Skip to main content

Hadits Adab Az Zifaf (98)

أَدَابُ الزِّفَافِ فِى السُّنَّةِ الْمُطَهَّرَةِ

Adaabuz Zifaafi fis Sunnatil Muthahharati.

Adab Az Zifaf.
Panduan Pernikahan Cara Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam.

Imam Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullaah.

Adab Menikah.

38. Menghindari Tindakan yang Melanggar Syariat.

f. Cincin pertunangan.

"Diriwayatkan dari 'Abdullah bin 'Amru bahwa suatu ketika Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam melihat seorang shahabatnya memakai sebuah cincin emas. Melihat hal itu beliau berpaling darinya. Shahabat tadi membuang cincin emas tersebut dan mengambil sebuah cincin dari besi. Beliau bersabda, 'Cincin ini lebih buruk dari cincin tadi. Ini perhiasan ahli Neraka.' Shahabat tadi pun membuangnya dan mengambil sebuah cincin dari perak. Nabi (shallallahu 'alaihi wa sallam) pun mendiamkannya." (189)

Baca selanjutnya:

Kembali ke Daftar Isi Buku ini.

Kembali ke Daftar Buku Perpustakaan ini.

===

Catatan Kaki:

189. Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad (no. 6518 dan 6680), Al Bukhari dalam kitab Al Adab Al Mufrad (no. 1021) dari Amru bin Syu'aib dari ayahnya dari kakeknya. Sanad hadits ini shahih. Dalam kitab Syarah At Tirmidzi (II/ 90) Ibnu Rajab tidak mengomentari hadits ini sedikit pun.

Hadits ini shahih karena mempunyai hadits pendukung yang terdapat dalam kitab Al Musnad (no. 6977), meskipun di dalam hadits pendukung ini terdapat kelemahan.

Hadits ini juga mempunyai hadits pendukung lain dari 'Umar bin Khaththab yang diriwayatkan oleh Ahmad dalam kitab Al Musnad (no. 132) dan Al Uqaili (hlm. 416). Para periwayat hadits pendukung ini tsiqah tetapi terputus sanadnya. Al Uqaili meriwayatkan hadits ini secara bersambung, tetapi dalam sanadnya ada kelemahan. Hadits pendukung ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Sa'ad (IV/ 281) dari 'Umar juga secara mauquf (sanadnya hanya sampai 'Umar bin Khaththab, tidak sampai kepada Nabi (shallallahu 'alaihi wa sallam), Pent.).

Hadits ini juga mempunyai hadits pendukung lain dari Buraidah yang diriwayatkan oleh Ash-habus Sunan dan Ad Daulabi (II/ 16). Hadits pendukung ini dinilai shahih oleh Ibnu Hibban, tetapi dinilai dha'if oleh Al Hafizh dalam kitab Al Fath (X/ 259) karena dalam sanadnya terdapat seorang periwayat bernama Abu Thayyibah 'Abdullah bin Muslim Al Marwazi. Tentang Abu Thayyibah, Abu Hatim Ar Razi berkata, "Haditsnya ditulis orang tetapi tidak dijadikan hujjah." Dalam kitab Ats Tsiqat Ibnu Hibban mengomentari, "Dia melakukan kesalahan dan menyelisihi (periwayat yang lebih kuat, Pent.)."

Saya berkata: Dia memang dha'if dari segi hafalan, tetapi dia tidak termasuk muttaham (tertuduh berdusta, Pent.). Oleh karena itu, Al Hafizh dalam kitab At Taqrib berkata, "Dia seorang yang jujur, tetapi dia keliru." Periwayat seperti dia haditsnya bisa dijadikan hujjah ketika ada periwayat lain yang mendukung periwayatannya atau ia tidak sendirian dalam meriwayatkan. Hadits yang dia riwayatkan ini masuk dalam kriteria di atas. Jadi, hadits ini merupakan hadits pendukung yang kuat, insya Allah.

