Adaabuz Zifaafi fis Sunnatil Muthahharati.
Adab Az Zifaf.
Panduan Pernikahan Cara Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam.
Imam Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullaah.
Adab Menikah.
39. Wanita Haram Memakai Perhiasan Emas yang Bentuknya Melingkar.
Diriwayatkan dari Ummu Salamah, istri Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, dia berkata, "Saya pernah memakai sya'irah (198) dari emas di leherku (198b). Tiba-tiba datanglah Nabi, namun beliau tidak mau melihatku. Saya berkata, 'Apakah engkau tidak mau melihat perhiasanku?' Beliau menjawab, 'Perhiasanmulah yang menyebabkan aku tidak mau melihatmu.'" (Ummu Salamah berkata, "Saya lalu memutus kalung tadi. Setelah itu, Nabi mau melihatku.") Atha' bin Rabah berkata (199), "Mereka mengatakan bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berkata, 'Tidak mengapa jika kalian membuat anting-anting dari perak, lalu menyepuhnya dengan za'faran.'" (200)
Baca selanjutnya:
Kembali ke Daftar Isi Buku ini.
Kembali ke Daftar Buku Perpustakaan ini.
===
Catatan Kaki:
198. Sya'irah ialah sejenis perhiasan yang bentuknya seperti butiran gandum.
198b. Dalam hadits ini Ummu Salamah terkadang membahasakan dirinya dengan kata ganti orang ketiga. (Pent.)
199. Yang berkata ini adalah Atha' bin Rabbah yang meriwayatkan hadits ini dari Ummu Salamah, sehingga hadits ini dinamakan mursal, karena Atha' tidak menyandarkan perkataannya tersebut dari Ummu Salamah. Jadi, hadits ini terhitung dha'if.
Al Laits bin Abu Salim menyampaikan hadits serupa ini beserta sanadnya, yaitu dia berkata, "Dari Atha', dari Ummu Salamah." Hadits dengan sanad ini diriwayatkan oleh Ahmad (VI/ 322) dan Ath Thabarani dalam kitab Al Kabir. Al Laits adalah periwayat yang lemah hafalannya, sementara Atha' tidak pernah mendengar hadits ini dari Ummu Salamah. Akan tetapi, derajat hadits ini tetap shahih karena sanadnya mursal menjadi shahih dengan adanya periwayat lain yang meriwayatkannya secara bersambung.
Hadits ini juga mempunyai dua hadits pendukung yang diriwayatkan dari Asma' dan Abu Hurairah sebagaimana akan disebutkan nanti.
200. Hadits diriwayatkan oleh Ahmad (VI/ 315) dengan sanad shahih karena para periwayatnya biasa dipakai oleh Al Bukhari dan Muslim, andaikata sanadnya tidak terputus sebagaimana disebutkan di muka. Hadits ini juga diriwayatkan oleh Al Harabi dalam kitab Gharib Al Hadits (V/ 30/ 1-2), tetapi dengan lafal yang tersebut di awal hadits saja. Al Haitsami (V/ 148) berkata, "Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad dan Ath Thabarani. Lafal yang diriwayatkan oleh Ath Thabarani adalah yang terbaik. Para periwayat pada lafal yang diriwayatkan oleh Ahmad adalah para periwayat hadits shahih."
Saya berkata: Tambahan lafal dalam kurung adalah yang diriwayatkan oleh Ath Thabarani (XXIII/ 403/ 967). Ath Thabarani dalam kitab Al Kabir meriwayatkan hadits ini secara bersambung melalui jalur Abu Hamzah, dari Abu Shalih, dari Ummu Salamah sampai perkataan, "فَنَزَ عْتُهَا" (fanaza'tuhaa), "فَأَ عْرَضَ عَنِّيْ" (fa-a'radha 'annii). Akan tetapi, sanad ini dha'if karena Abu Hamzah yang nama aslinya Maimun adalah seorang periwayat yang dha'if.
Hadits ini mempunyai hadits pendukung yang mursal-shahih dari Az Zuhri dalam kitab Mushannaf 'Abdurrazzaq (XI/ 71).
