Skip to main content

Definisi memanjangkan umur (2)

Memahami tujuan hidup

Definisi memanjangkan umur

ALLOH memerintahkan kepada Malaikat untuk mencatat ajal seseorang. Setelah masanya tiba, ALLOH mengasihi orang itu dengan memperpanjang umurnya. Para Malaikat tidak tahu apakah umur orang tersebut bertambah atau tidak. ALLOH Maha Mengetahui setiap urusan. Apabila ajal telah tiba, maka tak seorang pun yang sanggup menangguhkan atau mempercepatnya. (12)

Ibnu Hajar rohimahuLLOOH menukil perkataan Ibnu at-Tiin, "Makna zhohir hadits ini bertentangan dengan firman ALLOH: 'Maka apabila telah datang waktunya mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak dapat (pula) memajukannya' (Qur-an Suroh al-A'rof: ayat 34)."

Lalu beliau rohimahuLLOOH menggabungkan hadits dan ayat di atas dengan dua jalan:

Pertama, penambahan umur merupakan kiasan tentang keberkahan umur. Karena orang itu senantiasa mendapat bimbingan pada ketaatan sehingga selalu mengisi umurnya dengan hal-hal bermanfaat untuk kehidupan akhirahnya dan terhindar dari perbuatan sia-sia.

Usia ummat Muhammad Shallallaahu 'alaihi wa Sallam relatif singkat jika dibandingkan dengan usia ummat-ummat terdahulu. Maka Allah menganugerahkan malam Lailatul Qadr atau malam yang lebih baik daripada seribu bulan. Dengan menyambung silaturrahim, seseorang mendapat bimbingan pada ketaatan dan terhindar dari kesia-siaan. Dengan demikian, jika ia telah wafat, namanya selalu harum dan dikenang. Seolah-olah ia belum meninggal dunia. Adapun hal-hal yang menyebabkan ia senantiasa mendapatkan bimbingan adalah 'ilmu bermanfaat yang ia wariskan pada orang lain, shadaqah jariyah, dan anak shalih yang senantiasa mendo'akannya.

Kedua, penambahan yang dimaksud dalam hadits tersebut adalah penambahan umur atas apa yang sebelumnya dicatat oleh para Malaikat, sebagaimana diisyaratkan oleh ayat di atas.

Namun berdasarkan 'ilmu Allah hal itu berbeda. Seakan Allah berfirman kepada Malaikat, sebagai contoh: Usia si fulan 100 tahun jika ia menyambung silaturrahim, dan 60 tahun jika ia memutuskan silaturrahim. Tapi telah pasti dalam 'ilmu Allah bahwa orang itu akan menyambung silaturrahim atau memutuskannya. Maka usia orang itu ada pada 'ilmu Allah yang Mahakuasa mengurangi dan menambahnya. Tak seorang pun yang sanggup menjangkau 'ilmu Allah. Itulah maksud firman Allah: (13)

"Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki), dan di sisi-Nya-lah terdapat Ummul Kitab (Lauh Mahfuzh)."
(Qur-an Surah ar-Ra'd: ayat 39)

Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullaah, seorang 'ulama abad ini, mengomentari hadits: "Barangsiapa yang ingin dilapangkan rizqinya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaklah ia menyambung silaturrahim," dengan berkata, "Kita hendaknya memahami hadits itu berdasarkan zhahirnya bahwa Allah menjadikan silaturrahim sebagai sebab umur bertambah. Sama halnya dengan sebab-sebab lain seperti berperilaku baik dan memuliakan tetangga, sebagaimana disebutkan dalam sejumlah hadits shahih. Sebab-sebab itu tidak bertentangan dengan nash maupun logika. Seperti halnya kebahagiaan dan kesengsaraan sangat tergantung kepada sebab apakah seseorang mau berusaha atau tidak. Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda, "Beramallah kalian. Karena segala sesuatu telah dimudahkan jalannya. Barangsiapa yang ditaqdirkan bahagia, maka ia akan dimudahkan mengerjakan amal orang yang bahagia. Barangsiapa yang ditaqdirkan sengsara, maka ia akan dimudahkan untuk mengerjakan pekerjaan orang sengsara." Lalu Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam membaca firman Allah:

"Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertaqwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (Surga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup, serta mendustakaan pahala yang terbaik, maka kelak Kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar."
(Qur-an Surah al-Lail: ayat 5-10)

Seperti halnya iman bertambah karena ketaatan dan berkurang karena kemaksiatan, maka demikian juga umur, akan ditambah dan dikurangi dengan sebab yang dikehendaki oleh syari'at. Karena itu, banyak riwayat yang menyebutkan bahwa kita boleh berdo'a agar panjang umur." (14)

Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin rahimahullaah berpendapat, hadits itu tidak berarti bahwa manusia memiliki dua umur; umur pertama jika ia menyambung silaturrahim dan umur kedua jika ia memutuskan silaturrahim. Umur yang ditetapkan kepada manusia tetap satu. Orang yang ditaqdirkan oleh Allah untuk menyambung silaturrahim, maka ia pasti akan menyambung silaturrahim. Adapun orang yang ditaqdirkan Allah bahwa ia akan memutuskan silaturrahim maka ia pasti akan memutuskan silaturrahim. Dalam hadits ini, Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam hendak mendorong ummatnya agar senantiasa mengerjakan kebaikan. Sama halnya jika seseorang mengatakan kepada saudaranya: "Barangsiapa yang ingin memiliki keturunan maka hendaklah ia menikah." Maka, pernikahan dan memiliki keturunan telah ditentukan. Kalau Allah menghendaki orang itu memiliki keturunan, maka Allah akan mempermudah jalan baginya menuju pernikahan.

