Setiap Perkara Baru yang Tidak Ada Sebelumnya di Dalam Agama adalah Bid'ah. Setiap Bid'ah adalah Kesesatan dan Setiap Kesesatan Tempatnya di Neraka | Syarah 'Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah
Bab III.
Penjelasan Kaidah-kaidah dalam Mengambil dan Menggunakan Dalil.
Penjelasan Kaidah Kesepuluh.
"Setiap Perkara Baru yang Tidak Ada Sebelumnya di Dalam Agama adalah Bid'ah. Setiap Bid'ah adalah Kesesatan dan Setiap Kesesatan Tempatnya di Neraka."
A. Pengertian Bid'ah.
Bid'ah berasal dari kata al-ikhtira' yaitu yang baru yang diciptakan tanpa ada contoh sebelumnya.(99)
Bid'ah secara bahasa adalah hal yang baru dalam agama setelah agama ini sempurna. (100) Atau sesuatu yang dibuat-buat setelah wafatnya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berupa kemauan nafsu dan amal perbuatan. (101) Bila dikatakan: "Aku membuat bid'ah, artinya melakukan satu ucapan atau perbuatan tanpa adanya contoh sebelumnya..." Asal kata bid'ah berarti menciptakan tanpa contoh sebelumnya. (102) Di antaranya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
"Allah Pencipta langit dan bumi..." (QS. Al-Baqarah: 117)
Yakni, bahwa Allah menciptakan keduanya tanpa ada contoh sebelumnya. (103)
Bid'ah menurut istilah memiliki beberapa definisi di kalangan para ulama yang saling melengkapi.
Di antaranya:
Al-Imam Ibnu Taimiyyah rahimahullah:
Beliau rahimahullah mengungkapkan: "Bid'ah dalam Islam adalah segala yang tidak disyari'atkan oleh Allah dan Rasul-Nya, yakni yang tidak diperintahkan baik dalam wujud perintah wajib atau bentuk anjuran." (104)
Bid'ah itu sendiri ada dua macam: Bid'ah dalam bentuk ucapan atau keyakinan, dan bentuk lain dalam bentuk perbuatan dan ibadah. Bentuk kedua ini mencakup juga bentuk pertama, sebagaimana bentuk pertama dapat menggiring pada bentuk yang kedua. (105) Atau dengan kata lain, hukum asal dari ibadah adalah dilarang, kecuali yang disyari'atkan. Sedangkan hukum asal dalam masalah keduniaan dibolehkan kecuali yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya.
Asal dari ibadah adalah tidak disyari'atkan, kecuali yang telah disyari'atkan oleh Allah 'Azza wa Jalla. Dan asal dari kebiasaan adalah tidak dilarang, kecuali yang dilarang oleh Allah. (106) Atau dengan kata lain, hukum asal dari ibadah adalah dilarang, kecuali yang disyari'atkan. Sedangkan hukum asal masalah keduniaan adalah dibolehkan, kecualia yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya.
Beliau (Ibnu Taimiyah rahimahullah) juga menyatakan: "Bid'ah adalah yang bertentangan dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, atau ijma' para Ulama as-Salaf berupa ibadah maupun keyakinan, seperti pandangan kalangan al-khawarij, rafidhah, qadariyah, jahmiyah, dan mereka yang beribadah dengan tarian dan nyanyian dalam masjid. Demikian juga mereka yang beribadah dengan cara mencukur jenggot, mengkonsumsi ganja dan berbagai ibadah lainnya yang dijadikan sebagai ibadah oleh sebagian golongan yang bertentangan dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Wallaahu a'lam." (107)
Imam asy-Syathibi (wafat tahun 790 H) rahimahullah: (108)
Beliau menyatakan: "Bid'ah adalah cara baru dalam agama yang dibuat menyerupai syari'at dengan maksud untuk berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala."
Ungkapan 'cara baru dalam agama' itu maksudnya, bahwa cara yang dibuat itu disandarkan oleh pembuatnya kepada agama. Tetapi sesungguhnya cara baru yang dibuat itu tidak ada dasar pedomannya dalam syari'at. Sebab dalam agama terdapat banyak cara, di antaranya ada cara yang berdasarkan pedoman asal dalam syari'at, tetapi juga ada cara yang tidak mempunyai pedoman asal dalam syari'at. Maka, cara dalam agama yang termasuk dalam kategori bid'ah adalah apabila cara itu baru dan tidak ada dasarnya dalam syari'at.
Artinya, bid'ah adalah cara baru yang dibuat tanpa ada contoh dari syari'at. Sebab bid'ah adalah sesuatu yang keluar dari apa yang telah ditetapkan dalam syari'at.
=====
Catatan Kaki:
99. Menurut Imam ath-Thurthusyi dalam al-Hawadits wal Bida' (hal. 40) dengan tahqiq Syaikh 'Ali Hasan bin 'Ali Abdul Hamid al-Halaby al-Atsary.
100. Mukhtarush Shihah (hal. 44).
101. Al-Qamus al-Muhith, Lisanul 'Arab dan Fataawaa Ibnu Taimiyyah.
102. Mu'jamul Maqaayis fil Lughah (halm 119).
103. Mufradaat Alfaazhil Qur-an (hal. 111) oleh ar-Raaghib al-Ashfahani, materi kata bada'a.
104. Majmuu' Fataawaa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (IV/107-108).
105. Ibid, (XXII/306).
106. Ibid, (IV/196).
107. Ibid, (XVIII/346) dan lihat juga (XXXV/414).
108. Al-I'tisham (hal. 50) oleh Abu Ishaq Ibrahim bin Musa bin Muhammad al-Gharnathy asy-Syathibi tahqiq Syaikh Salim bin 'Ied al-Hilaly. Daar Ibni 'Affan, cet. II, 1414 H.
=====
Maraji'/ sumber:
Buku: Syarah 'Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah, Penulis: Ustadz Yazid bin 'Abdul Qadir Jawas hafizhahullaah, Penerbit: Pustaka at-Taqwa, Bogor - Indonesia, Cetakan Pertama, Jumadil Akhir 1425 H/ Agustus 2004 M.