Skip to main content

Bolehnya Ruju' dalam Talak Raj'i | Tafsir Wanita

Tafsir Wanita

Surat Al-Baqarah

Hukum-hukum Puasa

Bolehnya Ruju' dalam Talak Raj'i

Allah berfirman,

"Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) itu menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. Akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya. Dan Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana." (Al-Baqarah: 228)

Penulis buku Jami' Ahkaam An-Nisaa' (4/245) berkata, "Arti yang dimaksud adalah; bahwa suami-suami wanita yang ditalak adalah orang yang paling berhak untuk kembali lagi kepada wanita itu selama mereka berada dalam masa iddah, dan tidak ada kewajiban apapun atasnya dari hukum-hukum nikah. Dan hendaklah dia jadikan tujuan dari ruju'nya itu benar-benar sebagai usaha ishlah. Sedangkan ruju' yang hanya bermaksud untuk mendatangkan kemudharatan, maka yang demikian itu tidaklah boleh. Sebagaimana yang Allah Subhanahu wa Ta'ala firmankan; "Janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan, karena dengan demikian kamu menganiaya mereka. Barangsiapa berbuat demikian, maka sungguh ia telah berbuat zhalim pada dirinya sendiri. Janganlah kamu jadikan hukum-hukum Allah sebagai permainan." (Al-Baqarah: 231)

Al-Qurthubi menambahkan dalam tafsirnya (1); Para ulama sepakat bahwa seorang lelaki yang mentalak istrinya yang merdeka sedangkan dia telah melakukan talak itu sekali atau dua kali, maka dia masih merupakan orang yang paling berhak kembali pada istrinya, sepanjang istrinya masih berada dalam masa iddah, walaupun semestinya sang istri sudah sangat tidak suka kepadanya.

Jika sang suami tidak merujukinya hingga masa iddahnya lewat, maka dia lebih berhak menentukan apa yang terbaik untuk dia lakukan, dan dia kemudian menjadi orang asing (ajnabiyah) untuk suaminya. Dia tidak halal lagi bagi suaminya itu kecuali dengan pinangan dan pernikahan baru, dengan wali dan saksi. Dan bukan lagi dengan sekadar menggunakan cara ruju'. Ketentuan yang demikian ini adalah ijma' ulama.

Al-Muhallab berkata, "Siapa saja yang melakukan ruju' pada masa iddah, maka tidak ada kewajiban apa pun baginya dari hukum nikah, kecuali saksi yang menyaksikan bahwa dia melakukan ruju' itu. Ini adalah ijma' ulama sesuai dengan firman Allah; "Apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik, dan persaksikanlah dengan dua saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah. Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah dan hari Akhirat. Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar." (Ath-Thalaq: 2) Dalam ruju' ini disebutkan tentang kehadiran saksi, dan hal ini tidak disebutkan dalam nikah dan talak. Wallahu a'lam.

Terjadi perselisihan pendapat di kalangan para ulama, jika ada seorang suami yang meruju' istrinya pada masa iddah.

Imam Malik berkata, "Jika dia mencampuri istrinya pada masa iddah dan dia dengan itu berniat ingin ruju', sedangkan dia tidak tahu bahwa harus ada saksi, maka itu sudah dianggap sebagai ruju', meskipun selayaknya bagi wanita itu harus berusaha untuk mencegah suaminya dari mencampurinya hingga ada yang menyaksikan saat terjadi ruju'." Ini adalah pendapat Ishaq sesuai dengan sabda Rasulullah (shallallahu 'alaihi wa sallam); "Sesungguhnya tiap-tiap amal perbuatan itu sesuai dengan niatnya, dan bagi setiap orang itu sesuai dengan apa yang diniatkannya." (2)

Jika dia mencampurinya pada masa iddah dan dia tidak berniat untuk ruju', maka Imam Malik berkata dalam hal ini, "Hendaklah dia ruju' pada masa iddah dan janganlah dia mencampurinya hingga istrinya jelas bersih dari airnya yang kotor itu (istibra')." Ibnul Qasim berkata, "Jika masa iddahnya telah selesai, maka janganlah dia menikahinya, baik dia sendiri atau orang lain selama masih dalam masa istibra' itu. Jika dia melakukan itu, maka nikahnya hendaknya digugurkan. Keharamannya tidak bersifat selamanya bagi dirinya sebab air itu adalah airnya sendiri.

