Skip to main content

Larangan Banyak Bertanya (2) | Al-Baqarah, Ayat 108 | Shahih Tafsir Ibnu Katsir

Al-Mishbaahul Muniiru fii Tahdziibi Tafsiiri Ibnu Katsiir.

Shahih Tafsir Ibnu Katsir.

Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullaah.

Syaikh Shafiyyurrahman al-Mubarakfuri.

Al-Baqarah, Ayat 108.

Larangan Banyak Bertanya (2).

Firman Allah Ta'ala, "Apakah kamu menghendaki untuk meminta kepada Rasulmu sebagaimana Bani Israil meminta kepada Musa pada zaman dahulu?" Artinya, bahkan kalian menghendakinya. Atau bisa juga pertanyaan itu termasuk bab istifham (pertanyaan) yang bermakna penolakan. Dan firman-Nya itu berlaku umum, terhadap orang-orang Mukmin dan juga orang-orang kafir, karena Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam diutus kepada seluruh manusia, sebagaimana Allah Ta'ala berfirman, "Ahlul Kitab meminta kepadamu agar kamu menurunkan kepada mereka sebuah Kitab dari langit, maka sesungguhnya mereka telah meminta kepada Musa yang lebih besar dari itu. Mereka berkata, 'Perlihatkanlah Allah kepada kami dengan nyata.' Maka mereka disambar petir karena kezhaliman mereka." (QS. An-Nisaa`: 153) (413)

Muhammad bin Ishaq meriwayatkan, telah mengabarkan kepadaku Muhammad bin Abi Muhammad, dari 'Ikrimah atau Sa'id (bin Jubair), dari Ibnu 'Abbas radhiyallaahu 'anhuma, ia mengatakan, "Rafi' bin Huraimalah atau Wahb bin Zaid berkata, 'Wahai Muhammad, datangkan kepada kami sebuah Kitab yang ia diturunkan kepada kami dari langit yang kami akan membacanya. Pancarkanlah untuk kami sungai-sungai, niscaya kami akan mengikuti dan membenarkanmu.' Maka dari perkataan mereka ini Allah menurunkan ayat, 'Apakah kamu menghendaki untuk meminta kepada Rasulmu sebagaimana Bani Isrial meminta kepada Musa pada zaman dahulu? Dan barangsiapa yang menukar keimanan dengan kekafiran, maka sungguh orang itu telah sesat dari jalan yang lurus.'" Maksudnya, bahwa Allah mencela orang yang bertanya kepada Rasul shallallaahu 'alaihi wa sallam tentang suatu perkara dengan maksud mempersulit, dan mengusulkan pendapat yang baru. Sebagaimana yang ditanyakan oleh Bani Israil kepada Musa 'alaihis salaam dengan tujuan untuk menyulitkan, mendustakan dan mengingkarinya.

Allah Ta'ala berfirman, "Dan barangsiapa yang menukar keimanan dengan kekafiran." Artinya, barangsiapa yang membeli kekufuran dengan keimanan, "Maka sungguh orang itu benar-benar tersesat dari jalan yang lurus." Artinya, dia telah keluar dari jalan yang lurus menuju kebodohan dan kesesatan. Begitulah keadaan orang-orang yang menolak untuk membenarkan, mengikuti dan tunduk kepada para Nabi dan berbalik dengan menyelisihi dan mendustakan mereka serta mengusulkan pendapat lain melalui pertanyaan-pertanyaan yang sebenarnya tidak mereka butuhkan dengan tujuan untuk menyulitkan dan mengingkari. Sebagaimana Allah Ta'ala berfirman, "Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang menukar nikmat Allah dengan kekafiran dan menjatuhkan kaumnya ke lembah kebinasaan, yaitu Neraka Jahannam; mereka masuk ke dalamnya; dan itulah seburuk-buruk tempat kediaman." (QS. Ibrahim: 28-29)

Abul 'Aliyah mengatakan, "(Yakni) menukar kebahagiaan (kemudahan) dengan kesempitan." (414)

Baca selanjutnya:

Kembali ke Daftar Isi Buku ini.

Kembali ke Daftar Buku Perpustakaan ini.

===

Catatan Kaki:

413. Ad-Darimi (I/ 48) dan al-Majma' (I/ 158).

414. Ibnu Abi Hatim (I/ 330).

===

Maraji'/ sumber:

Kitab: al-Mishbaahul Muniiru fii Tahdziibi Tafsiiri Ibnu Katsiir, Penyusun: Tim Ahli Tafsir di bawah pengawasan Syaikh Shafiyyurrahman al-Mubarakfuri, Penerbit: Daarus Salaam lin Nasyr wat Tauzi', Riyadh - Kerajaan Saudi Arabia, Cetakan terbaru yang telah direvisi dan disempurnakan, April 2000 M/ Muharram 1421 H, Judul terjemahan: Shahih Tafsir Ibnu Katsir Jilid 1, Penerjemah: Abu Ihsan al-Atsari, Edit Isi: Abu Ahsan Sirojuddin Hasan Bashri Lc, Penerbit: Pustaka Ibnu Katsir, Jakarta - Indonesia, Cetakan Keempat Belas, Jumadal Awwal 1436 H/ Maret 2015 M.

===

Sent from my BlackBerry®
powered by Sinyal Kuat INDOSAT