Skip to main content

Hadits Adab Az Zifaf (86)

أَدَابُ الزِّفَافِ فِى السُّنَّةِ الْمُطَهَّرَةِ

Adaabuz Zifaafi fis Sunnatil Muthahharati.

Adab Az Zifaf.
Panduan Pernikahan Cara Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam.

Imam Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullaah.

Adab Menikah.

38. Menghindari Tindakan yang Melanggar Syariat.

a. Menggantung gambar.

Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam pernah berkata,

Jibril pernah datang kepadaku dan berkata, "Tadi malam saya hendak mendatangimu. Tidak ada yang menghalangiku masuk kecuali karena di pintu rumah ini terdapat patung-patung (162) orang, tirai tipis yang bergambar, dan seekor anjing. Perintahkanlah agar kepala patung yang terdapat di rumah ini dipotong sehingga berbentuk seperti pohon (163); perintahkanlah agar tirai itu dipotong dan dijadikan dua bantal yang digunakan untuk alas bersandar; dan perintahkanlah agar anjing tersebut dikeluarkan. (Sesungguhnya kami tidak mau memasuki rumah yang di dalamnya terdapat gambar atau anjing)." Ternyata anjing itu adalah milik Hasan dan Husain yang waktu itu berada di bawah tempat tidur mereka. (Beliau bertanya, "Wahai 'Aisyah, kapan anjing itu masuk?" 'Aisyah menjawab, "Demi Allah, saya tidak tahu.") Beliau menyuruh agar anjing itu dikeluarkan. (Beliau kemudian mengambil air dengan tangannya dan dipercikkannya di bekas tempat anjing itu). (164)

Baca selanjutnya:

Kembali ke Daftar Isi Buku ini.

Kembali ke Daftar Buku Perpustakaan ini.

===

Catatan Kaki:

162. Dalam hadits disebutkan dengan kata timtsal. Timtsal artinya gambar sebagaimana disebutkan dalam kitab Al Qamus dan lainnya. Kata timtsal digunakan untuk menyebut gambar yang berujud patung maupun gambar biasa, bukan seperti anggapan orang (yang hanya mengartikannya patung saja, Pent.). Kedua makna tersebut terpakai dalam hadits tersebut. Pada awal hadits yang dimaksud adalah makna pertama (yaitu patung) dengan alasan adanya perintah memotong kepala pada hadits tersebut; dan pada bagian berikutnya yang dimaksud adalah makna kedua.

163. Ini merupakan nas yang jelas yang menunjukkan bahwa pengubahan yang menjadikan gambar tersebut bisa kita gunakan adalah pengubahan yang berkenaan dengan ciri utama gambar sehingga mengubah gambar tersebut menjadi bentuk gambar lain. Berkenaan dengan masalah pengubahan gambar ini sebagian fuqaha berkata, "Jika gambar-gambar tersebut telah berubah menjadi gambar-gambar sesuatu yang tidak bernyawa maka boleh dipakai."

Perkataan sebagian fuqaha di atas memang cukup ringkas, sehingga dijadikan dalih oleh orang-orang yang hendak mempermainkan nas-nas syariat. Mereka berusaha membuat takwil-takwil terhadap nas hadits tersebut atau berpegang dengan pendapat-pendapat 'miring' dalam masalah tersebut. Sebagai contoh sebuah tulisan panjang yang ditulis oleh mereka dalam majalah Nurul Islam yang selanjutnya berubah nama menjadi majalah Al Azhar. Saya telah membaca tulisan tersebut beberapa tahun yang lalu. Inti tulisan tersebut menyatakan bahwa seorang seniman (!) Muslim diperbolehkan membuat patung secara lengkap, lalu membuat lobang pada bagian kepala yang tembus hingga otaknya, sehingga kalaupun itu gambar makhluk hidup tetapi sudah tidak bernyawa lagi! 'Syaikh' tadi berbicara panjang lebar. Dia kemudian melanjutkan kilahnya bahwa agar cacat patung tersebut dari segi artistik tidak terlihat maka seniman tadi bisa memasang rambut palsu pada kepala yang dilubangi itu. Dengan demikian lubang di kepala tersebut tertutup dan patung tadi tampak utuh tanpa cacat. Akhirnya seniman tadi pun akan merasa puas dengan karyanya dan tidak melanggar aturan syariat, menurut anggapannya.

