Shahih Tafsir Ibnu Katsir.
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullaah.
Syaikh Shafiyyurrahman al-Mubarakfuri.
Al-Baqarah, Ayat 108.
Apakah kamu menghendaki untuk meminta kepada Rasulmu sebagaimana Bani Israil meminta kepada Musa pada zaman dahulu? Dan barangsiapa yang menukar keimanan dengan kekafiran, maka sungguh orang itu telah sesat dari jalan yang lurus. (QS. 2: 108)
Larangan Banyak Bertanya.
Dalam ayat ini Allah Ta'ala melarang orang-orang Mukmin banyak bertanya kepada Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam tentang perkara-perkara yang belum terjadi, sebagaimana Dia berfirman, "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu, niscaya akan menyusahkanmu dan jika kamu menanyakan pada waktu al-Qur-an itu sedang diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu." (QS. Al-Maa-idah: 101). Artinya, jika kalian menanyakan rinciannya setelah diturunkannya ayat itu, niscaya akan dijelaskan kepada kalian. Dan janganlah kalian menanyakan suatu perkara yang belum terjadi, karena mungkin saja perkara itu akan diharamkan akibat pertanyaan tersebut. Oleh karenanya dalam sebuah hadits shahih Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Sesungguhnya orang Muslim yang kejahatannya paling besar adalah yang menanyakn sesuatu yang (sebelumnya) tidak diharamkan, kemudian hal itu menjadi diharamkan dengan sebab pertanyaannya." (408)
Dan ketika Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam, ditanya tentang seseorang yang mendapati isterinya sedang bersama laki-laki lain, jika kejadian itu dibicarakan maka itu adalah perkara besar (suatu aib untuknya), dan jika dibiarkan maka pantaskah ia diamkan hal tersebut? Maka Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam tidak menyukai pertanyaan-pertanyaan seperti itu dan mencelanya. Kemudian Allah menurunkan hukum mula'anah (li'an/ persaksian (sumpah) suami yang disertai laknat yang menuduh isterinya telah berzina dengan orang lain atau sebaliknya).
Oleh karena itu, di dalam kitab ash-Shahiihain disebutkan dari al-Mughirah bin Syu'bah radhiyallaahu 'anhu, "Bahwa Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam melarang dari banyak bicara dan membicarakan setiap apa yang didengarnya, menghambur-hamburkan harta, dan banyak bertanya." (409)
Dan dalam Shahiih Muslim disebutkan bahwa Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Biarkanlah apa-apa yang tidak aku bicarakan kepada kalian, karena binasanya orang-orang sebelum kalian disebabkan mereka banyak bertanya dan mereka menentang Nabi-nabi mereka. Maka jika aku memerintahkan sesuatu kepada kalian, laksanakanlah semampu kalian dan jika aku melarang kalian dari sesuatu, maka tinggalkanlah." (410)
Sabda beliau ini diucapkan setelah dikabarkan kepada mereka bahwa Allah Ta'ala mewajibkan ibadah haji kepada mereka, lalu seseorang bertanya, "Apakah setiap tahun wahai Rasulullah?" Rasulullah (shallallaahu 'alaihi wa sallam) terdiam meski telah ditanya sebanyak tiga kali. Kemudian beliau pun menjawab, "Seandainya aku menjawab, 'Ya,' maka hal itu akan menjadi suatu kewajiban. Dan kalian tidak akan sanggup melaksanakannya."
Kemudian beliau bersabda, "Biarkanlah apa-apa yang tidak aku bicarakan kepada kalian..." hingga akhir hadits. (411)
Oleh karena itu Anas bin Malik pernah berkata, "Kami dilarang bertanya kepada Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam tentang sesuatu. Hal yang membuat kami senang adalah jika ada seseorang dari penduduk pedalaman (Badui) yang datang dan bertanya kepada beliau dan kami pun turut mendengar." (412)
Baca selanjutnya:
Kembali ke Daftar Isi Buku ini.
Kembali ke Daftar Buku Perpustakaan ini.
===
Catatan Kaki:
408. [Al-Bukhari (no. 7289), Muslim (no. 2358)].
409. Fat-hul Baari (III/ 398) dan Muslim (III/ 1341). [Al-Bukhari (no. 1477), Muslim (no. 1715 (10-14)). Lafazh hadits ini secara lengkap tercantum dalam kitab keduanya].
410. [Muslim (no. 1337), dan ini adalah lafazhnya, dan al-Bukhari (no. 7288)].
411. Muslim (II/ 975). [Muslim (no. 1337)].
412. Muslim (I/ 41). [Muslim (no. 12)].
===
Maraji'/ sumber:
Kitab: al-Mishbaahul Muniiru fii Tahdziibi Tafsiiri Ibnu Katsiir, Penyusun: Tim Ahli Tafsir di bawah pengawasan Syaikh Shafiyyurrahman al-Mubarakfuri, Penerbit: Daarus Salaam lin Nasyr wat Tauzi', Riyadh - Kerajaan Saudi Arabia, Cetakan terbaru yang telah direvisi dan disempurnakan, April 2000 M/ Muharram 1421 H, Judul terjemahan: Shahih Tafsir Ibnu Katsir Jilid 1, Penerjemah: Abu Ihsan al-Atsari, Edit Isi: Abu Ahsan Sirojuddin Hasan Bashri Lc, Penerbit: Pustaka Ibnu Katsir, Jakarta - Indonesia, Cetakan Keempat Belas, Jumadal Awwal 1436 H/ Maret 2015 M.
===
Sent from my BlackBerry®
powered by Sinyal Kuat INDOSAT