Hadits ini juga mempunyai hadits pendukung lain dari Jabir yang diriwayatkan oleh Abul Hasan bin Ash Shalt Al Mujbir di satu bagian dari kitab Amali Abi 'Abdillah Al Muhamili wa Isma'il Ash Shaffar (I/ 58).

Peringatan: Hadits di atas menunjukkan haramnya memakai cincin besi karena Nabi (shallallahu 'alaihi wa sallam) mengatakan bahwa cincin besi lebih buruk dari cincin emas. Jadi, kita jangan sampai tertipu oleh fatwa yang disampaikan sebagian mufti yang menyatakan bahwa cincin besi mubah hukumnya berdasar hadits yang terdapat dalam kitab Ash Shahihain, yaitu Nabi (shallallahu 'alaihi wa sallam) berkata kepada seorang laki-laki yang melamar seorang perempuan namun tidak mempunyai mahar, "Carilah, walaupun sebuah cincin besi!" Saya telah membeberkan derajat hadits ini dalam kitab Al Irwa' (no. 1983). Akan tetapi hadits ini bukan nas yang menjadi hujjah atas mubahnya cincin besi. Oleh karena itu, dalam kitab Al Fath (X/ 266) Al Hafizh berkata, "Hadits ini ada yang menjadikannya sebagai hujjah atas bolehnya memakai cincin besi, padahal dalam hadits tersebut tidak ada hujjah mengenai hal itu, karena diperbolehkannya orang tersebut mencari cincin besi tidak berarti diperbolehkan untuk memakainya. Mungkin saja maksud Nabi (shallallahu 'alaihi wa sallam) adalah agar wanita yang menerima mahar tersebut bisa memanfaatkan hasil penjualan cincin tersebut."

Saya berkata: Taruhlah hadits tersebut merupakan nas yang membolehkan cincin besi. Akan tetapi hadits ini selayaknya kita pahami muncul sebelum munculnya hadits yang mengharamkan. Ini ditempuh agar kedua hadits tersebut bisa digabungkan sebagaimana kita menggabungkan hadits-hadits yang membolehkan laki-laki memakai perhiasan emas dengan hadits-hadits yang mengharamkannya. Jelas harus seperti itu, tidak diragukan lagi, insya Allah.

Ulama yang berpendapat haramnya cincin besi sebagaimana disebutkan dalam hadits ini adalah Ahmad dan Ibnu Rahawaih rahimahullah. Ishaq bin Manshur Al Marwazi pernah bertanya kepada Ahmad, "Cincin dari emas atau dari besikah yang diharamkan?" Dia menjawab, "Ya, (kedua-duanya), demi Allah." Ishaq berkata, "Begitulah pendapat Ahmad." Tanya jawab ini terdapat dalam kitab Masail Al Marwazi (hlm. 224).

Malik juga berpendapat serupa sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Wahb dalam kitab Al Jami' (hlm. 101). Ini juga menjadi pendapat 'Umar sebagaimana disebutkan dalam kitab Thabaqat Ibni Sa'ad (IV/ 114) dan kitab Jami' Ibnu Wahb (hlm. 100). Pendapat 'Umar ini juga disebutkan oleh 'Abdurrazzaq dan Al Baihaqi dalam kitab Asy Syu'ab, begitu pula dalam kitab Al Jami' Al Kabir (XIII/ 191/ 1).

Hadits ini juga tidak bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan oleh Mu'aiqib radhiyallahu 'anhu, dia berkata, "Cincin Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam terbuat dari besi yang dilapisi perak. Seringkali cincin tersebut ada pada saya." Mu'aiqib adalah seorang shahabat Nabi yang memegang cincin Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud (II/ 198) dan An Nasai (II/ 290) dengan sanad shahih. Hadits ini mempunyai tiga hadits pendukung yang mursal sebagaimana disebutkan dalam kitab Thabaqat Ibni Sa'ad (I/ 2/ 163-164). Al Hafizh menyebutkan hadits-hadits pendukung ini dalam kitab Al Fath (X/ 265). Hadits ini juga mempunyai hadits pendukung lain yang diriwayatkan oleh Ath Thabarani (I/ 206/ 2).