Wahai saudaraku kaum Muslim, pernahkah Anda melihat bentuk permainan terhadap nas-nas syariat secanggih tulisan dia di atas? Sungguh, itu merupakan tindakan yang sangat mirip dengan tindakan orang-orang yang telah dihinakan oleh Allah. Allah Ta'ala berfirman,

"Tanyalah kepada Bani Israil tentang negeri yang berada d dekat laut ketika mereka melanggar aturan pada hari Sabtu, di waktu datang kepada mereka ikan-ikan (yang berada di sekitar) mereka terapung-apung di permukaan air, namun ketika bukan di hari Sabtu ikan-ikan itu tidak datang kepada mereka. Demikianlah Kami mencoba mereka disebabkan mereka telah berlaku fasik." (QS. Al A'raf: 163)

Berkenaan dengan mereka Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda,

"Allah telah melaknat orang-orang yahudi, karena ketika Allah mengharamkan kepada mereka lemak-lemak (babi), mereka mencairkan lemak-lemak tersebut lalu menjualnya, dan uang hasil penjualannya itu mereka makan." Hadits ini muttafaqun 'alaih.

Oleh karena itu, Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam memperingatkan kita agar tidak mengikuti cara-cara mereka dengan sabdanya,

"Janganlah kalian melakukan tindakan sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang yahudi, yaitu berkilah untuk menghalalkan sesuatu yang telah diharamkan oleh Allah."

Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Bathah dalam kitab Juz-u Ibthal Al Hail (hlm. 24) dengan sanad Jayyid sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Taimiyah dan Ibnu Katsir. Akan tetapi dalil-dalil tersebut tidak berguna sama sekali bagi orang-orang yang mengikuti tingkah laku yahudi itu. Lihat kitab Al Ghayah hlm. 11.

Mirip dengan hal di atas adalah tindakan mereka yang membedakan antara menggambar dengan tangan dan menggambar dengan cara memotret. Mereka mengatakan bahwa hal itu bukan termasuk perbuatan menggambar, karena tindakan memotret hanyalah menangkap bayangan benda. Orang-orang yang menggunakan alat potret untuk mengambil gambar dalam waktu yang singkat itu bukan termasuk melakukan perbuatan menggambar. Demikian pula pemotretan yang dilakukan oleh seorang fotografer. Tindakannya mengarahkan kamera ke objek sasaran, lalu memotretnya hingga menjadi gambar negatif, lalu mencucinya dan lain-lain proses yang saya tidak tahu namanya, maka itu juga bukan termasuk perbuatan menggambar.

Al Ustadz Abul Wafa' Darwis menjelaskan bagaimana proses pemotretan berlangsung ketika memberikan bantahan terhadap Syaikh Muhammad bin Ibrahim, Mufti Kerajaan Saudi. Inti perkataan dia bahwa seorang fotografer harus melakukan sebelas macam tindakan untuk membuat sebuah foto. Sekalipun demikian, Ustadz tersebut yang mengetahui semua macam tindakan dalam pemotretan itu tanpa ragu-ragu mengatakan, "Sesungguhnya foto bukan termasuk perbuatan menggambar!"

Akibat adanya pembedaan antara foto dan gambar lukis ini, maka menurut mereka kita diperbolehkan menggantung foto seseorang, misalnya di dalam rumah, tetapi tidak boleh menggantung lukisan tangan. Andaikata ada seorang fotografer yang memotret lukisan tersebut, maka menurut mereka potret lukisan tersebut juga boleh digantung.

Wahai para pembaca, pernahkah Anda melihat kekakuan pendapat serupa ini? Kekakuan pendapat seperti ini hanya saya dapati pada para pengikut aliran zhahiri dulu. Sebagai misal, mereka mengomentari hadits Nabi (shallallaahu 'alaihi wa sallam): "Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam melarang kita kencing di air yang tidak mengalir." Menurut mereka, yang dilarang adalah kencing di air secara langsung. Adapun bila kita kencing di bejana lalu dialirkan ke air, maka ini tidak terlarang! Padahal cara yang kedua tersebut sama saja membuat air menjadi kotor. Kekakuan mereka dalam memahami nas hadits membuat mereka lupa terhadap tujuan dari nas itu sendiri.

