Adaabuz Zifaafi fis Sunnatil Muthahharati.
Adab Az Zifaf.
Panduan Pernikahan Cara Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam.
Imam Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullaah.
Adab Menikah.
38. Menghindari Tindakan yang Melanggar Syariat.
a. Menggantung gambar.
Dari 'Aisyah radhiyallaahu 'anhuma, ia berkata,
Suatu ketika Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam mendatangiku. Waktu itu tirai (158) penutup bilik (159) saya berupa kain tipis yang penuh dengan gambar. (Dalam riwayat lain disebutkan: terdapat gambar kuda-kuda yang bersayap.) Melihat tirai tersebut, beliau merobeknya dan wajahnya terlihat merah padam. Beliau kemudian bersabda, "Wahai 'Aisyah, manusia yang disiksa dengan siksaan yang paling keras pada hari Kiamat kelak adalah orang-orang yang membuat sesuatu yang menyerupai ciptaan Allah." (Dalam riwayat lain disebutkan, "Sesungguhnya pembuat gambar-gambar ini kelak akan disiksa dan dikatakan kepadanya, 'Hidupkanlah apa yang telah kamu ciptakan ini!'" Beliau kemudian bersabda, "Sesungguhnya rumah yang di dalamnya terdapat gambar-gambar tidak akan dimasuki Malaikat.") 'Aisyah berkata, "Saya kemudian memotong kain tersebut dan menjadikannya sebuah bantal atau dua bantal. (Saya kemudian melihat beliau duduk di atas salah satu dari dua bantal itu meskipun bantal tersebut masih bergambar.)" (160)
Baca selanjutnya:
Kembali ke Daftar Isi Buku ini.
Kembali ke Daftar Buku Perpustakaan ini.
===
Catatan Kaki:
158. Dalam hadits disebutkan dengan lafal qiram. Qiram adalah tirai atau tabir yang tipis. Ada juga yang mengatakan bahwa qiram adalah kain tebal dari wol yang berwarna-warni. Demikianlah yang dikatakan oleh Ibnul Atsir dalam kitab An Nihayah. Dalam kitab Gharib Al Hadits (II/ 77/ 2) As Sarqasti berkata, "Qiram adalah kain dari wol dengan warna-warna yang biasa digunakan untuk tirai penutup sekedup. Bentuk jamaknya adalah qurum."
159. Dalam hadits disebutkan dengan lafal sahwah. Sahwah adalah sebuah bangunan petak kecil yang menyerupai kamar atau lemari. Demikianlah yang dikatakan oleh Ibnul Atsir dalam kitab An Nihayah.
160. Hadits ini diriwayatkan oleh Al Bukhari (X/ 317-318), Muslim (VI/ 158-160). Lafal hadits di atas yang terdapat dalam riwayat Muslim. Hadits ini juga diriwayatkan oleh Al Baihaqi (VII/ 269), Al Baghawi dalam kitab Syarah As Sunnah (III/ 217/ 1). Ats Tsaqafi dalam kitab Ats Tsaqafiyyat (hadits no. 11). Hadits ini juga diriwayatkan oleh 'Abdurrazzaq dalam kitab Al Jami' (Juz II hadits no. 64 menurut penomoran saya), Ahmad (VI/ 229, 281). Tambahan dalam kurung yang terakhir terdapat pada riwayat Ahmad. Sanad hadits ini shahih karena para periwayatnya biasa dipakai oleh Muslim.
Saya berkata: Hadits ini mengandung dua petunjuk, yaitu:
Pertama. Haramnya menggantung gambar atau sesuatu yang mengandung gambar.
Kedua. Larangan membuat gambar, baik berupa patung maupun gambar biasa. Dengan kata lain, baik yang memiliki bayangan maupun tidak. Ini merupakan pendapat jumhur ulama. An Nawawi berkata, "Ada sebagian salaf berpendapat bahwa yang diharamkan adalah gambar yang mempunyai bayangan (maksudnya berupa patung, Pent.). Adapun yang tidak mempunyai bayangan maka tidak diharamkan sama sekali memasangnya. Pendapat ini tidak benar karena gambar pada tirai 'Aisyah yang dilarang Nabi (shallallaahu 'alaihi wa sallam) itu adalah gambar yang tidak mempunyai bayangan. Meskipun begitu, Nabi (shallallaahu 'alaihi wa sallam) tetap melarang 'Aisyah memasangnya."
Ada penulis masa kini yang mengomentari hadits 'Aisyah ini dengan perkataan, "Gambar yang disebutkan dalam hadits tersebut tidak sesuai dengan realita, mengandung kedustaan, karena pada kenyataannya tidak ada kuda yang bersayap. Hal inilah yang dilarang oleh Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam."
Komentar semacam itu jelas batil dilihat dari beberapa alasan.
Pertama. Dalam hadits tersebut tidak terdapat sedikit pun isyarat yang menunjukkan larangan Nabi (shallallaahu 'alaihi wa sallam) memasang gambar tersebut karena gambar tersebut menyalahi kenyataan. Penyebab larangan Nabi (shallallaahu 'alaihi wa sallam) bukan hal itu, tetapi perkataan beliau, "Sesungguhnya rumah yang di dalamnya terdapat gambar-gambar tidak akan dimasuki Malaikat." Dalam perkataan ini beliau menyebutkan gambar secara mutlak, tidak membatasinya dengan jenis gambar tertentu. Jadi, beliau merobek tirai tersebut tidak lain agar Malaikat tidak enggan memasuki rumah beliau.
