Bab 18
Memberi Hidayah (83) Adalah Hak Allah
Allah Ta'ala berfirman,
"Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah-lah yang memberikan petunjuk kepada yang dikehendaki-Nya. Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk." (QS. Al Qashash: 56)
Diriwayatkan dalam Shahih Bukhari dan Muslim dari Ibnul Musayyab (84) dari bapaknya. Beliau menuturkan bahwa tatkala Abu Thalib akan meninggal, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mendatanginya. Saat itu di sisinya telah ada Abdullah bin Abi Umayyah dan Abu Jahl. Nabi (shallallahu 'alaihi wa sallam) berkata kepada pamannya ini,
"Duhai pamanku, ucapkanlah La ilaha illallah, satu kalimat yang aku pergunakan sebagai bukti untukmu di hadapan Allah."
Abdullah dan Abu Jahl berkata, "Apakah engkau membenci agama Abdul Muthallib?" Abu Thalib menolak untuk mengucapkan La ilaha illallah. Nabi (shallallahu 'alaihi wa sallam) pun mengulangi perkataannya akan tetapi kedua orang itu pun juga mengulang-ulang perkataan mereka pula.
Akhirnya, kalimat terakhir yang diucapkan Abu Thalib menyatakan bahwa dirinya tetap pemeluk agama Abdul Muthallib dan menolak untuk mengucapkan La ilaha illallah. Nabi (shallallahu 'alaihi wa sallam) bersabda,
"Sungguh, aku akan memintakan ampunan untukmu selama aku tidak dilarang."
Allah 'Azza wa Jalla lantas menurunkan firman-Nya,
"Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabatnya sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni Neraka Jahanam." (QS. At Taubah: 113)
Mengenai Abu Thalib, Allah menurunkan firman-Nya,
"Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi. Akan tetapi Allah memberikan petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya." (HR. Bukhari 1360, Muslim 24)
Kandungan Bab
1. Tafsir firman Allah, "Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi. Akan tetapi Allah memberikan petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya." (85)
2. Tafsir firman Allah Ta'ala, "Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik." (86)
3. Suatu permasalahan yang sangat penting, yaitu tafsir sabda Nabi, "Ucapkanlah La ilaha illallah." Tafsir kalimat ini ternyata berbeda dengan penafsiran yang dilakukan oleh orang-orang yang mengaku-aku bahwa dirinya memiliki ilmu.
4. Abu Jahl dan Abdullah bin Umayyah ternyata mengetahui maksud dari sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tatkala beliau berkata kepada pamannya, "Katakanlah, la ilaha illallah." Sungguh celaka orang yang tidak lebih tahu terhadap makna kalimat tersebut diatas daripada Abu Jahl.
5. Kesungguhan dan usaha maksimal yang dilakukan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam untuk mengislamkan pamannya.
6. Hadits diatas adalah bantahan bagi orang yang menyangka bahwa Abdul Muthallib dan para leluhurnya memeluk agama Islam.
7. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memintakan ampunan untuk pamannya, akan tetapi ternyata Allah tidak mengampuninya. Bahkan beliau dilarang untuk melakukan hal itu.
8. Bahaya teman yang jelek bagi seseorang.
9. Bahaya mengagung-agungkan leluhur dan tokoh-tokoh besar.
10. Racun pemikiran yang dilontarkan oleh orang-orang sesat di antaranya dengan mengagung-agungkan para leluhur. Hal ini nampak dari argumentasi yang dikemukakan Abu Jahal.
11. Hadits di atas penguat dari pernyataan bahwa amalan seseorang itu tergantung dengan akhir kehidupannya. Kalau sekiranya Abu Thalib itu bersedia untuk mengucapkan kalimat La ilaha illallah maka kalimat itu berguna bagi dirinya di hadapan Allah.