Begitu pula mereka yang menganggap bahwa hukum foto adalah mubah. Mereka terpaku pada cara pembuatan gambar yang dikenal pada waktu munculnya larangan tersebut, sehingga mereka tidak memasukkan pembuatan gambar dengan cara baru, yaitu menggunakan kamera foto. Padahal, secara bahasa maupun secara syar'i istilahnya sama yaitu tashwir (menggambar, memfoto, Pent.). Dampak dan bahayanya pun sama dengan gambar yang dibuat dengan tangan.

Sejak beberapa tahun lalu saya kerap mengatakan kepada mereka, "Berdasarkan pemahaman Anda itu, konsekuensinya Anda harus membolehkan patung-patung yang pembuatannya tidak dipahat, melainkan menggunakan mesin pencetak patung yang mampu menghasilkan patung-patung dalam beberapa menit saja sebagaimana mesin-mesin pencetak boneka yang berwujud anak-anak dan binatang-binatang. Bagaimana komentar Anda tentang hal ini?" Mereka hanya diam. Anehnya, orang-orang yang berpaham neo-zhahiri ini tidak menyadari kezhahiriannya. Bahkan, pengikut mereka mengklaim bahwa pendapat golongan merekalah yang benar. Sebagian dari mereka berkata, "Golongan kamilah yang memahami nas sesuai hakikatnya." Sekarang para pembaca bisa mengetahui siapa mereka sebenarnya. Mudah-mudahan hal ini bisa kita jadikan pelajaran.

Sebelum saya akhiri pembahasan masalah ini, tidak lupa saya sampaikan bahwa sekalipun menurut pendapat saya gambar adalah haram, baik gambar lukis maupun gambar foto, tetapi kami membolehkan gambar yang mempunyai faedah nyata, tidak menimbulkan mudharat, misalnya foto yang dibutuhkan untuk keperluan medis, geografi, untuk melacak pelaku tindak kriminal, dan sebagainya. Untuk keperluan semua itu gambar diperbolehkan, bahkan dalam kondisi tertentu hukumnya bisa menjadi wajib. Ada dua hadits yang mendasari hal ini.

Pertama. Hadits yang diriwayatkan dari 'Aisyah bahwa dia biasa bermain dengan boneka-bonekanya. Dia berkata, "Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam sering mendatangkan teman-teman saya untuk bermain bersama saya." Hadits ini diriwayatkan oleh Al Bukhari (X/ 433), Muslim (VII/ 135), Ahmad (VI/ 166, 233 & 234). Lafal tersebut terdapat dalam riwayat Ahmad. Hadits ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Sa'ad (VIII/ 66). Dalam riwayat lain dari 'Aisyah juga disebutkan bahwa dia memiliki boneka-boneka. Jika Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam masuk rumah, beliau menutup dirinya dengan kain.

Abu Awanah berkata, "Itu dilakukan Nabi (shallallaahu 'alaihi wa sallam) agar 'Aisyah tidak berhenti bermain." Hadits dengan lafal lain ini diriwayatkan oleh Ibnu Sa'ad (VIII/ 65) dengan sanad shahih. Ada juga hadits lain yang menyebutkan bahwa 'Aisyah mempunyai kuda-kudaan bersayap yang dibuat dari potongan-potongan kain.

Al Hafizh berkata, "Hadits ini menjadi dalil bolehnya membuat boneka yang dijadikan mainan bagi anak-anak perempuan. Ini merupakan pengecualian dari larangan umum membuat gambar. Ini juga menjadi pendapat 'Iyadh yang dia nukil dari pendapat jumhur ulama yang membolehkan berjualan boneka yang dijadikan sarana anak-anak perempuan mengurusi anak-anak dan rumah tangga mereka kelak."

