Setiap Perkara Baru yang Tidak Ada Sebelumnya di Dalam Agama adalah Bid'ah. Setiap Bid'ah adalah Kesesatan dan Setiap Kesesatan Tempatnya di Neraka (4) | Syarah 'Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah
Bab III.
Penjelasan Kaidah-kaidah dalam Mengambil dan Menggunakan Dalil.
Penjelasan Kaidah Kesepuluh (4).
"Setiap Perkara Baru yang Tidak Ada Sebelumnya di Dalam Agama adalah Bid'ah. Setiap Bid'ah adalah Kesesatan dan Setiap Kesesatan Tempatnya di Neraka."
C. Hukum Bid'ah Dalam Agama Islam.
Sesungguhnya agama Islam sudah sempurna dengan wafatnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
"Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agama bagimu." (QS. Al-Maa-idah: 3)
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah menyampaikan semua risalah, tidak ada satupun yang ditinggalkan. Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam telah menunaikan amanah dan menasehati umatnya. Kewajiban seluruh umat mengikuti petunjuk Nabi Muhammad 'alahish shalaatu was salaam, karena sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam dan sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan. Wajib bagi seluruh ummat untuk mengikuti beliau shallallahu 'alaihi wa sallam dan tidak berbuat bid'ah serta tidak mengadakan perkara-perkara yang baru karena setiap yang baru dalam agama adalah bid'ah dan setiap yang bid'ah adalah sesat.
Tidak diragukan lagi bahwa setiap bid'ah dalam agama adalah sesat dan haram, berdasarkan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam:
"Hati-hatilah kalian terhadap perkara-perkara yang baru. Setiap perkara-perkara yang baru adalah bid'ah, dan setiap bid'ah adalah sesat." (120)
Demikian juga sabda beliau shallallahu 'alaihi wa sallam:
"Barangsiapa yang mengada-ada dalam urusan (agama) kami ini, sesuatu yang bukan bagian darinya, maka ia tertolak." (121)
Kedua hadits di atas menunjukkan bahwa perkara baru yang dibuat-buat dalam agama ini adalah bid'ah, dan setiap bid'ah itu sesat dan tertolak. Bid'ah dalam agama itu diharamkan. Namun tingkat keharamannya berbeda-beda tergantung jenis bid'ah itu sendiri.
Ada bid'ah yang menyebabkan kekufuran (Bid'ah Kufriyah), seperti berthawaf keliling kuburan untuk mendekatkan diri kepada para penghuninya, mempersembahkan sembelihan dan nadzar kepada kuburan-kuburan itu, berdo'a kepada mereka, meminta keselamatan kepada mereka, demikian juga pendapat kalangan jahmiyah, mu'tazilah dan rafidhah.
Ada juga bid'ah yang menjadi sarana kemusyrikan, seperti mendirikan bangunan di atas kuburan, shalat dan berdoa di atas kuburan dan mengkhususkan ibadah di sisi kubur.
Ada juga perbuatan bid'ah yang bernilai kemaksiatan, seperti bid'ah membujang -yakni menghindari pernikahan- puasa sambil berdiri di terik panas matahari, mengebiri kemaluan dengan niat menahan syahwat dan lain-lain. (122)
Ahlus Sunnah telah sepakat tentang wajibnya mengikuti al-Qur-an dan as-Sunnah menurut pemahaman Salafush Shalih, yaitu tiga generasi yang terbaik (Shahabat, Tabi'in, Tabi'ut Tabi'in) yang disaksikan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa mereka adalah sebaik-baik manusia. Mereka juga sepakat tentang keharamannya bid'ah dan setiap bid'ah adalah sesat dan kebinasaan, tidak ada bid'ah yang hasanah.
Ibnu 'Umar radhiyallahu 'anhuma berkata:
"Setiap bid'ah adalah sesat, meskipun manusia memandang baik." (123)
Imam Sufyan ats-Tsauri rahimahullah (wafat th. 61 H) (124) berkata:
"Perbuatan bid'ah lebih dicintai oleh iblis daripada kemaksiatan dan pelaku kemaksiatan masih mungkin dia untuk bertaubat dari kemaksiatan sedangkan pelaku kebid'ahan sulit untuk bertaubat dari kebid'ahannya." (125)
Imam al-Barbahary rahimahullah berkata: "Jauhilah setiap perkara bid'ah sekecil apapun, karena bid'ah yang kecil lambat laun akan menjadi besar. Demikian pula kebid'ahan yang terjadi pada ummat ini berasal dari perkara kecil dan remeh yang mirip kebenaran sehingga banyak orang terpedaya dan terkecoh, lalu mengikat hati mereka sehingga susah untuk keluar dari jeratannya dan akhirnya mendarah daging lalu diyakini sebagai agama. Tanpa disadari, pelan-pelan mereka menyelisihi jalan lurus dan keluar dari Islam." (126)
=====
Catatan Kaki:
120. HR. Abu Dawud (no. 4607), at-Tirmidzi (no. 2676), Ahmad (IV/46-47) dan Ibnu Majah (no. 42, 43, 44). Hasan Shahih, dari Shahabat 'Irbadh bin Saariyah radhiyallahu 'anhu.
121. HR. Al-Bukhari (no. 2697) dan Muslim (no. 1718), dari 'Aisyah radhiyallahu 'anhuma.
122. Lihat Kitabut Tauhid (hal. 82) oleh Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan dan Nuurus Sunnah wa Zhulumatul Bid'ah (hal. 76-77).
123. Riwayat al-Laalika-iy dalam Syarah Ushuul I'tiqaad Ahlis Sunnah wal Jamaa'ah (no. 126), Ibnu Baththah al-'Ukbary fil Ibaanah (no. 205). Lihat 'Ilmu Ushuulil Bid'ah (hal. 92).
124. Nama lengkapnya adalah Sufyan bin Sa'id bin Masruq ats-Tsauri. Abu 'Abdillah al-Kufi, seorang hafizh yang tsiqah, faqih, ahli ibadah dan Imamul hujjah. Beliau meninggal pada tahun 61 H pada usia 64 tahun. Lihat biografi beliau di dalam kitab Taqriibut Tahdziib (I/371).
125. Riwayat al-Laalika-iy dalam Syarah Ushul I'tiqad Ahlis Sunnah wal Jama'ah no. 238.
126. Syarhus Sunnah lil Imam al-Barbahary (no. 7), tahqiq Khalid bin Qasim ar-Radady, cet. II - Daarus Salaf, th. 1418 H.
=====
Maraji'/ sumber:
Buku: Syarah 'Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah, Penulis: Ustadz Yazid bin 'Abdul Qadir Jawas hafizhahullaah, Penerbit: Pustaka at-Taqwa, Bogor - Indonesia, Cetakan Pertama, Jumadil Akhir 1425 H/ Agustus 2004 M.