Skip to main content

Syarah Kasyfu Syubuhat (20/3)

Penjelasan kitab Kasyfu Syubuhat

Karena jika engkau telah mengetahui bahwa seseorang bisa menjadi kafir lantaran kata-kata yang keluar dari lisannya, sekalipun dia mengucapkan kata-kata tersebut dalam keadaan tidak mengerti bahwa kata-kata kufur, maka tidak dapat diterima udzur (alasan) atas kebodohannya itu.

Penjelasan

Dalam kitab ad-Duror as-Saniyyah Syaikhul Islam Muhammad bin 'Abdul Wahhab rohimahuLLOOH menyatakan, "Dalam hal mengafirkan, aku mengafirkan seseorang yang telah mengetahui agama para Rosul, tetapi dia mencelanya dan melarang orang lain untuk meng'amalkannya, bahkan memusuhinya."

Dan pada halaman 66 (beliau rohimahuLLOOH berkata), "Adalah termasuk dusta dan kebohongan ketika mereka mengatakan bahwa kami secara mengafirkan orang yang memang layak dikafirkan dan mewajibkan orang yang mampu beragama secara terang-terangan untuk bergabung dengan kami. Ini perkataan dusta dan bohong yang akan menghalangi orang lain mengikuti agama ALLOH dan Rosul-NYA. Jika kami tidak mengafirkan orang-orang yang menyembah patung yang ada di kuburan 'Abdul Qodir dan Ahmad al-Badawi atau kuburan lainnya karena bodohnya dan tidak ada yang memberi peringatan, bagaimana mungkin kami mengafirkan orang yang tidak menyekutukan ALLOH (hanya karena) dia tidak mau bergabung dengan kami atau tidak mau berperang?"

Sesuatu yang telah menjadi ketentuan al-Qur-an dan as-Sunnah serta pendapat para 'Ulama, sudah tentu merupakan ketentuan yang didasari oleh hikmah, kelembutan dan kasih sayang ALLOH 'Azza wa Jalla. ALLOH baru akan mengadzab seseorang setelah memberinya peringatan (terlebih dahulu). Dan akal memang tidak akan mampu mengetahui hak-hak yang wajib ALLOH berikan kepada hamba-NYA. Kalau pun akal mampu untuk mengetahui hal tersebut, tetap saja tidak bisa menggugurkan hujjah diutusnya para Rosul.

Pada dasarnya, orang yang telah menyatakan keislamannya, akan tetap berada dalam keislamannya selama tidak ada hal-hal yang menggugurkan keislamannya itu dari dirinya menurut ketentuan syari'at. Tidak boleh ada seorang pun yang dengan ceroboh mengafirkannya. Karena hal yang demikian akan menyebabkan adanya dua bahaya besar, yaitu:

1. Membuat kedustaan atas nama ALLOH Sub-haanahu wa Ta'aala dalam masalah hukum dan menghukumi seseorang dengan sesuatu yang tidak benar ada pada dirinya. Dikatakan membuat kedustaan dalam masalah hukum, karena orang yang mengafirkan seseorang yang tidak dikafirkan ALLOH sama dengan orang yang mengharomkan sesuatu yang dihalalkan ALLOH. Menghukumi seseorang kafir atau tidak adalah hak ALLOH semata, seperti halnya menghukumi halal atau haromnya sesuatu.

2. Menghukumi seorang Muslim dengan sesuatu yang tidak ada pada dirinya bahkan kebalikan dengan dirinya, seperti menuduh kafir kepada seorang Muslim akan berakibat dikembalikannya tuduhan itu kepada dirinya, sebagaimana disebutkan dalam kitab Shohiih Muslim dari 'Abdulloh bin 'Umar ro-dhiyaLLOOHU 'anhuma bahwa Nabi shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam bersabda, "Apabila ada seseorang mengafirkan saudaranya, maka kekafiran itu akan kembali kepada salah seorang dari keduanya." (12)

Dalam riwayat lain disebutkan, "Bila memang benar kenyataannya, (berarti orang itu kafir). Akan tetapi, bila tidak demikian kenyataannya, maka (tuduhan) itu akan kembali kepadanya (yang menuduh)."

