Skip to main content

Surat Al-Baqarah Ayat 172-173 (2) | Shahih Tafsir Ibnu Katsir

AL-MISHBAAHUL MUNIIRU FII TAHDZIIBI TAFSIIRI IBNU KATSIIR

SHAHIH TAFSIR IBNU KATSIR

JUZ 2

SURAT AL-BAQARAH

AL-BAQARAH, AYAT 172-173 (2)

Tatkala Allah menganugerahkan rizki dan membimbing mereka agar memakan makanan yang baik-baik, maka Allah 'Azza wa Jalla pun memberitahukan bahwa Dia tidak mengharamkan makanan-makanan itu kecuali (pertama) bangkai, yaitu binatang yang mati tanpa disembelih, baik karena tercekik, terpukul, jatuh, ditanduk atau diterkam oleh binatang buas.

Dan Allah mengecualikan bangkai hewan laut, berdasarkan firman-Nya, "Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut." (QS. Al-Maa-idah: 96) Sebagaimana akan diijelaskan nanti insya Allah. Juga berdasarkan hadits al-'anbar (kisah terdamparnya ikan besar) yang terdapat dalam kitab Shahiih al-Bukhari. (622)

Dalam kitab Musnad, al-Muwaththa' dan Sunan disebutkan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berkenaan dengan laut:

"Laut itu airnya suci dan bangkainya halal." (623)

Imam asy-Syafi'i, Ahmad, Ibnu Majah dan ad-Daraquthni meriwayatkan sebuah hadits dari Ibnu 'Umar secara marfu':

"Dihalalkan bagi kami dua jenis bangkai dan dua jenis darah, yaitu bangkai ikan dan belalang, serta hati dan limpa." (624)

Pembahasan secara rinci akan disebutkan dalam msurat al-Maa-idah, insya Allah.

(Permasalahan)

Yaitu tentang susu dan telur hewan yang sudah mati dan masih menempel padanya, maka hukumnya najis menurut Imam asy-Syafi'i dan selainnya, karena ia merupakan bagian dari bangkai tersebut. Imam Malik mengatakan dalam satu riwayat, "Hukumnya suci, hanya saja ia dihukumi najis karena masih melekat (menempel)."

Demikian pula hukum susu dari unta yang sudah mati. Dalam masalah ini terdapat perbedaan pendapat. Namun pendapat yang masyhur di kalangan ulama adalah najis. Mereka membawakan kisah para Sahabat yang memakan keju buatan orang-orang majusi. Al-Qurthubi berkata ketika menafsirkan ayat ini: "Keju (yang najis dari majusi), yang tercampur dengan susu (yang suci) itu hanya sedikit. Sedangkan sedikit najis, jika bercampur dengan benda cair yang suci dan banyak, maka dimaafkan." (625)

Ibnu Majah telah meriwayatkan dari Salman radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah ditanya tentang minyak samin, keju dan kulit, beliau menjawab:

"Perkara halal adalah apa yang dihalalkan oleh Allah dalam Kitab-Nya dan perkara haram adalah apa yang diharamkan oleh Allah dalam Kitab-Nya. Dan perkara yang tidak disebutkan (didiamkan) termasuk perkara yang dimaafkan." (626)

Selain itu, Allah Subhanahu wa Ta'ala juga mengharamkan (yang kedua) daging babi, baik yang disembelih maupun yang mati dengan sendirinya. Lemak babi termasuk dalam hukum dagingnya, karena keumumannya, atau karena dagingnya mengandung lemak, atau melalui qiyas (analogi) menurut suatu pendapat. Allah Ta'ala juga mengharamkan bagi mereka (yang ketiga) binatang yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah, baik itu dengan mengatasnamakan berhala, sekutu, tandingan, dan lain sebagainya, yang dahulu menjadi kebiasaan orang-orang jahiliyah untuk mempersembahkan kurban kepadanya.

Al-Qurthubi meriwayatkan dari 'Aisyah radhiyallahu 'anhuma bahwa ia pernah ditanya tentang hewan yang disembelih oleh masyarakat non Arab untuk perayaan mereka, kemudian mereka menghadiahkan sebagian dari dagingnya itu kepada kaum muslimin. Maka 'Aisyah pun menjawab, "Apa yang mereka sembelih pada hari itu, maka janganlah kalian memakannya, akan tetapi kalian boleh memakan buah-buahannya." (627)

===

Catatan Kaki:

622. Fat-hul Baari (VI/152). [Al-Bukhari (no. 4361)].

623. Ahmad (V/365), al-Muwaththa' (I/220), Abu Dawud (I/64), Tuhfatul Ahwadzi (I/224), an-Nasa-i (I/50) dan Ibnu Majah (I/136). [Shahih: Ahmad (no. 23484), Abu Dawud (no. 83), at-Tirmidzi (no. 69), an-Nasa-i (no. 59), Ibnu Majah (no. 386). Dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam kitab Shahiihul Jaami' (no. 7048)].

624. Tartiib Musnad asy-Syafi'i (II/173), Ahmad (II/97), Ibnu Majah (II/1073) dan ad-Daraquthni (IV/272). [Shahih: Ibnu Majah (no. 3314). Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam kitab Shahiihul Jaami' (no. 210)].

625. Al-Qurthubi (II/221).

626. Ibnu Majah (II/1117). [Hasan: Ibnu Majah (no. 3367), Abu Dawud (no. 1710), an-Nasa-i (no. 4958). Dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam kitab Shahiihul Jaami' (no. 3195)].

627. Al-Qurthubi (II/224).

===

Maraji'/ sumber:

Kitab: al-Mishbaahul Muniiru fii Tahdziibi Tafsiiri Ibnu Katsiir, Penyusun: Tim Ahli Tafsir di bawah pengawasan Syaikh Shafiyyurrahman al-Mubarakfuri, Penerbit: Daarus Salaam lin Nasyr wat Tauzi', Riyadh – Kerajaan Saudi Arabia, Cetakan terbaru yang telah direvisi dan disempurnakan, April 2000 M/ Muharram 1421 H, Judul terjemahan: Shahih Tafsir Ibnu Katsir Jilid 1, Penerjemah: Abu Ihsan al-Atsari, Penerbit: Pustaka Ibnu Katsir, Jakarta – Indonesia, Jumadal Awwal 1436 H/ Maret 2015 M.