Skip to main content

Pernyataan para imam untuk mengikuti Sunnah dan meninggalkan yang menyalahi Sunnah (3)

Pernyataan para imam untuk mengikuti Sunnah dan meninggalkan yang menyalahi Sunnah (3)

3. Asy-Syafi'i rahimahullaah

Riwayat-riwayat yang dinukil orang dari Imam asy-Syafi'i rahimahullaah dalam masalah ini lebih banyak dan lebih bagus (17) dan para pengikutnya lebih banyak yang melaksanakan pesannya dan lebih beruntung. Beliau rahimahullaah berpesan antara lain:

a. "Setiap orang harus bermadzhab kepada Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam dan mengikutinya. Apa pun pendapat yang aku katakan atau sesuatu yang aku katakan itu berasal dari Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam tetapi ternyata berlawanan dengan pendapatku, apa yang disabdakan oleh Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam itulah yang menjadi pendapatku." (18)

b. "Seluruh kaum muslim telah sepakat bahwa orang yang secara jelas mengetahui suatu hadits dari Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam tidak halal meninggalkannya guna mengikuti pendapat seseorang." (19)

c. "Bila kalian menemukan dalam kitabku sesuatu yang berlainan dengan hadits Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam, peganglah hadits Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam itu dan tinggalkanlah pendapatku itu." (20)

d. "Bila suatu hadits itu shahih, itulah madzhabku." (21)

e. "Kalian (22) lebih tahu tentang hadits dan para rawinya daripada aku. Apabila suatu hadits itu shahih, beritahukanlah kepadaku biar dimanapun orangnya, apakah di Kuffah, Bashrah, atau Syam, sampai aku pergi menemuinya."

f. "Bila suatu masalah ada haditsnya yang sah dari Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam menurut kalangan ahli hadits, tetapi pendapatku menyalahinya, pasti aku akan mencabutnya, baik selama aku hidup maupun setelah aku mati." (23)

g. "Bila kalian mengetahui aku mengatakan suatu pendapat yang ternyata menyalahi hadits Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam yang shahih, ketahuilah bahwa hal itu berarti pendapatku tidak berguna." (24)

h. "Setiap perkataanku bila berlainan dengan riwayat yang shahih dari Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam, hadits Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam lebih utama dan kalian jangan bertaqlid kepadaku." (25)

i. "Setiap hadits yang datang dari Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam berarti itulah pendapatku, sekalipun kalian tidak mendengarnya sendiri dari aku." (26)

Bersambung...

===

(17) Ibnu Hazm berkata dalam kitabnya 6/118:
"Para ahli fiqh yang ditaqlidi telah menganggap batal taqlid itu sendiri. Mereka melarang para pengikutnya untuk taqlid kepada mereka. Orang yang paling keras dalam melarang taqlid ini adalah Imam asy-Syafi'i. Beliau dengan keras menegaskan agar orang mengikuti hadits-hadits yang shahih dan berpegang kepada ketetapan-ketetapan yang digariskan dalam hujjah selama tidak ada orang lain yang menyampaikan hujjah yang lebih kuat serta beliau sepenuhnya berlepas diri dari orang-orang yang taqlid kepadanya dan dengan terang-terangan mengumumkan hal ini. Semoga Allah memberi manfaat kepada beliau dan memperbanyak pahalanya. Sungguh pernyataan beliau menjadi sebab mendapatkan kebaikan yang banyak."

(18) Riwayat al-Hakim dengan sanad bersambung kepada Imam asy-Syafi'i, seperti tersebut dalam kitab Tarikh Damsyiq, karya Ibnu 'Asakir 15/1/3, kitab I'lam al-Muwaqqi'in 2/363-364, kitab al-Iqazh halaman 100.

(19) Ibnul Qayyim 2/361, dan al-Filani halaman 68.