Sekelompok ulama mengatakan; Jika dia telah mencampurinya maka itu berarti bahwa dia telah merujukinya. Said bin Al-Musayyab, Hasan Al-Bashri, Ibnu Sirin, Az-Zuhri, Atha', Thawus dan Ats-Tsauri mengatakan; Hendaklah rujuknya itu disaksikan. Ini adalah pendapat para ahli fikih rasional, Al-Auza'i dan Ibnu Abi Laila, sebagaimana yang diungkapkan oleh Ibnul Mundzir.

Abu Umar mengatakan; Bahwa bercampurnya adalah ruju'nya apa pun kondisinya, baik dia berniat atau pun tidak berniat. Pendapat semisal ini diriwayatkan dari beberapa sahabat Imam Malik. Laits juga berpendapat seperti ini. Wallahu a'lam.

Juga, apabila seseorang mencium atau bersentuhan dengannya jika hal itu dia niatkan sebagai ruju', maka yang demikian itu dianggap ruju'. Namun jika dia mencium dan menyentuhnya itu, tanpa disertai niatan untuk ruju', maka dia telah melakukan dosa dan dia tidak dianggap seorang yang melakukan ruju'. Yang sunnah adalah hendaknya ada saksi sebelum dia mencampuri, mencium atau pun menyentuhnya.

Abu Hanifah dan sahabat-sahabatnya mengatakan; Jika dia mencampurinya atau menyentuhnya dengan penuh syahwat atau dia melihat pada kemaluannya dengan penuh syahwat, maka itu semua bisa dianggap sebagai bukti ruju'. Ini adalah pendapat Az-Zuhri, dan hendaknya ada yang menyaksikan saat ruju'nya itu. Dalam pandangan Imam Malik, Imam Asy-Syafi'i, Ishaq, Abu Ubaid, dan Abu Tsaur itu tidak dianggap sebagai ruju', demikian sebagaimana disebutkan oleh Ibnul Mundzir.

Ada masalah penting; Bagaimana halnya jika seorang suami mentalak istrinya dengan talak raj'i, lalu apa yang bisa dilihat dari istrinya paska masa iddah itu?

Imam Malik berkata, "Janganlah dia duduk berduaan dengannya, dan jangan masuk menemuinya kecuali dengan izinnya dan janganlah melihat padanya kecuali dia dalam keadaan memakai baju yang lengkap (menutup aurat). Tidak boleh pula baginya untuk melihat rambutnya. Namun demikian, tidak ada halangan baginya untuk makan bersamanya jika ada orang lain selain mereka berdua. Dan janganlah dia bermalam dengannya di sebuah rumah."

Ibnu Qasim mengatakan; Imam Malik menarik pendapatnya ini dan berkata, "Tidak boleh masuk padanya dan tidak boleh melihat rambutnya secara mutlak."

=====

Catatan Kaki:

1. Jami' Ahkam Al-Qur'an: 3/107 dengan editing.

2. HR. Al-Bukhari: 1 dan Muslim: 1907 dari hadits Umar bin Khathab (radhiyallahu 'anhu).

=====

Maraji'/ Sumber: 
Kitab: Tafsir al-Qur-an al-Azhim li an-Nisa', Penulis: Syaikh Imad Zaki al-Barudi, Penerbit: al-Maktabah at-Taufiqiyyah, Kairo - Mesir, tanpa keterangan cetakan, tanpa keterangan tahun. Judul terjemahan: Tafsir wanita, Penerjemah: Samson Rahman MA, Editor: Farida Muslich Taman, Penerbit: Pustaka al-Kautsar, Jakarta - Indonesia, Cetakan pertama, Juni 2004 M.