Sepuluh tahun setelah aku menulis pendahuluan edisi pertama, aku melihat adanya dampak baik pada kalangan pemuda-pemuda beriman karena mereka mendapatkan petunjuk tentang kewajiban kembali kepada sumber-sumber Islam yang murni dalam urusan agama dan 'ibadah mereka. Sumber-sumber itu ialah al-Qur-an dan as-Sunnah Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam. Kami bersyukur kepada Allah bahwa para pemuda yang mempraktekkan Sunnah Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam dan beribadah berdasarkan sumber ini semakin bertambah sehingga mereka mengenal dengan baik agamanya. Akan tetapi, aku merasakan adanya sebagian dari mereka yang bersikap ragu-ragu untuk mengamalkan Sunnah Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam, padahal tidak diragukan lagi adanya kewajiban semacam itu, apalagi setelah kami mengemukakan ayat-ayat dan riwayat-riwayat dari enam madzhab yang memerintahkan kembali kepada Sunnah Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam. Hal itu disebabkan adanya isu-isu negatif yang dihembuskan oleh para 'ulama yang bertaqlid kepada madzhab mereka sehingga mereka menjadi salah paham (terhadap kewajiban kembali kepada Sunnah). Oleh karena itu, di sini aku memandang perlu mengajukan isu-isu tersebut disertai sanggahannya agar sebagian pemuda yang ragu-ragu mengamalkan Sunnah terdorong untuk melaksanakannya, sehingga mereka dapat masuk ke dalam golongan yang selamat dengan izin Allah.
Pertama, sebagian orang berkata, memang tidak diragukan adanya keharusan untuk kembali kepada petunjuk Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam dalam urusan agama kita, terutama sekali berkaitan dengan 'ibadah-'ibadah murni yang tidak menjadi bidang garap akal dan ijtihad, sebab bidang tersebut merupakan hal yang tauqifi (diterima apa adanya), seperti shalat. Akan tetapi, kita nyaris tidak pernah mendengar seorang 'ulama yang bertaqlid memerintahkan untuk melakukan hal tersebut, bahkan kami lihat mereka selalu menyetujui adanya berbagai perselisihan dan menganggap hal semacam itu sebagai kebebasan ummat. Alasan mereka didasarkan pada sebuah hadits yang selalu mereka ulang dalam setiap kesempatan, yaitu hadits: "Perbedaan pendapat pada ummatku adalah rahmat," untuk membantah pendapat pendukung Sunnah Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam, padahal hadits tersebut bertentangan dengan jalan yang engkau (al-Albani) tempuh dalam buku shifat shalat yang engkau susun dan buku-buku lainnya. Oleh karena itu, bagaimana pendapat engkau terhadap hadits tersebut?
Jawab:
1. Hadits tersebut tidak sah, bahkan bathil dan tidak ada sumbernya. Imam Subuki berkata:
"Aku tidak melihat hadits tersebut mempunyai sanad yang sah, atau dha'if, atau palsu."
Aku (al-Albani) menyatakan: "Hadits yang ada lafazhnya adalah:
'Perbedaan pendapat di kalangan shahabatku (Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam) adalah rahmat bagi kamu sekalian.'
Hadits lain berbunyi: 'Par shahabatku laksana bintang di langit. Siapa pun di antara mereka yang kamu ikuti, niscaya kamu mendapatkan petunjuk.'
Kedua hadits ini tidak sah. Hadits pertama sangat lemah dan hadits kedua palsu. Aku telah menjelaskan analisa terhadap hadits ini dalam kitab (Silsilah al-Ahaadiits) adh-Dha'iifah (wal Maudhu'ah) hadits nomor 58, 59, 61."
2. Hadits palsu tersebut di atas bertentangan dengan al-Qur-an karena ayat-ayat al-Qur-an melarang berselisih pendapat dalam urusan agama dan menyuruh bersatu. Ayat-ayat tentang hal tersebut sudah sangaat populer. Akan tetapi, tidaklah mengapa di sini aku paparkan sebagian sebagai contoh, yaitu firman Allah dalam Qur-an Surah al-Anfal (8): ayat 46:
"Janganlah kamu berselisih, karena kamu akan menjadi lemah dan hilang kewibawaan kamu."
Allah juga berfirman dalam Qur-an Surah Rum (30): ayat 31-32:
"Janganlah kamu menjadi seperti orang-orang musyrik yaitu mereka mencerai-beraikan agamanya dan bergolong-golongan. Setiap golongan membanggakan apa yang ada pada mereka."
Allah berfirman dalam Qur-an Surah Hud (11): ayat 118-119:
"Mereka terus menerus berselisih kecuali orang yang mendapatkan rahmat dari Rabbmu."
Jadi, hanya orang-orang yang mendapat rahmat dari Rabblah yang tidak berselisih. Oleh karena itu, mereka yang berselisih adalah golongan yang bathil. Bagaimana akal bisa menerima bahwa perselisihan dan perbedaan merupakan suatu rahmat (padahal Allah melarang perbuatan semacam itu)?
Sudahlah jelas bahwa hadits tersebut tidak sah, baik sanad maupun matannya (43). Oleh karena itu, sudahlah jelas bahwa kita tidak boleh bersikap ragu-ragu dan bimbang, sehingga tidak mengamalkan al-Qur-an dan as-Sunnah sebagaimana yang diperintahkan oleh para imam madzhab.
Bersambung...
===
(43) Bacalah kitab al-Ihkam fi Ushuli al-Ahkam oleh Ibnu Hazm, kitab Hujjatullahi al-Balighah oleh ad-Dahlawi atau kitab khususnya yang membahas masalah ini dengan judul Aqdu al-Jayyid fi Ahkami al-Ijtihad wa at-Taqlid.
===
Maroji'/ Sumber:
Kitab: Shifatu Shalaati an-Nabiyyi Shallallaahu 'alaihi wa Sallama min at-Takbiiri ilaa at-Tasliimi Ka-annaka Taraaha, Penulis: Imam Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullaah, Penerbit: Maktabah al-Ma'aarif Riyadh - Kerajaan Saudi Arabia, Cetakan kedua, Edisi revisi, Tahun 1417 H/ 1996 M. Judul terjemahan: Sifat Shalat Nabi shallaLLAAHU 'alay-hi wa sallam, Penerjemah: Muhammad Thalib, Penerbit: Media Hidayah Yogyakarta - Indonesia, Cetakan pertama, Desember 2000 M.
===
Layanan gratis estimasi biaya rangka atap baja ringan, genteng metal, dan plafon gypsum:
http://www.bajaringantangerang.com
===
Sent from my BlackBerry®
powered by Sinyal Kuat INDOSAT