(20) Harawi dalam kitab Dzamm al-Kalam 3/47/1, al-Khatib dalam kitab Ihtijaj bi asy-Syafi'i 8/2, Ibnu 'Asakir 15/9/1, an-Nawawi dalam kitab al-Majmu' 1/63, Ibnul Qayyim 2/361, al-Filani halaman 100, dan riwayat lain oleh Abu Nu'aim dalam kitab al-Hilyah 9/107, dan Ibnu Hibban dalam kitab Shahih-nya 3/284, al-Ihsan, dengan sanad yang shahih dari beliau, riwayat yang semakna.

(21) An-Nawawi dalam kitab al-Majmu' Sya'rani 1/57, dan ia nisbatkan kepada al-Hakim dan al-Baihaqi, al-Filani halaman 107, Sya'rani berkata:
"Ibnu Hazm menyatakan hadits ini shahih menurut penilaiannya dan penilaian imam-imam yang lain."
Komentarku: Pernyataan beliau yang akan diuraikan setelah komentar di bawah ini menunjukkan pengertian yang dimaksud secara jelas. An-Nawawi berkata yang ringkasnya:
"Para shahabat kami mengamalkan hadits ini dalam masalah tatswib (mengulang kalimat adzab), syarat orang ihram melakukan tahallul karena sakit, dan lain-lain hal yang sudah populer dalam kitab-kitab madzhab kami. Ada di antara shahabat-shahabat kami yang memberikan fatwa berdasarkan hadits antara lain: Abu Ya'qub Buwaiti, Abu al-Qasim ad-Dariqi, dan shahabat-shahabat kami dari kalangan ahli hadits yang juga berbuat demikian, yaitu Imam Abu Bakar, Baihaqi, dan lain-lain. Mereka adalah sejumlah shahabat kami dari kalangan terdahulu. Bila mereka melihat pada suatu masalah ada haditsnya, sedangkan hadits tersebut berlainan dengan madzhab Syafi'i, mereka mengamalkan hadits tersebut dan berfatwa: 'Madzhab Syafi'i sejalan dengan hadits ini'."
Syaikh Abu 'Amr berkata: "Bila seseorang dari golongan Syafi'i menemukan hadits bertentangan dengan madzhabnya, hendaklah ia mempertimbangkan hadits tersebut. Jika memenuhi syarat untuk berijtihad, secara umum atau hanya mengenai hal tersebut, dia mempunyai kebebasan untuk berijtihad. Akan tetapi, jika tidak memenuhi syarat, tetapi berat untuk menyalahi hadits sesudah melakukan kajian dan tidak menemukan jawaban yang memuaskan atas perbedaan tersebut, hendaklah ia mengamalkan hadits jika ada imam selain Syafi'i yang mengamalkan hadits tersebut. Hal ini menjadi hal yng dimaafkan bagi yang bersangkutan untuk meninggalkan imam madzhabnya dalam masalah tersebut dan apa yang menjadi pendapatnya adalah pilihan yang baik. Wallaahu a'lam.
Komentarku: Ada suatu keadaan lain yang tidak dikemukakan oleh Ibnu Shalah, yaitu bagaimana kalau ternyata orang itu tidak mendapatkan imam lain sebelumnya yang mengamalkan hadits tersebut? Apa yang harus ia lakukan? Hal ini dijawab oleh Taqiyuddin Subuki dalam kitab Risalah-nya tentang maksud ucapan imam Syafi'i: "Apabila ada hadits yang shahih..." Juz 3 halaman 102:
"Menurut pendapatku, yang lebih utama adalah mengikuti hadits. Hendaklah yang bersangkutan menganggap seolah-olah ia berada di hadapan Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam dan ia mendengar beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda seperti itu. Apakah ia layak untuk mengesampingkan pengamalan hadits semacam itu? Demi Allah, tidak. Setiap orang mukallaf bertanggung jawab sesuai dengan tingkat pemahamannya (dalam mengamalkan hadits)."
Pembahasan tentang hal ini dapat engkau baca pada kitab I'lam al-Muwaqqi'in 2/302 dan 370, al-Filani dalam kitab al-Iqazhu Humami Ulil Abshar..., sebuah kitab yang tidak ada duanya dalam masalah ini. Para pencari kebenaran wajib mempelajarinya dengan serius dan penuh perhatian terhadap kitab ini.

