Skip to main content

Hadits Adab Az Zifaf (101)

أَدَابُ الزِّفَافِ فِى السُّنَّةِ الْمُطَهَّرَةِ

Adaabuz Zifaafi fis Sunnatil Muthahharati.

Adab Az Zifaf.
Panduan Pernikahan Cara Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam.

Imam Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullaah.

Adab Menikah.

39. Wanita Haram Memakai Perhiasan Emas yang Bentuknya Melingkar.

Barangsiapa yang ingin melingkarkan cincin (192) api Neraka kepada kekasihnya (193), maka hendaklah dia melingkarkan cincin emas pada jari kekasihnya. Barangsiapa yang ingin mengalungkan kalung api Neraka kepada kekasihnya, maka hendaklah dia mengalungkan kalung emas pada leher kekasihnya. Barangsiapa yang ingin mengenakan gelang api Neraka pada kekasihnya, maka hendaklah dia mengenakan gelang emas pada tangan kekasihnya. Akan tetapi, perak boleh kalian gunakan. Silakan kalian bermain dengan perhiasan perak, bermain dengan perhiasan perak. (194)

Baca selanjutnya:

Kembali ke Daftar Isi Buku ini.

Kembali ke Daftar Buku Perpustakaan ini.

===

Catatan Kaki:

192. Dalam hadits disebutkan dengan lafal halqah (حَلْقَةٌ). Halqah ialah cincin yang tidak bermata, sebagaimana disebutkan dalam kitab An Nihayah.

Saya berkata: Halqah terkadang juga dipakai di telinga, dan bila dipakai di telinga dinamakan qarth (قَرْطٌ), anting-anting. Zhahir hadits ini tidak mencakup qarth. Akan tetapi, ada beberapa hadits yang menunjukkan haramnya anting-anting, meskipun ternyata hadits-hadits tersebut mengandung kelemahan.

193. Dalam hadits disebutkan dengan lafal "حَبِيْبٌ" (yang mencintai) yang termasuk isim fa'il, tetapi dengana arti isim maf'ul "مَحْبُوْبٌ" (yang dicintai), dan meliputi laki-laki dan perempuan. Contoh lainnya, lafal "قَتِيْلٌ". Kata "قَتِيْلٌ" (yang membunuh) ini juga dengan arti "مَقْتُوْلٌ" (yang terbunuh), dan bisa digunakan untuk laki-laki maupun perempuan. Jadi biasa dikatakan, "رَجُلٌ قَتِيْلٌ" (laki-laki yang terbunuh) dan "اِمْرَأَةٌ قَتِيْلٌ" (perempuan yang terbunuh). Hal seperti ini populer dalam bahasa Arab.

194. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud (II/ 199), Ahmad (II/ 378) melalui jalur 'Abdul 'Aziz bin Muhammad dari Usaid bin Abu Usaid Al Barrad dari Nafi' bin 'Abbas dari Abu Hurairah secara marfu'.

Sanad hadits ini jayyid. Para periwayatnya orang-orang yang tsiqah, para periwayat yang dipakai oleh Muslim, kecuali Usaid. Usaid ini dinilai oleh Ibnu Hibban sebagai periwayat yang tsiqah, dan ada beberapa periwayat yang tsiqah meriwayatkan hadits darinya. At Tirmidzi dalam kitab Al Janaiz (no. 1003) menilai hasan hadits yang diriwayatkan Usaid, sedangkan beberapa ulama hadits menilainya shahih. Oleh karena itu, Adz Dzahabi dan Al Hafizh memberi komentar terhadap diri Usaid, "Dia seorang yang shaduq (jujur)." Asy Syaukani menguatkan penilaian tersebut dalam kitab Nail Al Authar (II/ 70). Begitu juga penilaian Ibnu Hazm (X/ 83-84). Al Mundziri dalam kitab At Targhib (I/ 273) berkata, "Sanad hadits ini shahih."

Saya berkata: Zuhair bin Muhammad At Tamimi menyampaikan hadits dengan sanad yang sama dari Usaid juga. Hadits riwayat Zuhair ini diriwayatkan oleh Ahmad (II/ 233). Lafal-lafal tambahan dalam kurung di atas diriwayatkan oleh Ahmad.