Saya berkata: Tidak ada pertentangan antara hadits yang melarang menggunakan cincin besi dengan hadits tersebut. Keduanya bisa dipadukan pengertiannya, yaitu yang dilarang adalah menggunakan cincin yang terbuat dari besi murni sebagaimana dikatakan oleh Al Hafizh. Menurut kaidah, perkataan Nabi (shallallahu 'alaihi wa sallam) lebih didahulukan untuk dijadikan hujjah daripada perbuatannya. Jadi, kalau kedua hadits tersebut tidak bisa kita padukan, maka hadits yang melarang cincin besi yang kita ambil, bukan hadits yang diriwayatkan dari Mu'aiqib. Wallahu a'lam.

Ada hadits yang diriwayatkan oleh An Nasai (II/ 290) melalui jalur Dawud bin Manshur, dia berkata: Laits bin Sa'ad pernah bercerita kepada kami dari Amru bin Al Harits dari Bakar bin Sawadah dari Abul Bakhtari dari Abu Sa'id Al Khudri, dia berkata, "Pernah ada seseorang dari Bahrain datang menemui Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Orang tersebut mengucapkan salam, namun tidak dijawab oleh Nabi. Ternyata orang tersebut memakai cincin dari emas. Nabi (shallallahu 'alaihi wa sallam) berkata, 'Sesungguhnya di tangan orang itu terdapat bara api Neraka.' Orang tersebut menyahut, 'Lalu cincin apa yang bisa saya pakai?' Beliau menjawab, 'Cincin yang terbuat dari besi, perak, atau kuningan.'" Hadits ini dha'if. Ibnu Rajab Al Hanbali menilai hadits ini lemah dalam kitab Syarah At Tirmidzi (I/ 90), tetapi dia tidak membahasnya secara tuntas. Menurut saya, hadits ini mempunyai cacat yang halus, yaitu ada periwayat bernama Dawud bin Manshur. Dia memang seorang yang jujur, tetapi lemah hafalannya. Hal ini diisyaratkan oleh Al Hafizh dalam kitab At Taqrib dengan perkataan, "Dia seorang yang jujur, tetapi wahm."

Dalam sanad hadits ini ada perbedaan nama periwayat pada posisi yang sama, yaitu dalam satu sanad disebut nama Abul Bakhtari dan dalam sanad lainnya disebut nama Abun Najib. Al Bukhari dalam kitab Al Adab Al Mufrad (no. 1022) berkata, "'Abdullah bin Shalih telah bercerita kepada kami, ia berkata, 'Al Laits bercerita kepada kami, lalu dia menyampaikan hadits tersebut dengan menyebutkan urutan sanadnya, tetapi dia menyebut nama Abun Najib sebagai ganti dari periwayat bernama Abul Bakhtari.' Hadits dengan sanad yang terdapat nama Abun Najib ini diriwayatkan oleh Ath Thabarani sebagaimana tersebut dalam kitab Al Majma' (V/ 154)."

Yang menguatkan perkataan Ibnu Shalih di atas adalah bahwa Ibnu Wahb juga meriwayatkan demikian. Dalam kitab Al Jami' (hlm. 99) Ibnu Wahb berkata, "Amru bin Al Harits menyampaikan hadits tersebut kepada saya." Ahmad (III/ 14) juga meriwayatkan hadits tersebut melalui jalur Ibnu Wahb. Harun adalah periwayat tsiqah, termasuk periwayat yang dipakai Muslim, tetapi ada periwayat lain yang setara dengannya meriwayatkan hadits tersebut berbeda dengannya. An Nasai (II/ 288) juga berkata, "Ahmad bin Amru bin As Sarh memberitakan kepada kami dengan berkata, 'Ibnu Wahb menyampaikan hadits ini kepada kami dengan menyebutkan urutan sanadnya dengan menyebut nama Abul Bakhtari.'"