Dalam hadits ini dan hadits sebelumnya terdapat petunjuk jelas tentang diharamkannya gelang, kalung, dan cincin emas bagi kaum wanita, dan keharamannya berlaku bagi wanita maupun pria. Diperbolehkan bagi mereka perhiasan emas yang bentuknya tidak melingkar, melainkan dipotong-potong seperti kancing, sisir, dan bentuk-bentuk perhiasan wanita lainnya. Barangkali inilah yang dimaksud oleh hadits yang diriwayatkan oleh An Nasai (II/ 585) dan Ahmad (IV/ 92, 95, & 99) dengan lafal,
"Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melarang kita memakai emas kecuali yang bentuknya terpotong-potong."
Sanadnya shahih. Akan tetapi, ini khusus untuk wanita.
Dalam mengomentari hadits ini secara tersirat Ibnul Atsir menyatakan bahwa itu untuk wanita dan pria. Jadi, wanita dan pria dibolehkan memakai perhiasan emas yang bentuknya terpotong-potong. Dia berkata, "Yang dimaksud adalah perhiasan emas yang sedikit seperti cincin dan anting-anting. Beliau mengharamkan perhiasan yang jumlahnya banyak yang merupakan tradisi orang-orang yang suka berlebih-lebihan dan suka menyombongkan diri. Perhiasan yang sedikit ukurannya ialah yang belum terkena kewajiban zakat."
Ada dua catatan yang perlu disampaikan terhadap penafsiran Ibnul Atsir.
Pertama. Dia memasukkan cincin dalam kategori perhiasan yang muqatha' (berbentuk potongan). Ini bertentangan dengan asal kata muqatha' itu sendiri yaitu al qath'u (pemotongan), yang merupakan lawan kata al washlu (bersambung). Di samping itu, penafsiran dia bertentangan dengan hadits-hadits yang mengharamkan cincin bagi kaum wanita, apalagi kaum pria. Imam Ahmad juga menafsirkan kata al muqatha' dengan asy syai al yasir (perhiasan yang sedikit), tetapi dia tidak mencontohkan cincin dan lainnya. Bahkan, ketika puteranya 'Abdullah bertanya kepadanya, "Bagaimana dengan cincin?" Dia menjawab, "Nabi (shallallahu 'alaihi wa sallam) melarang cincin emas." Lihat kitab Al Masail yang ditulis oleh 'Abdullah bin Ahmad (hlm. 398).
Tampaknya Abul Hasan As Sindi mengetahui hal ini, sehingga dia berkata, "Perkataan Nabi (shallallahu 'alaihi wa sallam) muqatha'an artinya mukassaran maqthu'an (terpatah-patah dan terpotong-potong). Adapun yang dimaksud perhiasan yang sedikit adalah seperti gigi dan perhiasan pada hidung. Wallahu a'lam."
Inilah penafsiran yang benar dan lebih mendekati makna hadits. Jadi, perhiasan yang terpatah-patah dan terpotong-potong dibolehkan untuk dikenakan secara umum, baik oleh pria maupun wanita. Akan tetapi, ada batasan lain untuk pria, yaitu perhiasan tersebut 'perhiasan yang sedikit'.
Kedua. Dia menafsirkan 'perhiasan yang sedikit' dengan perhiasan yang belum terkena kewajiban zakat adalah pendapat yang tidak berdasarkan dalil, sehingga tidak bisa dijadikan pedoman. Jadi, kaum pria berkewajiban menghindarkan diri dari perhiasan emas apapun bentuknya, banyak maupun sedikit, kecuali bila dalam keadaan darurat. Hal ini berdasarkan keumuman makna hadits-hadits yang mengharamkan emas. Wallahu a'lam.
===
Maraji'/ Sumber:
Kitab: (أَدَابُ الزِّفَافِ فِى السُّنَّةِ الْمُطَهَّرَةِ) Adaabuz Zifaafi fis Sunnatil Muthahharati, Penulis: Imam Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullaah, Penerbit: Dar As Salam, Tanpa Keterangan Cetakan, Tahun: 1423 H/ 2002 M, Judul Terjemahan: Adab Az Zifaf, Panduan Pernikahan Cara Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam, Penerjemah: Abu Shafiya, Editor: Abu Hanief, Penerbit: Media Hidayah, Jogjakarta - Indonesia, Cetakan Pertama, Muharram 1425 H/ Maret 2004 M, Cetakan Ketiga.
===
Abu Sahla Ary Ambary bin Ahmad Awamy bin Muhammad Noor al-Bantani
Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!