Ibnu Abi Dzi'ib menyampaikan hadits dengan sanad yang sama dengan sanan Usaid. Hadits riwayat Ibnu Abi Dzi'ib ini diriwayatkan oleh Abul Hasan Al Ikhmimi dalam kitab Haditsnya (II/ 9/ 2).

Hadits ini juga diriwayatkan oleh Abul Hasan dalam kitab Al Musnad (IV/ 414) dari Usaid melalui jalur periwayatan lain, tetapi dia mengatakan, "...dari Abu Musa atau Abu Qatadah..." Jadi, dia ragu-ragu.

Hadits ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Adi (I/ 233) dan Abu Nu'aim dalam kitab Akhbar Ashbahan (I/ 104-105) secara ringkas dari Abu Qatadah.

Kemudian suatu ketika saya membaca kitab yang berjudul Dirasat Tathbiqiyyah fi Al Hadits An Nabawi yang ditulis oleh seseorang yang fanatik dengan madzhab Hanafi, dosen mata kuliah Hadits di Universitas Damaskus. Dalam kitab tersebut dia tampak sekali fanatik dengan madzhabnya dan apriori terhadap madzhab-madzhab lain ketika membahas berbagai permasalahan. Dia sering memaksakan pentakwilan terhadap nas-nas hadits agar cocok dengan madzhabnya. Dia juga sering pura-pura tidak tahu terhadap hadits-hadits shahih yang membantah pendapat madzhabnya dan diam tanpa komentar terhadap hadits-hadits dha'if yang mendukung madzhabnya. Akan tetapi, di sini kami tidak akan membahas kesalahan-kesalahan tersebut secara keseluruhan. Kami hanya akan membahas kesalahan dia yang berhubungan dengan masalah yang sedang kita bahas dipandang dari segi ilmu hadits dan fiqih agar para muridnya tidak terperdaya oleh perkataannya itu.

Dalam kitab tersebut dia membela pendapat jumhur ulama dengan cara membantah beberapa dalil yang kami sebutkan dalam buku ini tanpa memberikan penjelasan yang memadai. Dia menyebutkan hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah ini di bagian akhir kitabnya, lalu dia komentari, "Hadits ini dinilai lemah karena diriwayatkan dari Usaid bin Abu Usaid Al Barrad. Tentang diri Usaid, Al Hafizh berkata, 'Dia seorang yang shaduq (jujur).' Setiap periwayat yang dikomentari dengan komentar seperti itu hadits yang dia riwayatkan tidak shahih, karena tidak disertai penyebutan kekuatan hafalan."

Terhadap perkataan tersebut saya jawab: Komentar-komentar yang dia sampaikan menunjukkan sejauh mana kadar ilmu dia yang doktor itu dalam bidang hadits dan kaidah-kaidahnya. Padahal, orang yang baru belajar ilmu hadits saja tahu bahwa hadits mempunyai tiga tingkatan, yaitu shahih, hasan, dan dha'if. Bila ada seorang periwayat yang disifati oleh ahli hadits dengan sifat "shaduq (jujur)" dikatakan haditsnya tidak shahih, apakah otomatis hadits yang dia sampaikan mempunyai derajat dha'if sebagaimana yang dikatakan di Doktor itu? Padahal di antara dua tingkatan tersebut masih ada tingkatan pertengahan, yaitu hasan. Memang tidak selalu demikian. Yang jelas kita harus mengetahui masuk tingkatan yang mana periwayat hadits yang disifati dengan sifat shaduq (jujur) agar tidak buru-buru melemahkan hadits Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, padahal sebenarnya shahih.

Untuk mengetahui hal tersebut mau tidak mau kita harus merujuk kepada perkataan ulama yang memang mumpuni dalam bidang hadits. Saya sebutkan di sini perkataan dua orang tokoh hadits yang terkenal, yaitu Al Hafizh Adz Dzahabi dan Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani.

Adz Dzahabi dalam kitab Mizan Al I'tidal fi Naqd Ar Rijal berkata, "Ungkapan yang digunakan untuk menyebut para periwayat yang diterima haditsnya ialah: pertama, ini yang tertinggi yaitu tsabat hujjah, tsabat hafizh, tsiqah mutqin, tsiqah tsiqah, lalu kedua tsiqah, kemudian ketiga shaduq, la ba'sa bihi, laisa bihi ba'sun, kemudian mahalluhu ash shidq, jayyidul hadits, shalihul hadits, syaikhun wasath, syaikhun hasanul hadits, shaduq insya Allah, shuwailih, dan lain-lain."