Dalam hadits yang diriwayatkan dari Abu Dzar ro-dhiyaLLOOHU 'anhu, Nabi shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam bersabda, "Barangsiapa memanggil seseorang dengan panggilan 'si kafir' atau 'musuh ALLOH', padahal tidak demikian kenyataannya, niscaya panggilan itu akan kembali kepadanya." (13)

Maksud kata kafir dari "Bila memang benar kenyataannya (berarti orang itu kafir)" dalam hadits Ibnu 'Umar ro-dhiyaLLOOHU 'anhuma adalah kafir menurut hukum ALLOH Sub-haanahu wa Ta'aala. Ini sama maksudnya dengan kalimat: "Padahal tidak demikian kenyataannya." Maksudnya, tidak kafir menurut hukum ALLOH Sub-haanahu wa Ta'aala.

Itulah bahaya besar yang kedua, yakni tuduhan kafir tersebut akan kembali kepada yang menuduh apabila orang yang dituduh tidak seperti yang dituduhkan.

Orang yang serta merta menuduh kafir seorang Muslim biasanya merasa bangga dengan tuduhannya yang bisa menghina orang lain. Bila demikian berarti sikap ujub (bangga diri) telah merasuki dirinya, dan akan menghapuskan semua 'amalan baik yang dilakukannya. Dan orang yang berlaku sombong seperti itu akan ALLOH masukkan ke dalam Neraka Jahannam.

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad dan Imam Abu Dawud dari Abu Huroiroh ro-dhiyaLLOOHU 'anhu, Nabi shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam bersabda, "ALLOH 'Azza wa Jalla berfirman, 'Kesombongan adalah selendang-KU, dan Keagungan adalah sarung-KU. Barangsiapa berani melepaskannya dari-KU niscaya kelak akan AKU lemparkan dia ke Neraka Jahannam."

Oleh karena itu, wajib bagi kita memperhatikan dua perkara ini sebelum mengafirkan seseorang:

1. Petunjuk dari al-Qur-an dan as-Sunnah tentang hal mengafirkan seseorang. Ini perlu dilakukan agar kita tidak mengada-adakan kedustaan atas nama ALLOH Sub-haanahu wa Ta'aala.

2. Hukum kafir baru boleh kita kenakan kepada pribadi tertentu bila telah sempurna syarat-syarat kekafiran pada dirinya dan tidak ada penghalang bagi dia untuk dikafirkan.

Di antara syarat-syarat yang terpenting dalam masalah ini adalah orang yang kita kafirkan mengetahui bahwa tindak penyimpangan yang dilakukannya dapat menyebabkan dirinya kafir. Ini berdasar firman ALLOH Sub-haanahu wa Ta'aala:

"Barangsiapa yang menentang Rosul setelah jelas baginya kebenaran yang disampaikannya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, maka KAMI biarkan dia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu. Dan kelak akan KAMI masukkan dia ke dalam Jahannam, padahal Jahannam adalah seburuk-buruk tempat kembali."
(Qur-an Suroh an-Nisa': ayat 115)

Pada ayat ini dijelaskan bahwa syarat seseorang dijatuhi hukuman Neraka Jahnnam setelah dia menentang Rosul shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam dan telah jelas baginya kebenaran yang disampaikan oleh Rosul shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam itu.

Mungkin ada yang bertanya: Apakah orang yang dikafirkan itu disyaratkan juga mengetahui akibat dari penyimpangannya yang mengantarkan dirinya menjadi kafir, atau cukup mengetahui penyimpangannya saja? Jawaban yang diambil adalah yang kedua. Jadi, dia cukup mengetahui tindak penyimpangan yang dilakukannya saja. Dasarnya adalah bahwa Nabi shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam mewajibkan kaffaroh (denda) kepada orang yang bersetubuh dengan isterinya di siang hari bulan Romadhon. Orang tersebut hanya mengetahui pelanggaran yang dia kerjakan dan dia tidak mengetahui bahwa hukuman kaffarohlah yang harus dia bayar. Begitu juga hukuman terhadap seseorang yang telah menikah lalu berzina yang hanya tahu tentang haromnya zina. Dia dihukum rajam walaupun dia tidak tahu akibat (hukuman) dari perbuatannya, bahkan boleh jadi dia tidak tahu jenis zina yang ia lakukan.

