Skip to main content

Pernyataan para imam untuk mengikuti Sunnah dan meninggalkan yang menyalahi Sunnah (4)

Pernyataan para imam untuk mengikuti Sunnah dan meninggalkan yang menyalahi Sunnah (4)

4. Ahmad bin Hanbal rahimahullaah

Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullaah merupakan seorang imam yang paling banyak menghimpun hadits dan berpegang teguh padanya, sehingga beliau benci menjamah kitab-kitab yang memuat masalah furu' dan ra'yu. (27) Beliau menyatakan sebagai berikut:

a. "Janganlah engkau taqlid kepadaku atau kepada Malik, Syafi'i, Auza'i, dan Tsauri, tetapi ambillah dari sumber mereka mengambil." (28)

Pada riwayat lain disebutkan: "Janganlah engkau taqlid kepada siapa pun dari mereka dalam urusan agamamu. Apa yang datang dari Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam dan para shahabatnya, itulah hendaknya yang kamu ambil. Adapun tentang tabi'in, setiap orang boleh memilihnya (menolak atau menerima)." Kali lain dia berkata, "Yang dinamakan ittiba' yaitu mengikuti apa yang datang dari Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam dan paraa shahabatnya, sedangkan yang datang dari para tabi'in boleh dipilih." (29)

b. "Pendapat Auza'i, Malik, dan Abu Hanifah adalah ra'yu (pikiran). Bagiku semua ra'yu sama saja, tetapi yang menjadi hujjah agama adalah yang ada pada atsar (hadits)." (30)

c. "Barangsiapa yang menolak hadits Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam, dia berada di jurang kehancuran." (31)

Demikianlah pernyataan para imam dalam menyuruh orang untuk berpegang teguh pada hadits dan melarang mengikuti mereka tanpa sikap kritis. Pernyataan mereka itu sudah jelas tidak bisa dibantah dan diputarbalikkan lagi. Mereka mewajibkan berpegang pada semua hadits yang shahih sekalipun bertentangan dengan sebagian pendapat mereka tersebut dan sikap semacam itu tidak dikatakan menyalahi madzhab mereka dan keluar dari metode mereka, bahkan sikap itulah yang disebut mengikuti mereka dan berpegang pada tali yang kuat yang tiada akan putus. Akan tetapi, tidaklah demikian halnya bila seseorang meninggalkan hadits-hadits yang shahih karena dipandang menyalahi pendapat mereka. Bahkan orang yang berbuat demikian telah durhaka kepada mereka dan menyalahi pendapat-pendapat mereka yang telah dikemukakan di atas. Allah berfirman:

"Demi Rabbmu, mereka itu tidak dikatakan beriman sehingga mereka menjadikan kamu sebagai hakim dalam menyelesaikan sengketa di antara mereka, kemudian mereka tidak berkeberatan terhadap keputusanmu dan menerimanya dengan sepenuh ketulusan hati."
(Qur-an Surah an-Nisa' (4): ayat 65)

Allah juga berfirman:

"Orang-orang yang menyalahi perintahnya hendaklah takut fitnah akan menimpa mereka atau adzab yang pedih akan menimpa mereka."
(Qur-an Surah an-Nur (24): ayat 63)

Imam Hafizh Ibnu Rajab berkata:

"Kewajiban orang yang telah menerima dan mengetahui perintah Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam adalah menyampaikan kepada ummat, menasihati mereka, dan menyuruh mereka untuk mengikutinya sekalipun bertentangan dengan pendapat mayoritas ummat. Perintah Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam lebih berhak untuk dimuliakan dan diikuti dibandingkan dengan pendapat tokoh manapun yang menyalahi perintahnya, yang terkadang pendapat mereka itu salah. Oleh karena itulah, para shahabat radhiyallaahu 'anhum dan para tabi'in selalu menolak pendapat yang menyalahi hadits yang shahih dengan penolakan yang keras (32) yang mereka lakukan bukan karena benci, tetapi karena rasa hormat. Akan tetapi, rasa hormat mereka kepada Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam jauh lebih tinggi daripada yang lain dan kedudukan Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam jauh di atas makhluq lainnya. Bila perintah Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam ternyata berlawanan dengan perintah yang lain, perintah beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam lebih utama didahulukan dan diikuti, tanpa sikap merendahkan orang yang berbeda dengan perintah beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam, sekalipun orang itu mendapatkan ampunan dari Allah. (33) Bahkan orang yang mendapat ampunan dari Allah, yang pendapatnya menyalahi perintah Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam tidak merasa benci bila seseorang meninggalkan pendapatnya, ketika ia mendapati bahwa ketentuan Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam berlawanan dengan pendapatnya." (34)

Komentarku: Bagaimana mereka (para imam) membenci sikap semacam itu, padahal mereka sendiri menyuruh para pengikutnya untuk berbuat begitu, seperti yang telah disebut keterangannya di atas. Mereka mewajibkan para pengikutnya untuk meninggalkan pendapat-pendapat mereka bila bertentangan dengan hadits Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam. Bahkan Imam Syafi'i menyuruh para muridnya untuk mengatasnamakan dirinya terhadap setiap hadits yang shahih, sekalipun beliau tidak meriwayatkannya, atau baahkan pendapatnya bertentangan dengan hadits itu. Oleh karena itu, Ibnu Daqiq al-'Id mengumpulkan berbagai hadits yang dikategorikan bertentangan dengan pendapat dari salah satu atau seluruh imam yang empat, dalam sebuah buku besar. Beliau mengatakan pada pendahuluannya:

"Mengatasnamakan para imam mujtahid tentang berbagai masalah yang bertentangan dengan hadits shahih adalah haram." Para ahli fiqh yang taqlid kepada mereka wajib mengetahui bahwa tidak boleh mengatasnamakan masalah itu kepada mereka, sehingga berdusta atas nama mereka." (35)

===

(27) Ibnu Jauzi dalam kitab al-Manaqib halaman 192.