Sedangkan Al Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam kitab Taqrib At Tahdzib, kitab yang dijadikan rujukan oleh si doktor untuk mengomentari periwayat bernama Usaid dengan sifat shaduq (jujur). Dalam kitab tersebut ketika menjelaskan tingkatan-tingkatan periwayat hadits Al Hafizh berkata, "Ketiga, orang-orang yang disifati dengan satu sifat saja, seperti tsiqah, mutqin, atau tsabat. Keempat, orang-orang yang tingkatannya sedikit di bawah tingkatan ketiga, yaitu orang-orang seperti ini diberi sifat shaduq, la ba'sa bihi, atau laisa bihi ba'sun."

Kita bisa melihat, Adz Dzahabi memasukkan periwayat yang disifati dengan shaduq setingkat dengan periwayat yang disifati dengan jayyidul hadits dan hasanul hadits. Perkataan Ibnu Hajar juga tidak berbeda dengan perkataan Adz Dzahabi. Menurut dia, para periwayat yang termasuk tingkatan ketiga tidak diragukan lagi haditsnya shahih, sedangkan para periwayat yang termasuk tingkatan keempat tentu saja haditsnya hasan. Demikian yang ditegaskan oleh Syaikh Ahmad Syakir dalam kitab Al Ba'its Al Hatsits (hlm. 118), tetapi saya tidak bisa memuat ucapan Syaikh Ahmad Syakir secara utuh di sini mengingat terbatasnya tempat.

Apakah si Doktor tadi sebenarnya faham tentang hal tersebut tetapi menyembunyikannya agar murid-muridnya beranggapan bahwa hadits tersebut dha'if, karena hadits tersebut merupakan hujjah yang membantah pendapatnya dan orang-orang yang sependapat dengannya? Ataukah masa studi yang begitu lama dalam menempuh gelar doktornya belum cukup membuat dia mengetahui hal tersebut? Jika dia tahu tapi menyembunyikannya, jelas itu satu keburukan, dan jika dia tidak tahu, itu pun sama buruknya.

Taruhlah sanad hadits tersebut dha'if, tetapi dha'if yang ringan. Hadits yang dha'ifnya ringan semacam itu akan menjadi kuat bila mempunyai jalur-jalur periwayatan lain atau bila ada hadits pendukung yang menguatkannya sebagaimana dijelaskan dalam Ilmu Musthalah Hadts. Sebenarnya si Doktor itu tahu hal ini. Dia menyebutkan perkataan serupa itu ketika berbicara tentang hadits dari Abu Musa yang menyebutkan, "...halal bagi kaum wanitanya." Dia menemukan syahid dari hadits tersebut, yaitu hadits dari Tsauban yang akan tersebut di bagian materi pokok kitab ini. Sanad hadits ini shahih menurut sejumlah ulama sebagaimana bisa kita lihat. Hadits ini secara jelas mengharamkan perhiasan emas yang bentuknya melingkar. Akan tetapi, bagaimana sikap si Doktor terhadap kenyataan ini? Dia pura-pura tidak tahu. Dia tidak mau mencantumkan hadits dari Tsauban itu dan tidak memberi isyarat hal itu sedikit pun. Sebaliknya, dia malah menyebutkan hadits Rab'i bin Kharrasy yang telah saya lemahkan dan hadits Asma' binti Yazid yang saya jadikan sebagai hadits pendukung, meskipun lemah tetapi tidak mengapa bila cuma dijadikan hadits pendukung. Dia kemudian mengakhiri pembicaraannya dengan berkomentar, "Hadits-hadits yang dijadikan dalil oleh orang-orang yang berbeda dengan kami semuanya tidak ada yang bersih dari cacat dan kelemahan sehingga tidak ada yang bisa menguatkan hujjah mereka."