Bila demikian keadaannya, maka hadits ini dinamakan mudtharib (hadits mudtharib ialah hadits yang diriwayatkan melalui beberapa jalur periwayatan yang kekuatannya setara, tetapi riwayat yang satu berbeda atau bertentangan dengan riwayat yang lain sehingga tidak bisa ditentukan riwayat mana yang lebih kuat dan tidak bisa dipadukan, Pent.). Jika kita mengatakan bahwa riwayat yang kuat adalah riwayat yang melalui jalur Abul Bakhtari, maka hadits ini munqathi' (terputus sanadnya, Pent.), karena Abul Bakhtari yang nama aslinya Sa'id bin Fairuz tidak pernah mendengar hadits tersebut dari Abu Sa'id Al Khudri berdasar keterangan Abu Dawud dan Abu Hatim. Jika kita mengatakan bahwa riwayat yang kuat adalah riwayat yang melalui jalur Abun Najib, maka dia adalah seorang yang majhul hal (tidak dikenal diri pribadinya, Pent.), tidak ada ahli hadits yang menilainya tsiqah selain Ibnu Hibban dan tidak ada periwayat yang meriwayatkan hadits darinya kecuali Bakar bin Sawadah.

Akan tetapi, menurut saya, yang lebih kuat adalah riwayat yang melalui jalur Abun Najib, karena dalam satu riwayat Ahmad pernah berkata, "Dari Bakar bin Sawadah bahwa Abun Najib, maula 'Abdullah bin Sa'ad, pernah bercerita kepadanya bahwa Abu Sa'id Al Khudri pernah bercerita kepadanya..." Ahmad menyebutkan bahwa Abun Najib mendengar hadits tersebut dari Abu Sa'id. Jadi tidak mungkin dia adalah Abul Bakhtari, karena dia tidak pernah mendengar hadits tersebut dari Abu Sa'id sebagaimana dijelaskan di muka. Oleh karena itu, dia pastilah Abun Najib.

Akan tetapi, Abun Najib ini merupakan cacat dari hadits ini sehingga hadits ini tidak boleh dijadikan sebagai dasar penolakan hadits yang shahih. Apalagi dalam riwayat Ahmad tidak disebutkan bagian akhir hadits: "Orang tersebut menyahut 'Lalu cincin apa yang bisa saya pakai?' Beliau menjawab, 'Cincin yang terbuat dari besi, perak, atau kuningan.'"

Demikianlah, dalam hadits tersebut juga terdapat dalil bolehnya memakai cincin dari perak. Kemutlakan lafal hadits tersebut mengisyaratkan bolehnya memakai cincin perak walaupun beratnya lebih dari 1 mitsqal (kurang lebih 1,5 dirham, Pent.). Adapun hadits yang menyebutkan: "Janganlah kamu menambah hingga beratnya genap satu mitsqal..." adalah hadits dha'if sebagaimana telah saya jelaskan dalam kitab Al Ahadits Adh Dha'ifah wa Al Maudhu'ah wa Atsaruha As Sayyi' fil Ummah. Melalui kitab ini saya telah mempublikasikan sebanyak seribu hadits yang saya bagi menjadi empat jilid, dan masih banyak hadits dha'if maupun maudhu' yang belum saya publikasikan.

===

Maraji'/ Sumber:

Kitab: (أَدَابُ الزِّفَافِ فِى السُّنَّةِ الْمُطَهَّرَةِ) Adaabuz Zifaafi fis Sunnatil Muthahharati, Penulis: Imam Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullaah, Penerbit: Dar As Salam, Tanpa Keterangan Cetakan, Tahun: 1423 H/ 2002 M, Judul Terjemahan: Adab Az Zifaf, Panduan Pernikahan Cara Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam, Penerjemah: Abu Shafiya, Editor: Abu Hanief, Penerbit: Media Hidayah, Jogjakarta - Indonesia, Cetakan Pertama, Muharram 1425 H/ Maret 2004 M, Cetakan Ketiga.

===

Abu Sahla Ary Ambary bin Ahmad Awamy bin Muhammad Noor al-Bantani
Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!

Popular posts from this blog