AL-MISHBAAHUL MUNIIRU FII TAHDZIIBI TAFSIIRI IBNU KATSIIR
SHAHIH TAFSIR IBNU KATSIR
JUZ 2
SURAT AL-BAQARAH
AL-BAQARAH, AYAT 168-169
Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, danjanganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu. (QS. 2:168) Sesungguhnya syaitan itu hanya menyuruhmu bebruat jahat dan keji, dan mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui. (QS. 2:169)
PERINTAH MEMAKAN MAKANAN YANG HALAL DAN LARANGAN MENGIKUTI LANGKAH-LANGKAH SYAITAN
Setelah Allah Subhanahhu wa Ta'ala menjelaskan bahwa tidak ada sembahan yang haq kecuali Dia dan bahwasanya Dia sendirilah yang menciptakan seluruh makhluk, maka Allah menjelaskan bahwa Dia adalah Maha Pemberi rizki bagi seluruh makhluk-Nya. Tentang kedudukan-Nya sebagai Pemberi nikmat, Dia menyebutkan bahwa Dia telah mengizinkan manusia memakan segala yang ada di muka bumi, selagi makanan itu halal dari AAllah dan thayyib. Maksud thayyib adalah baik dan bermanfaat bagi dirinya, serta tidak membahayakan bagi jiwa raganya. Dia pun melarang mereka mengikuti langkah-langkah syaitan, berupa berbagai jalan dan perbuatan syaitan yang menyesatkan para pengikutnya, seperti mengharamkan bahiirah, saa-ibah, washiilah ( * ), dan lain-lain yang ditanamkan syaitan kepada mereka pada masa jahiliyah.
Dijelaskan dalam sebuah ahdits yang tercantum dalam Shahiih Muslim, yang diriwayatkan dari 'Iyadh bin Himar, dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda,
"Allah Ta'ala berfirman: 'Sesungguhnya setiap harta yang Aku anugerahkan kepada hamba-hamba-ku adalah halal bagi mereka' -dalam hadits ini disebutkan- 'Dan Aku menciptakan hamba-hamba-Ku itu cenderung kepada kebenaran (kebaikan), lalu syaitan datang kepada mereka dan menyesatkan mereka dari agama mereka serta mengharamkan atas mereka apa yang telah Aku halalkan bagi mereka.'" (613)
===
Catatan Kaki:
* [Bahiirah: Unta betina yang telah beranak lima kali dan anak kelima itu jantan, lalu telinga unta betina itu dibelah, dilepaskan, tidak boleh ditunggangi lagi dan air susunya tidak boleh diambil lagi.
Saa-ibah: Unta betina yang dibiarkan pergi ke mana saja karena suatu nadzar. Seperti, jika seorang Arab jahiliyah akan melakukan sesuatu atau perjalanan yang berat, maka ia biasa bernadzar akan menjadikan untanya saa-ibah jika maksud atau perjalanannya berhasil dan selamat.
Washiilah: Seekor domba betina melahirkan anak kembar yang terdiri dari jantan dan betina, maka yang jantan ini disebut washiilah, tidak disembelih dan diserahkan kepada berhala.]
613. Muslim (IV/2197). [no. 2865].
===
Maraji'/ sumber:
Kitab: al-Mishbaahul Muniiru fii Tahdziibi Tafsiiri Ibnu Katsiir, Penyusun: Tim Ahli Tafsir di bawah pengawasan Syaikh Shafiyyurrahman al-Mubarakfuri, Penerbit: Daarus Salaam lin Nasyr wat Tauzi', Riyadh – Kerajaan Saudi Arabia, Cetakan terbaru yang telah direvisi dan disempurnakan, April 2000 M/ Muharram 1421 H, Judul terjemahan: Shahih Tafsir Ibnu Katsir Jilid 1, Penerjemah: Abu Ihsan al-Atsari, Penerbit: Pustaka Ibnu Katsir, Jakarta – Indonesia, Jumadal Awwal 1436 H/ Maret 2015 M.