Apa maksud perkataan si Doktor itu? Hanya ada dua kemungkinan. Kemungkinan pertama, dia tidak tahu adanya hadits yang diriwayatkan dari Tsauban di atas, tetapi ini tampaknya mustahil. Kemungkinan kedua, dia mengetahuinya, tetapi menurutnya, sebagaimana dikatakan dalam komentar di atas, derajatnya lemah. Kalau begitu, lalu bagaimana pendapat si Doktor terhadap penilaian shahih yang disampaikan oleh Al Hakim, Al Mundziri, Adz Dzahabi, dan Al 'Iraqi? Apakah menurutnya para ahli hadits itu telah salah dalam memberikan penilaian sehingga dia menilai lemah hadits yang mereka nilai shahih? Saya kita dia tidak berani menetapkan seperti itu karena hal itu menjadi hak mereka yang benar-benar mumpuni dalam ilmu hadits. Atau mungkin dia melemahkan hadits itu karena bertentangan dengan pendapat madzhabnya? Jika demikian maka ini bukanlah tindakan orang-orang yang berilmu. Atau mungkin dia melemahkan hadits itu berdasarkan kaidah-kaidah ilmu hadits? Jika demikian, mengapa dia tidak menunjukkan cacat hadits tersebut untuk membantah penilaian shahih para ulama hadits? Dia malah membuang-buang waktu menjelaskan kedha'ifan dua hadits yang memang terbukti dha'if. Seperti itukah tahqiq yang dilakukan oleh seorang Doktor Syariah Universitas Damaskus? Allahlah tempat mengadu dan tempat memohon pertolongan.

Mari kita kembali kepada diskusi dengan si Doktor mengenai pemahaman hadits itu.

Sebagian orang beranggapan bahwa hadits tersebut muncul berkenaan dengan kaum laki-laki saja, tidak termasuk kaum wanita. Anggapan semacam itu kita jawab sebagai berikut:

Pertama. Di muka telah dijelaskan bahwa isim fa'il, yaitu "حَبِيْبٌ" (habiibun) yang ada pada hadits itu maknanya meliputi kaum wanita. Hal ini diisyaratkan oleh Ibnu Hazm dalam kitab Al Muhalla (X/ 84), tetapi dia mengkhususkan hadits ini untuk kaum laki-laki karena adanya hadits yang menghalalkan emas bagi kaum wanita. Akan tetapi, pendapatnya ini bisa kita bantah. Menurut kami, hadits yang menghalalkan wanita memakai emas itu dikhususkan oleh hadits yang mengharamkan, karena hadits yang kedua bersifat khusus. Jika pendapat Ibnu Hazm itu benar, kami tentu tidak keberatan mengikutinya.

Kedua. Dalam hadits tersebut disebutkan tentang kalung dan gelang. Kita tahu kalung dan gelang merupakan perhiasan wanita, bukan perhiasan laki-laki -pada masa itu- sehingga yang dimaksud dalam hadits tersebut adalah kaum wanita. Tentu bagi kaum pria lebih diharamkan lagi.

Ketiga. Dalam hadits tersebut dijelaskan bahwa perhiasan-perhiasan yang terbuat dari perak mubah hukumnya. Ini tidak disebutkan oleh jumhur ulama yang membolehkan secara mutlak perhiasan emas bagi kaum wanita, karena mereka mengharamkan perhiasan perak bagi kaum laki-laki sebagaimana haramnya emas. Jadi, tentulah yang dimaksud dalam hadits tersebut adalah kaum wanita.

Adapun anggapan bahwa hadits ini mansukh (terhapus hukumnya, Pent.) akan kita jawab secara terinci nanti, insya Allah.

===

Maraji'/ Sumber:

Kitab: (أَدَابُ الزِّفَافِ فِى السُّنَّةِ الْمُطَهَّرَةِ) Adaabuz Zifaafi fis Sunnatil Muthahharati, Penulis: Imam Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullaah, Penerbit: Dar As Salam, Tanpa Keterangan Cetakan, Tahun: 1423 H/ 2002 M, Judul Terjemahan: Adab Az Zifaf, Panduan Pernikahan Cara Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam, Penerjemah: Abu Shafiya, Editor: Abu Hanief, Penerbit: Media Hidayah, Jogjakarta - Indonesia, Cetakan Pertama, Muharram 1425 H/ Maret 2004 M, Cetakan Ketiga.

===

Abu Sahla Ary Ambary bin Ahmad Awamy bin Muhammad Noor al-Bantani
Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!

Popular posts from this blog