Kedua. Hadits yang diriwayatkan dari Rubayyi binti Mu'awwidz, dia berkata, "Suatu ketika Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam mengirim utusan di pagi hari bulan Asyura' ke desa-desa (di sekitar Madinah). Utusan tersebut menyampaikan, "Barangsiapa yang tadi pagi berbuka hendaklah puasa pada sebagian hari yang tersisa; dan barangsiapa yang tadi pagi puasa hendaklah tetap puasa." Kami pun puasa dan menyuruh puasa kepada anak-anak kami (yang masih kecil, insya Allah, dan kami pergi ke Masjid). Kami membuatkan untuk anak-anak kami yang masih kecil itu boneka-boneka dari wol. (Kami pergi bersama). Jika kemudian salah seorang dari anak-anak kami itu menangis (karena kelaparan atau kehausan), maka kami memberinya boneka. Itu kami lakukan sampai tiba waktu berbuka." (Dalam riwayat lain disebutkan, "... Jika mereka meminta makanan, maka kami memberi mereka boneka untuk mengalihkan permintaan mereka. Itu kami lakukan hingga mereka bisa menyempurnakan puasanya sehari penuh.") Hadits ini diriwayatkan oleh Al Bukhari (IV/ 163), dan lafal di atas terdapat dalam hadits yang dia riwayatkan. Hadits ini juga diriwayatkan oleh Muslim (III/ 152). Tambahan-tambahan dan lafal lain dari hadits tersebut terdapat dalam riwayat Muslim.

Kedua hadits di atas menunjukkan bolehnya menggambar dan memiliki gambar-gambar yang dimaksudkan sebagai sarama mendidik dan mengajari anak-anak serta membentuk kepribadian mereka. Di samping itu, dibolehkan juga menggambar gambar-gambar yang memberikan kemaslahatan bagi kaum Muslim. Selain itu, hukumnya tetap sebagaimana asalanya, yaitu haram. Sebagai misal dalam hal ini menggambar para syaikh, tokoh, teman sejawat, dan sebagainya, yang tidak ada faedahnya, bahkan hanya mengekor perbuatan orang-orang kafir penyembah berhala. Wallahu a'lam.

164. Hadits ini shahih dan merupakan perpaduan riwayat dari lima orang shahabat.

Pertama, riwayat dari Abu Hurairah. Lafal di atas adalah lafal yang diriwayatkan dari dia. Riwayat pertama ini diriwayatkan oleh Abu Dawud (II/ 189), An Nasai (II/ 302), At Tirmidzi (IV/ 21). Hadits ini dinilai shahih oleh Ibnu Hibban (no. 1487), Ahmad (II/ 305-308, 478), 'Abdurrazzaq dalam kitab Al Jami' (no. 68), Ibnu Qutaibah dalam kitab Gharib Al Hadits (1/ 100/ 1), Al Baghawi dalam kitab Syarah As Sunnah (III/ 218/ 1) dan Adh Dhiya' dalam kitab Al Mukhtarah (X/ 107/ 1). Sanad-sanadnya shahih.

Kedua dan ketiga, riwayat dari 'Aisyah dan Maimunah yang diriwayatkan oleh Muslim (VI/ 156), Abu Awanah dalam kitab Shahihnya (VIII/ 249-250 & II/ 253), Ahmad (VI/ 142-143, 330), Al Baghawi (III/ 217/ 1), Ath Thahawi dalam kitab Al Musykil (I/ 367-377), dan Abu Ya'la (II/ 333 dan II/ 335).

Keempat, riwayat dari Abu Rafi' yang diriwayatkan oleh Ar Rauyani (25/ 139/ 2). Tambahan lafal dalam kurung kedua terdapat dalam riwayat Abu Rafi', tambahan pada kurung terakhir terdapat dalam riwayat Maimunah, sedangkan tambahan sebelumnya dan lafal lain dalam hadits tersebut terdapat dalam riwayat 'Aisyah. Lafal hadits tersebut secara utuh merupakan riwayat Abu Hurairah yang dikeluarkan oleh Ahmad dan lain-lain.

Kelima, riwayat dari Usamah bin Zaid yang diriwayatkan oleh Ath Thahawi dengan sanad hasan.

===

Maraji'/ Sumber:

Kitab: (أَدَابُ الزِّفَافِ فِى السُّنَّةِ الْمُطَهَّرَةِ) Adaabuz Zifaafi fis Sunnatil Muthahharati, Penulis: Imam Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullaah, Penerbit: Dar As Salam, Tanpa Keterangan Cetakan, Tahun: 1423 H/ 2002 M, Judul Terjemahan: Adab Az Zifaf, Panduan Pernikahan Cara Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam, Penerjemah: Abu Shafiya, Editor: Abu Hanief, Penerbit: Media Hidayah, Jogjakarta - Indonesia, Cetakan Pertama, Muharram 1425 H/ Maret 2004 M, Cetakan Ketiga.

===

Abu Sahla Ary Ambary bin Ahmad Awamy bin Muhammad Noor al-Bantani
Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!