Di antara perkara yang menghalangi seorang untuk dikafirkan adalah bila dia melakukan tindak kekafiran karena dipaksa, karena ALLOH Sub-haanahu wa Ta'aala berfirman,

"Barangsiapa yang kufur kepada ALLOH setelah dia beriman, (maka dia akan mendapat kemurkaan ALLOH), kecuali orang-orang yang dipaksa sementara hatinya tetap tenang dalam keimanan. Barangsiapa yang melapangkan dadanya pada kekafiran maka mereka akan mendapat murka dari ALLOH dan adzab yang pedih."
(Qur-an Suroh an-Nahl: ayat 106)

Perkara lain yang menghalangi seseorang untuk dikafirkan adalah bila dia melakukan tindakan kekafiran tanpa sadar atau tanpa diniatkan. Ini bisa terjadi ketika seseorang dalam keadaan sangat gembira, sedih, marah, takut atau yang semisal itu. ALLOH Sub-haanahu wa Ta'aala berfirman,

"Dan tidak berdosa kalian melakukan hal-hal karena khilaf. Akan tetapi (kalian berdosa) bila melakukan hal tersebut karena hati kalian memang menyengaja. ALLOH Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."
(Qur-an Suroh al-Ahzab: ayat 5)

Dalam kitab Shohiih Muslim (hadits nomor 2104) diriwayatkan dari Anas bin Malik ro-dhiyaLLOOHU 'anhu bahwa Nabi shollaLLOOHU 'alay-hi wa sallam bersabda,

"ALLOH lebih gembira dengan taubat hamba-NYA tatkala bertaubat kepada-NYA daripada gembiranya seseorang yang dalam perjalanannya di padang tandus yang ketika beristirahat, kendaraan dan semua bekal berupa makanan dan minumannya yang dia simpan di kendaraan itu hilang, dengan putus asa ia mencarinya. Lalu dia mendatangi sebuah pohon dan berteduh sambil tiduran di bawahnya. Dia sungguh telah putus asa mencari kendaraannya yang hilang. Dalam keadaan demikian itu, tiba-tiba kendaraannya sudah berada di hadapannya, maka dia segera meraih tali kekangnya, lalu dia berkata dalam puncak kegembiraannya, 'Ya ALLOH, ENGKAU adalah hambaku dan aku adalah ROBB-mu.' Dia salah dalam ucapannya karena sangat senangnya."

Bersambung...

===

(12) Imam Muslim, kitab al-Iman, bab Bayan Hal Man Qola li Akhihi Ya Kafir.

(13) Imam Muslim, kitab al-Iman, baba Bayan Hal Man Roghiba 'an Abihi wahuwa Ya'lam.

===

Sumber:
Kitab: Syar-hu kasy-fusy syubuhaati wa yaliihi syar-hul u-shuulus sittah, Penulis: Muhammad bin Sholih al-'Utsaimin, Penerbit: Dar ats-Tsaroyya - Kerajaan Saudi Arobia, 1416 H/ 1996 M, Judul terjemah: Syaroh kasyfu syubuhat membongkar akar kesyirikan dilengkapi syaroh ushulus sittah, Penerjemah: Bayu Abdurrohman, Penerbit: Media Hidayah - Jogjakarta, Cetakan I, Robi'uts Tsani 1425 H/ Juni 2004 M.

===

Layanan gratis estimasi biaya rangka atap baja ringan, genteng metal, dan plafon gypsum:
http://www.bajaringantangerang.com

===
Sent from my BlackBerry®
powered by Sinyal Kuat INDOSAT