Tauzi', Riyadh – Kerajaan Saudi Arabia, Cetakan terbaru yang telah direvisi dan disempurnakan, April 2000 M/ Muharram 1421 H, Judul terjemahan: Shahih Tafsir Ibnu Katsir Jilid 1, Penerjemah: Abu Ihsan al-Atsari, Penerbit: Pustaka Ibnu Katsir, Jakarta – Indonesia, Jumadal Awwal 1436 H/ Maret 2015 M.