(22) Ucapan ini ditujukan kepada Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullaah, diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dalam kitab Adabu asy-Syafi'i halaman 94-95, Abu Nu'aim dalam kitab al-Hilyah 9/106, al-Khatib dalam al-Ihtijaj 8/1, diriwayatkan pula oleh Ibnu 'Asakir dari beliau 15/9/1, Ibnu 'Abdil Barr dalam kitab Intiqa halaman 75, Ibnu Jauzi dalam kitab Manaqib Imam Ahmad halaman 499, al-Harawi 2/47/2 dengan tiga sanad, dari 'Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, dari bapaknya, bahwa Imam Syafi'i pernah berkata kepadanya: "... Hal ini shahih dari beliau. Oleh karena itu, Ibnu Qayyim menegaskan penisbatannya kepada Imam Ahmad dalam kitab al-I'lam 2/325 dn al-Filani dalam kitab al-Iqazh halaman 152." Selanjutnya, beliau berkata: "Baihaqi berkata: 'Oleh karena itu, Imam Syafi'i banyak mengikuti hadits. Beliau mengambil 'ilmu dari 'ulama Hijaz, Syam, Yaman, dan Iraq.' Beliau mengambil semua hadits yang shahih menurut penilaiannya tanpa pilih kasih dan tidak bersikap memihak kepada madzhab yang tengah digandrungi oleh penduduk negerinya, sekalipun kebenaran yang dipegangnya menyalahi orang lain. Padahal ada 'ulama-'ulama sebelumnya yang hanya membatasi diri pada madzhab yang dikenal di negerinya tanpa mau berijtihad untuk mengetahui kebenaran pendapat yang bertentangan dengan dirinya." Semoga Allah mengampuni kami dan mereka.

(23) Abu Nu'aim dalam kitab al-Hilyah 9/107, al-Harawi 47/1, Ibnul Qayyim dalam kitab al-I'lam 2/363, dan al-Filani halaman 104.

(24) Ibnu Abi Hatim dalam kitab Adabu asy-Syafi'i halaman 93, Abul Qasim Samarqandi dalam al-Amali seperti pada al-Muntaqa, karya Abu Hafs al-Muaddib 1/234, Abu Nu'aim dalam kitab al-Hilyah 9/106, dan Ibnu 'Asakir 15/10/1 dengan sanad shahih.

(25) Ibnu Abi Hatim halaman 93, Abu Nu'aim dan Ibnu 'Asakir 15/9/2 dengan sanad shahih.

(26) Ibnu Abi Hatim halaman 93-94.

===

Maroji'/ Sumber:
Kitab: Shifatu Shalaati an-Nabiyyi shallaLLAAHU 'alay-hi wa sallama min at-Takbiiri ilaa at-Tasliimi Ka-annaka Taraaha, Penulis: Imam Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahuLLAAH, Penerbit: Maktabah al-Ma'aarif Riyadh - Kerajaan Saudi Arabia, Cetakan kedua, Edisi revisi, Tahun 1417 H/ 1996 M. Judul terjemahan: Sifat Shalat Nabi shallaLLAAHU 'alay-hi wa sallam, Penerjemah: Muhammad Thalib, Penerbit: Media Hidayah Yogyakarta - Indonesia, Cetakan pertama, Desember 2000 M.

===

Layanan gratis estimasi biaya rangka atap baja ringan, genteng metal, dan plafon gypsum:
http://www.bajaringantangerang.com

===
Sent from my BlackBerry®
powered by Sinyal Kuat INDOSAT

Popular posts from this blog