Seperti halnya rizqi. Setiap manusia telah ditentukan rizqinya. Silaturrahimnya telah ditentukan, namun ia tidak mengetahui semua itu. Maka Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam mendorongnya dengan memberikan imbalan dari silaturrahim itu berupa kelapangan rizqi dan panjang umur, walaupun kedua-duanya telah ditentukan kadarnya. Harus diingat, kelapangan rizqi dan panjang umur bersifat relatif. Kadang kita saksikan, orang yang sering menyambung silaturrahim rizqinya dilapangkan, namun ia memiliki usia yang pendek. Maka kita katakan: Seandainya orang itu memutuskan tali silaturrahim, maka usianya akan lebih pendek. Tapi Allah telah menentukan bahwa orang itu senantiasa akan menyambung silaturrahim dan umurnya akan berakhir pada waktu tertentu." (15)

Kesimpulan dari berbagai pendapat para 'ulama tentang penafsiran hadits di atas adalah sebagai berikut:

Pertama, makna umur dipanjangkan berarti dipenuhinya umur itu dengan keberkahan.

Kedua, jumlah umur ditambah secar hakiki.

Ketiga, namanya senantiasa dikenang. Kebaikannya selalu disebut-sebut walaupun ia telah tiada.

Pendapat ketiga ini disebutkan oleh Imam an-Nawawi rahimahullaah yang dinukil dari Qadhi Iyyadh. Walau begitu, Imam an-Nawawi menganggapnya lemah. Pendapat ini juga dikuatkan oleh Imam Ibnu Hajar rahimahullaah yang dinukil dari Ibnu at-Tiin dan dikuatkan oleh ath-Thibi.

Barangkali yang paling tepat untuk mewakili makna hadits tersebut adalah pendapat pertama dan kedua. Meski begitu, tak mengapa jika ketiga kesimpulan di atas mewakili makna hadits tersebut.

Sebaiknya kit menghindari perbedaan pendapat dalam hal ini. Tujuan kita adalah bagaimana sisa umur kita manfaatkan dengan sebaik mungkin dengan cara mengumpulkan 'amal sebanyak-banyaknya. Sebab, seburuk-buruk manusia adalah mereka yang diberikan umur panjang namun diisi dengan hal-hal yang mendekatkan mereka pada Neraka. Seperti disebutkan dalam hadits riwayat Abu Bakrah radhiyallaahu 'anhu.

Yusuf Qardhawi berpendapat bahwa hakikat umur manusia bukanlah tahun-tahun yang ia lewati dari ia lahir sampai meninggal dunia. Tapi hakikat umur manusia adalah berapa banyak jumlah 'amal shalih yang telah ia kumpulkan dalam neraca kebaikannya. Karena itu, tidak aneh jika engkau melihat seseorang yang diberikan jatah hidup di dunia lebih dari 100 tahun namun kebaikan dan 'amal shalihnya sama sekali tak ada, atau bahkaan dipenuhi dosa dan maksiat. Kadang pula, seseorang meninggal dalam usia muda, namun hari-hari yang ia lewati penuh dengan kebaikan. Seorang ahli hikmah pernah berkata:

Boleh saja seseorang punya jatah hidup panjang namun hari-harinya kosong dari kebaikan.

Boleh saja seseorang memiliki usia pendek namun hari-haarinya penuh kebaikan.

Barangsiapa yang diberkahi umurnya, ia pasti memperoleh karunia Allah. (16)

===

(13) Kitab Fath al-Bari, kitab Adab, bab Man Bushitha lahu fii ar-Rizq bi Shilatirrahim 10/429.

(14) Kitab Shahih Adab al-Mufrad li al-Bukhari, karya Imam Muhammad Nashiruddin al-Albani, halaman 50.

(15) Kitab Majmu' Tsamin Fatawa, Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin, 2/201.

(16) Lihat kitab al-Waqtu fi Hayah al-Muslim, Yusuf Qardhawi, halaman 55. Pendapat ini sebelumnya disebutkan oleh Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah.

===

Sumber:
Kitab: Kaifa Tu-thilu 'Umruka al-Intaajii, Penyusun: Muhammad bin Ibrohim an-Nu'aim, Pengantar: Syaikh Dr. Sholih bin Ghonim as-Sadlan, Syaikh 'Abdurrohim bin Ibrohim al-Hasyim, Penerbit: Daar adz-Dzakhoir, Dammam - Arob Saudi, Cetakan ke-3, Tahun 1422 H, Judul terjemah: Manajemen Umur, Resep Sunnah Menambah Pahala dan Usia, Penerjemah: M. Yasir 'Abdul Muthalib Lc, Penerbit: Pustaka at-Tazkia, Jakarta - Indonesia, Cetakan Pertama, Robi'ul Awwal 1426 H/ Mei 2005 M.

===

Layanan gratis estimasi biaya rangka atap baja ringan, genteng metal, dan plafon gypsum:
http://www.bajaringantangerang.com

===
Sent from my BlackBerry®
powered by Sinyal Kuat INDOSAT

Popular posts from this blog