(28) Al-Filani halaman 113, dan Ibnul Qayyim dalam al-I'lam 2/302.

(29) Abu Dawud dalam kitab Masa'il Imam Ahmad halaman 276-277.

(30) Ibnu 'Abdil Barr dalam kitab al-Jami' 2/149.

(31) Ibnul Jauzi halaman 142.

(32) Komentarku: Bahkan bapak-bapak dan 'ulama-'ulama mereka juga begitu, sebagaimana diriwayatkan oleh ath-Thahawi dalam kitab Syarah Ma'anil Atsar 1/372, Abu Ya'la dalam kitab Musnad-nya 3/1317 dengan sanad jayyid dan rawi-rawinya orang kepercayaan, dari Salim bin 'Abdillah bin 'Umar, ujarnya:
"Aku pernah duduk bersama Ibnu 'Umar radhiyallaahu 'anhuma di dalam masjid. Tiba-tiba salah seorang laki-laki dari penduduk Syam datang kepadanya, lalu menanyakan masalah umrah dalam hajji tamattu'. Ibnu 'Umar menjawab, 'Baik.' Orang itu bertanya lagi, 'Benarkah bapakmu dahulu melarang melakukan hal ini?' Jawabnya, 'Celakalah engkau. Sekiranya bapakku dulu pernah melarang, Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam pernah melakukannya dan menyuruh berbuat seperti itu. Apakah engkau akan mengambil ucapan bapakku ataukah perintah Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam?' Orang itu berkata, 'Mengambil perinth Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam.' Ibnu 'Umar berkata, 'Pergilah dariku'." (Hadits Riwayat Imam Ahmad, hadits nomor 5700). Semakna dengan riwayat ini disebutkan oleh at-Tirmidzi pada Syarah Tahfah 2/82 dan disahkan olehnya. Diriwayatkan pula oleh Ibnu 'Asakir 7/51/1 dari Ibnu Abu Dzi'ib. Ia berkata: "Saad bin Ibrahim bin 'Abdurrahman bi 'Auf pernah menjatuhkan hukuman kepada seseorang berdasarkan pendapat Rabi'ah bin Abi 'Abdurrahman, lalu aku sampaikan kepadanya riwayat dari Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam yang berlainan dengan hukum yang telah ditetapkannya. Sa'ad berkata kepada Rabi'ah: 'Orang ini adalah Ibnu Abi Dzi'ib, seorang yang aku pandang dapat dipercaya. Dia meriwayatkan dari Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam riwayat yang berlainan dengan ketetapan yang aku putuskan.' Rabi'ah berkata kepadanya: 'Duhai, apakah ketetapan Sa'ad terus berlaku dan ketetapan Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam tidak diberlakukan? Mestinya aku menolak ketetapan Sa'ad bin Ummi Sa'ad dan aku jalankan ketetapan Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam.' Lalu Sa'ad meminta surat keputusannya, kemudian merobeknya dan membuat ketetapan baru ini kepada orang yang dikenai putusan."

(33) Komentarku: Bahkan orang seperti itu mendapat pahala sebagaimana sabda Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam: "Apabila seorang hakim berijtihad dalam menetapkan hukum dan ijtihadnya benar, ia mendapat dua pahala, jika ia berijtihad dalam menetapkan hukum dan ijtihadnya salah, ia mendapat satu pahala." (Hadits Riwayat Imam al-Bukhari, dan Imam Muslim, dan lain-lain).

(34) Beliau nukil dalam kitab Ta'liq 'ala Iqazhul Humam halaman 93.

(35) Al-Filani halaman 99.

===

Maroji'/ Sumber:
Kitab: Shifatu Shalaati an-Nabiyyi shallaLLAAHU 'alay-hi wa sallama min at-Takbiiri ilaa at-Tasliimi Ka-annaka Taraaha, Penulis: Imam Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahuLLAAH, Penerbit: Maktabah al-Ma'aarif Riyadh - Kerajaan Saudi Arabia, Cetakan kedua, Edisi revisi, Tahun 1417 H/ 1996 M. Judul terjemahan: Sifat Shalat Nabi shallaLLAAHU 'alay-hi wa sallam, Penerjemah: Muhammad Thalib, Penerbit: Media Hidayah Yogyakarta - Indonesia, Cetakan pertama, Desember 2000 M.

===

Layanan gratis estimasi biaya rangka atap baja ringan, genteng metal, dan plafon gypsum:
http://www.bajaringantangerang.com

===
Sent from my BlackBerry®
powered by Sinyal Kuat INDOSAT

Popular posts from this blog