Skip to main content

Apakah mani itu terhitung suci atau najis?

Kitab Thoharoh

Thoharoh Haqiqiyah

Najis

Apakah mani itu terhitung suci atau najis?

Dalam hal ini 'ulama berselisih dalam dua pendapat:

Pendapat pertama, mani itu najis. Ini adalah pendapat Imam Abu Hanifah dan Imam Malik. Dan ini satu riwayat dari Imam Ahmad. Mereka berargumen dengan hadits 'Aisyah rodhiyaLLOOHU 'anhuma. Ketika ia ditanya tentang mani yang mengenai pakaian, ia menjawab, "Aku dahulu mencucinya dari pakaian Rosululloh shollaLLOOHU 'alayhi wa sallam, lalu Beliau keluar untuk sholat, sementara bekas cucian masih terlihat pada pakaian Beliau." (Hadits Riwayat Imam al-Bukhori 230, Imam Muslim 289). Dan, mencuci ini tidaklah dilakukan kecuali untuk membersihkan sesuatu yang najis.

Pendapat kedua, mani itu suci. Ini pendapat Imam asy-Syafi'i, Dawud, dan ini salah satu dari dua riwayat yang paling shohih dari Imam Ahmad. Mereka berdalil atas hal itu dengan hadits 'Aisyah rodhiyaLLOOHU 'anhuma tentang mani, ia mengatakan, "Dahulu aku mengeriknya dari pakaian Rosululloh shollaLLOOHU 'alayhi wa sallam." (Hadits Riwayat Imam Muslim 288, sanad shohih)

Juga berdasarkan hadits 'Aisyah rodhiyaLLOOHU 'anhuma, ada seorang tamu yang singgah di rumah 'Aisyah. Pada pagi harinya ia mencuci pakaiannya, maka 'Aisyah berkata kepadanya, "Sesungguhnya cukup bagimu mencuci tempat yang terkena mani, jika engkau melihatnya. Jika engkau tidak melihatnya, maka percikkan saja di sekitarnya. Aku pernah mengeriknya dari pakaian Rosululloh shollaLLOOHU 'alayhi wa sallam, lalu Beliau sholat dengan menggunakan pakaian itu." (Hadits Riwayat Imam Muslim 288). Cukup dengan pengerikan, menunjukkan bahwa mani itu suci.

Adapun orang yang mengatakan kenajisannya menjawab, pengerikan tidaklah menunjukkan kesucian mani, melainkan menunjukkan tentang cara pensuciannya. Sebagaimana halnya pensucian sandal dengan mengusapkannya ke tanah.

Sebagai bantahannya (lihat kitab Majmu' al-Fatawa 21/605), perbuatan 'Aisyah rodhiyaLLOOHU 'anhuma yang kadangkala mengerik dan kadangkala mencucinya menunjukkan bahwa mani itu bukan najis. Karena pakaian juga terkadang dicuci karena terkena dahak, ludah dan kotoran. Demikianlah pendapat sejumlah Shohabat, di antaranya Sa'ad bin Abi Waqqos, Ibnu 'Abbas, dan selainnya rodhiyaLLOOHU 'anhum. Menurut mereka, "Sesungguhnya mani itu seperti dahak dan ludah. Bersihkanlah darimu, walaupun dengan idzkhir (nama suatu tumbuhan)." Jelaslah disini bahwa perbuatan 'Aisyah hanyalah termasuk masalah memilih cara bersuci yang disukainya. (Lihat kitab Syarh Muslim).

Yang menegaskan hukum sucinya mani adalah, para Shohabat dahulu juga mimpi basah pada zaman Nabi shollaLLOOHU 'alayhi wa sallam, dan mani mengenai badan serta pakaian mereka. Masalah mani ini adalah masalah yang umum terjadi. Jika najis, niscaya wajib bagi Nabi shollaLLOOHU 'alayhi wa sallam memerintahkan kepada mereka untuk menghilangkannya, seperti memerintahkan mereka untuk beristinja'. Namun, tidak ada seorang pun yang meriwayatkan hal seperti ini. Maka diketahui secara meyakinkan bahwa menghilangkan mani tidaklah wajib. WaLLOOHU a'lam.

Maroji' (rujukan):
Kitab: Shohih Fiqh as-Sunnah, wa adillatuhu wa taudhih madzahib al-a'immah, Penulis: Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim, Penerbit: Maktabah at-Taufiqiyah, Kairo - Mesir, Cetakan 1424 H/ 2003 M, Judul terjemah: Shohih Fiqih Sunnah Jilid 1, Penerjemah: Abu Ihsan al-Atsari, Penerbit: Pustaka at-Tazkia, Jakarta, Cetakan IV, 1430 H/ 2009 M.

===
Catatan Abu Sahla: jika mengeluarkan mani maka wajib mandi jika hendak sholat, namun tidak wajib mencuci pakaian, bisa cukup dengan mengeriknya saja.
Sent from my BlackBerry®
powered by Sinyal Kuat INDOSAT