12. Perhatikanlah, betapa besarnya dampak racun pemikiran (membangga-banggakan para leluhur, -pent) yang telah menyakiti hati orang orang yang sesat. Dalam kisah diatas disebutkan bahwa mereka tidak menyerang Abu Thalib kecuali (supaya menolak mengucapkan kalimat tauhid, -pent) dengan alasan kemuliaan para leluhurnya. Padahal Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sudah berusaha semaksimal mungkin dan berulang kali (agar pamannya bersedia untuk mengucapkan kalimat La ilaha illallah, -pent). Mereka membatasi diri untuk tidak mengucapkan kalimat tersebut karena konsekuensi kalimat La ilaha illallah sangat agung dan jelas bagi mereka.
=====
Catatan Kaki:
83. Ada dua macam hidayah, yaitu hidayah taufik dan hidayah irsyad, bayan atau dalalah. Hidayat taufik adalah hak Allah semata. Sedangkan hidayah irsyad, bayan atau dalalah adalah menyampaikan jalan kebenaran kepada orang lain agar diikutinya. Hidayah ini bisa dilakukan oleh manusia, -pent.
84. Beliau adalah Sa'id Ibnul Musayyab bin Hazn bin Wahb Al Makhzumi. Beliau adalah salah satu dari tujuh ulama dari kalangan tabiin. Ibnul Madini berkomentar tentang beliau dengan mengatakan, "Tidaklah aku mengetahui kalau di kalangan tabiin ada orang yang memiliki ilmu lebih luas daripada Ibnul Musayyab."
85. Allah Ta'ala menjelaskan bahwa Nabi Muhammad (shallallahu 'alaihi wa sallam) tidak mampu memberikan hidayah -terlebih lagi orang selain beliau- kepada orang lain walaupun orang itu adalah orang yang paling dia cintai. Sesungguhnya memberikan hidayah taufik itu diluar kemampuan manusia. Menciptakan keimanan dalam hati itu adalah hak kuasa Allah Subhanahu wa Ta'ala semata. Dia bisa memberikan hidayah kepada orang yang dikehendaki-Nya. Dia lebih mengetahui orang yang pantas mendapatkan hidayah dari orang-orang yang tidak layak mendapatkan hal itu. Orang yang pantas mendapatkan hidayah, diberi-Nya hidayah. Sedangkan orang yang tidak layak untuk mendapatkannya, Allah akan membuatnya tetap dalam kesesatan. (Lihat Taisir Karimir Rahman hlm. 620)
86. Tidak sepantasnya dan tidaklah baik kalau sekiranya Nabi dan orang-orang beriman memintakan ampun bagi orang-orang musyrik. Mereka adalah orang-orang yang kafir terhadap Allah. Di samping menyembah Allah, mereka juga menyembah kepada selain-Nya. Walaupun mereka adalah kerabat dekat, setelah jelas bahwa mereka akan menjadi penghuni Neraka. Kalau kondisinya sudah demikian, maka memintakan ampun untuk mereka adalah suatu hal yang salah dan tidak bermanfaat. Hal ini dikarenakan kalau mereka mati di atas kesyirikan atau ternyata mereka diketahui meninggal di atas kesyirikan maka mereka akan mendapatkan azab dan kekal dalam api Neraka. Syafaat dan permintaan ampunan dari orang lain tidak lagi bermanfaat baginya. (Lihat Taisir Karimir Rahman hlm.353)
=====
Maraji'/ Sumber:
Kitab: At Tauhid, Alladzi Huwa Haqqullah 'alal 'Abid, Penulis: Syaikhul Islam Muhammad bin 'Abdul Wahhab rahimahullaah, Penerbit: Darul Aqidah, Kairo - Mesir, Tanpa Keterangan Cetakan, Tahun 1422 H/ 2002 M, Judul Terjemahan: Kitab Tauhid, Memurnikan La Ilaha Illallah, Penerjemah: Eko Haryono, Editor, Taqdir, Hidayati, Penerbit: Media Hidayah - Indonesia, Cetakan Pertama, Sya'ban 1425 H/ Oktober 2004 M.