Kedua. Andaikata penyebab larangan Nabi (shallallaahu 'alaihi wa sallam) itu sebagaimana dikatakan oleh penulis itu, niscaya beliau tidak membiarkan 'Aisyah membuat mainan bonekanya berbentuk kuda yang mempunyai dua sayap sebagaimana akan disebutkan dalam riwayat lain yang akan disebutkan dalam bahasan ke-40 nanti.
Dengan demikian terbantahlah komentar penulis tadi. Jadi, hadits tersebut muhkam (bisa dijadikan pegangan hukum, Pent.), tidak ada kejanggalan sedikit pun. Adapun hadits yang diriwayatkan oleh Abu Thalhah, "Sesungguhnya Malaikat tidak mau memasuki rumah yang di dalamnya terdapat gambar kecuali gambar pada kain," maknanya adalah "pada kain yang dihinakan, tidak digantungkan," karena dalam hadits yang diriwayatkan oleh 'Aisyah di atas disebutkan, "Saya kemudian melihat beliau duduk di atas salah satu dari dua bantal itu meskipun bantal tersebut masih bergambar." Gambar dengan kondisi seperti ini tidak menghalangi para Malaikat memasuki rumah. Jadi, hadits yang diriwayatkan oleh 'Aisyah itu menerangkan dan mengkhususkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Thalhah. Kita tidak boleh mengambil ketetapan hukum dengan keumuman hadits yang diriwayatkan oleh Abu Thalhah.
Di samping dua hal di atas, dia juga telah melakukan kesalahan lain. Dia menjadikan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Thalhah itu sebagai dalil diperbolehkannya menggambar di atas kain. Berdasarkan hal itu dia kemudian memperbolehkan menggambar di atas kertas. Hal ini jelas merupakan kesalahan karena hadits tersebut harus dipergunakan sebagaimana yang telah saya jelaskan di muka. Adapun tentang hukum menggambar sendiri, hadits tersebut tidak menjelaskannya. Hukum tersebut dijelaskan oleh hadits yang diriwayatkan oleh 'Aisyah secara tegas mengharamkan perbuatan menggambar pada kain. Di situ Nabi (shallallaahu 'alaihi wa sallam) bersabda, "Sesungguhnya pembuat gambar-gambar ini kelak akan disiksa..." Perkataan Nabi (shallallaahu 'alaihi wa sallam) ini tidak boleh ditinggalkan begitu saja hanya karena ada hadits yang diriwayatkan oleh Abu Thalhah yang tidak menyinggung masalah tersebut. Hal ini tampak gamblang bagi orang yang mau berlaku lurus dan objektif, insya Allah.
Sebagai konsekuensi dari apa yang saya jelaskan di atas, seorang Muslim yang telah mengetahui haramnya perbuatan menggambar tidak diperbolehkan membeli kain yang bergambar, walaupun tidak dihinakan, karena hal itu termasuk tindakan mendukung perbuatan mungkar. Akan tetapi, bagi orang yang mengetahui hukum tersebut setelah terlanjur membelinya, maka dia diperbolehkan menggunakannya untuk sesuatu yang dihinakan sebagaimana yang ditunjukkan oleh hadits yang diriwayatkan oleh 'Aisyah.
Barangkali gambar yang disebutkan di akhir hadits, yaitu perkataan 'Aisyah, "Kemudian saya melihat beliau duduk di atas salah satu dari dua bantal itu meskipun bantal tersebut masih bergambar" adalah gambar yang telah dipotong bagian tengahnya sehingga bentuknya tidak sempurna lagi. Demikianlah kesimpulan Al Hafizh yang memadukan antara kedua hadits tersebut dengan hadits mengenai bantal 'Aisyah yang disebutkan daam bahasan ke-33. Silakan para pembaca melihatnya kembali!
Kemudian saya menemukan hadits yang menguatkan hal tersebut, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah yang mengisahkan tentang kedatangan Jibril kepada Rasulullah (shallallaahu 'alaihi wa sallam) dan berkata kepada beliau, "Sesungguhnya di dalam rumah tersebut terdapat tabir dinding yang bergambar. Oleh karena itu, hendaklah kalian memotong kepala gambar-gambar tersebut, lalu jadikanlah sebagai hamparan atau bantal, lalu gunakanlah untuk bersandar, karena kami tidak mau memasuki rumah yang di dalamnya terdapat gambar-gambar." Para periwayat hadits ini adalah para periwayat hadits shahih sebagaimana telah saya jelaskan dalam kitab Silsilah Al Ahadits Ash Shahihah.
===
Maraji'/ Sumber:
Kitab: (أَدَابُ الزِّفَافِ فِى السُّنَّةِ الْمُطَهَّرَةِ) Adaabuz Zifaafi fis Sunnatil Muthahharati, Penulis: Imam Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullaah, Penerbit: Dar As Salam, Tanpa Keterangan Cetakan, Tahun: 1423 H/ 2002 M, Judul Terjemahan: Adab Az Zifaf, Panduan Pernikahan Cara Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam, Penerjemah: Abu Shafiya, Editor: Abu Hanief, Penerbit: Media Hidayah, Jogjakarta - Indonesia, Cetakan Pertama, Muharram 1425 H/ Maret 2004 M, Cetakan Ketiga.
===
Abu Sahla Ary Ambary bin Ahmad Awamy bin Muhammad Noor al-Bantani
Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!