SHAHIH TAFSIR IBNU KATSIR
JUZ 2
SURAT AL-BAQARAH
AL-BAQARAH, AYAT 168-169
Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, danjanganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu. (QS. 2:168) Sesungguhnya syaitan itu hanya menyuruhmu bebruat jahat dan keji, dan mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui. (QS. 2:169)
PERINTAH MEMAKAN MAKANAN YANG HALAL DAN LARANGAN MENGIKUTI LANGKAH-LANGKAH SYAITAN
Setelah Allah Subhanahhu wa Ta'ala menjelaskan bahwa tidak ada sembahan yang haq kecuali Dia dan bahwasanya Dia sendirilah yang menciptakan seluruh makhluk, maka Allah menjelaskan bahwa Dia adalah Maha Pemberi rizki bagi seluruh makhluk-Nya. Tentang kedudukan-Nya sebagai Pemberi nikmat, Dia menyebutkan bahwa Dia telah mengizinkan manusia memakan segala yang ada di muka bumi, selagi makanan itu halal dari AAllah dan thayyib. Maksud thayyib adalah baik dan bermanfaat bagi dirinya, serta tidak membahayakan bagi jiwa raganya. Dia pun melarang mereka mengikuti langkah-langkah syaitan, berupa berbagai jalan dan perbuatan syaitan yang menyesatkan para pengikutnya, seperti mengharamkan bahiirah, saa-ibah, washiilah ( * ), dan lain-lain yang ditanamkan syaitan kepada mereka pada masa jahiliyah.
Dijelaskan dalam sebuah ahdits yang tercantum dalam Shahiih Muslim, yang diriwayatkan dari 'Iyadh bin Himar, dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda,
"Allah Ta'ala berfirman: 'Sesungguhnya setiap harta yang Aku anugerahkan kepada hamba-hamba-ku adalah halal bagi mereka' -dalam hadits ini disebutkan- 'Dan Aku menciptakan hamba-hamba-Ku itu cenderung kepada kebenaran (kebaikan), lalu syaitan datang kepada mereka dan menyesatkan mereka dari agama mereka serta mengharamkan atas mereka apa yang telah Aku halalkan bagi mereka.'" (613)
===
Catatan Kaki:
* [Bahiirah: Unta betina yang telah beranak lima kali dan anak kelima itu jantan, lalu telinga unta betina itu dibelah, dilepaskan, tidak boleh ditunggangi lagi dan air susunya tidak boleh diambil lagi.
Saa-ibah: Unta betina yang dibiarkan pergi ke mana saja karena suatu nadzar. Seperti, jika seorang Arab jahiliyah akan melakukan sesuatu atau perjalanan yang berat, maka ia biasa bernadzar akan menjadikan untanya saa-ibah jika maksud atau perjalanannya berhasil dan selamat.
Washiilah: Seekor domba betina melahirkan anak kembar yang terdiri dari jantan dan betina, maka yang jantan ini disebut washiilah, tidak disembelih dan diserahkan kepada berhala.]
613. Muslim (IV/2197). [no. 2865].
===
Maraji'/ sumber:
Kitab: al-Mishbaahul Muniiru fii Tahdziibi Tafsiiri Ibnu Katsiir, Penyusun: Tim Ahli Tafsir di bawah pengawasan Syaikh Shafiyyurrahman al-Mubarakfuri, Penerbit: Daarus Salaam lin Nasyr wat Tauzi', Riyadh – Kerajaan Saudi Arabia, Cetakan terbaru yang telah direvisi dan disempurnakan, April 2000 M/ Muharram 1421 H, Judul terjemahan: Shahih Tafsir Ibnu Katsir Jilid 1, Penerjemah: Abu Ihsan al-Atsari, Penerbit: Pustaka Ibnu Katsir, Jakarta – Indonesia, Jumadal Awwal 1436 H/ Maret 2015 M.