Skip to main content

Bolehnya Ruju' dalam Talak Raj'i (2) | Tafsir Wanita

Tafsir Wanita

Surat Al-Baqarah

Hukum-hukum Puasa

Bolehnya Ruju' dalam Talak Raj'i (2)

Abu Hanifah dan murid-murid utamanya tidak berbeda pendapat; Bahwa dia boleh berhias untuknya, boleh memakai minyak wangi dan memakai perhiasan.

Dari Said bin Al-Musayyab, dia berkata, "Jika seorang lelaki mentalak istrinya satu kali talak, maka hendaknya dia minta izin jika hendak masuk menemuinya. Boleh bagi si wanita untuk berhias dan memakai pakaian apa saja yang dia mau serta perhiasan apa saja yang dia suka. Jika keduanya tidak memiliki selain satu rumah, hendaknya dibuatkan untuk keduanya satu hijab dan hendaknya dia mengucapkan salam jika hendak masuk menemuinya." Pendapat semisal ini juga diucapkan oleh Qatadah. Dan hendaknya dia diberi isyarat jika akan masuk, dengan bersenandung atau dengan berdehem.

Imam Asy-Syafi'i berkata, "Seorang wanita yang ditalak oleh suaminya, haram baginya dihubungi hingga lelaki yang mentalak itu meruju'nya kembali dan tidaklah bisa diruju' kecuali dengan melalui ungkapan, sebagaimana yang telah disebutkan sebelum ini."

Ada seorang lelaki yang mentalak istrinya kemudian dia mengaku bahwa dia telah meruju'nya kembali pada saat dia masih masa iddah. Apa pandangan fikih dalam hal ini?

Para ulama sepakat, bahwa seorang lelaki yang telah mentalak istrinya, kemudian setelah masa iddahnya lewat dia mengatakan; bahwa saya telah merujukimu dalam masa iddahmu, kemudian istrinya tadi tidak mengakui. Maka ucapam yang diambil adalah ucapan istrinya itu, namun harus dibarengi sumpah. Dan dia tidak boleh melakukan apa pun terhadapnya.

Hanya saja Nu'man memandang, bahwa tidak ada kewajiban sumpah dalam hal nikah dan tidak pula dalam hal ruju'. Namun kedua muridnya tidak setuju dengan pendapatnya itu dan keduanya berpendapat sebagaimana jumhur ulama yang lain.

Sedangkan firman Allah, "Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf," artinya adalah bahwa mereka memiliki hak-hak sebagai seorang istri terhadap laki-laki, sebagaimana hak-hak seorang lelaki atasnya.

Oleh karena itulah Ibnu Abbas (radhiyallahu 'anhuma) mengatakan; Sesungguhnya saya benar-benar berhias untuk istri saya sebagaimana dia juga berhias untukku, yakni berhias yang tidak sampai berakibat dosa.

Juga disebutkan dari Ibnu Abbas; bahwa mereka berhak atas suami-suami mereka untuk diperlakukan dengan baik sebagaimana juga mereka berkewajiban untuk taat pada suami-suami mereka. Juga disebutkan bahwa mereka memiliki hak atas suami mereka agar mereka tidak diperlakukan dengan perlakuan yang mendatangkan bahaya, sebagaimana hal itu juga merupakan kewajiban mereka atas suami-suami mereka. Imam Ath-Thabari juga berkata demikian.

Ibnu Zaid berkata, "Hendaknya kalian bertakwa kepada Allah dalam memperlakukan mereka, sebagaimana mereka hendaknya berlaku takwa dalam memperlakukan kalian. Apa yang mereka katakan itu memiliki makna yang berdekatan. Dan ayat di atas mencakup semua hak yang menyangkut hak seorang istri."

Sedangkan firman-Nya; "Akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya," yakni; kedudukan. Bagi orang-orang yang memiliki pandangan yang tajam, maka mereka akan menemukan sisi kelebihan wanita atas laki-laki. Walaupun mungkin hal itu tidak bisa dilihat dari sisi yang lain, karena dia akan tahu bahwa wanita diciptakan dari laki-laki, dan dia adalah asalnya. Maka dia memiliki wewenang untuk melarang suatu pekerjaan kecuali setelah izinnya, dan dia tidak boleh puasa (sunnah) kecuali setelah mendapat izin darinya. Dan dia juga tidak boleh haji kecuali bersama dengannya.

Disebutkan, bahwa yang dimaksud tingkatan (derajat) di sini adalah mahar, sebagaimana dikatakan oleh Asy-Sya'bi. Ada pula yang menyebutkan bahwa itu adalah kebolehan sopan santun. Namun demikian, secara global hal itu menunjukkan keutamaan laki-laki. Ayat ini memberikan indikasi kuat bahwa hak suami atas istrinya itu lebih kuat daripada hak istri atas suaminya. Oleh sebab itulah Rasulullah (shallallahu 'alaihi wa sallam) bersabda, "Andaikata boleh aku perintahkan seseorang untuk bersujud pada selain Allah, maka akan aku perintahkan seorang istri bersujud pada suaminya." (1)

"Dan Allah Mahaperkasa," yakni; kekuasaan-Nya sangat kokoh dan tidak ada yang mampu mengganggunya. "Lagi Mahabijaksana," maknanya; Dia Mahatahu dan Dia selalu tepat dalam apa yang Dia lakukan.

=====

Catatan Kaki:

1. HR. Tirmidzi dengan derajat shahih: 1199 dari hadits Abu Hurairah (radhiyallahu 'anhu). Sebagaimana hadits ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Majah: 1852 dari hadits Aisyah dan hadits no. 1853 dari hadits Mu'adz. Hadits ini dinyatakan shahih oleh Al-Albani.

=====

Maraji'/ Sumber: 
Kitab: Tafsir al-Qur-an al-Azhim li an-Nisa', Penulis: Syaikh Imad Zaki al-Barudi, Penerbit: al-Maktabah at-Taufiqiyyah, Kairo - Mesir, tanpa keterangan cetakan, tanpa keterangan tahun. Judul terjemahan: Tafsir wanita, Penerjemah: Samson Rahman MA, Editor: Farida Muslich Taman, Penerbit: Pustaka al-Kautsar, Jakarta - Indonesia, Cetakan pertama, Juni 2004 M.